Beberapa hari telah berlalu, setelah kejadian malam itu, Alika perhatikan ibunya lebih sering menyendiri, menghabiskan waktu lebih lama di kamar serta beberapa kali, Alika mendapati ibunya sedang melamun di depan jendela.
Alika ingin mengetahui apa yang sebenarnya sedang ibunya rasakan sekarang, tetapi mengingat pesan yang Devan katakan membuat Alika tidak berani untuk bertanya.
Hari itu, Alika pulang sekolah lebih awal dari biasanya. Dia memutuskan untuk tidak langsung pulang melainkan pergi ke suatu tempat untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu.
Biasanya Alika pergi ke atas sebuah gedung pencakar langit, untuk melepas rindunya pada sosok pria yang menjadi cinta pertamanya. Alika, sering menghabiskan waktunya untuk sekedar membaca atau mendengarkan musik dari ponsel pintarnya.
Alika duduk di sudut sana, sambil mengeluarkan earphone dan langsung menghubungkannya pada ponsel pintarnya. Alika, membuka salah satu aplikasi pemutar musik, lalu mulai mencari lagu yang menjadi favoritnya.
Dia memasang earphone-nya di kedua telinga, musik pun mulai dimainkan. Pandangan Alika langsung tertuju pada hamparan langit yang tak memiliki ujungnya itu. Pikirannya seolah dibuat berputar ketika musik yang diputarnya mengingatkan Alika pada seseorang.
Sosok yang selama ini Alika sayangi, cintai dan sangat dirinya hormati, yang tidak lain adalah Agatha. Wanita hebat, kuat serta tangguh yang selama ini melindungi Alika dari semua bahaya.
Musik yang saat ini Alika dengarkan adalah salah satu lagu yang menjadi favorit ibunya. Hampir setiap saat lagu ini dinyanyikan oleh Agatha yang kerap kali bernyanyi sambil bermain piano.
Alika sangat mengangumi pemilik lagu tersebut, tetapi dirinya lebih mengangumi suara ibunya yang baginya tidak ada duanya di dunia ini.
Dalam dua puluh empat jam, tidak terhitung berapa kali Alika memutar lagu tersebut. Seperti saat ini, tanpa terasa sudah lima belas menit berlalu dan dirinya tidak sadar sudah berapa kali lagu itu diputarnya.
Alika tampak mulai mengantuk, dia pun melihat arloji yang ada di tangan kanannya. Rupanya dia sudah berada di sana selama tiga puluh menit dan tanpa terasa juga, hari mulai sore.
"Aku harus pulang atau Ibu akan cemas nantinya," pikir Alika, buru-buru merapikan tasnya, lalu beranjak bangun. Alika membersihkan bagian belakang celananya yang terdapat debu itu.
Sebelum dia pergi, Alika menatap satu kali lagi hamparan langit yang ada di depan matanya. Kawasan kota Ignea, belum terlalu banyak gedung pencakar langit yang membuat Alika dengan mudah melihat matahari terbenam dari sana.
Gedung yang Alika datangi ini, menjadi satu-satunya gedung pencakar langit yang ada di kota Ignea, gedung-gedung lainnya hanya memiliki tinggi yang tidak seberapa, memiliki dua puluh empat lantai membuat gedung ini menjadi yang paling tertinggi di Ignea.
Alika pun berjalan meninggalkan tempatnya berdiri sekarang. Saat ini dia sudah berada di lantai dasar dan hendak meninggalkan gedung tersebut. Ketika di halaman parkir, Alika melihat beberapa pemuda yang sedang berlari, dari gerak geriknya Alika sudah bisa menebak, kalau mereka sedang mengejar seseorang.
Biarpun demikian Alika berusaha untuk tetap tenang di depan mereka, mencoba berjalan santai seolah tidak pernah melihat para pemuda itu. Meskipun begitu, Alika merasa takut dan gemetar.
Ketika dirinya berhasil melewati mereka dengan jarak yang sudah beberapa meter di belakang para pemuda itu, baru setelahnya Alika mengelah napas lega. Setidaknya mereka tidak menyakitinya, pikir Alika.
Selanjutnya Alika memilih berjalan dengan tempo yang lebih cepat, tetapi ketika dia terburu-buru saat itulah Alika tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang, yang membuat langkahnya menjadi terhambat.
"Kalau jalan tuh pakai mata bukan pakai dengkul!" bentak Alika kesal. Tubuhnya jatuh ke aspal, yang membuat pakaian Alika menjadi kotor.
"Tahu kalau ada orang, tapi tetap saja tidak melihatnya," gerutu Alika, memarahi pemuda yang ada di hadapannya sekarang.
Biarpun Alika mengoceh dan memarahinya, tetapi pemuda itu seolah tidak bergeming dan merasa tidak melihat keberadaan Alika. Sontak semakin membuat Alika menjadi kesal. Namun, saat itu Alika menyadari perubahan ekpresi dari wajah pemuda tersebut. Pandangan Alika sekarang tertuju pada orang-orang yang ada di belakangnya.
"Ayo, ikut aku!"
Tanpa berlama-lama dan tanpa persetujuan, pemuda itu menarik tangan Alika, membawanya pergi dari tempat tersebut.
Alika sempat ingin menolaknya, tetapi sebelum itu terjadi dia sudah lebih dulu sadar, kalau orang-orang yang tadi dilewatinya sekarang sedang mengejar di belakang. Mau tidak mau Alika juga harus menghindari mereka, sebab dari perawakan serta tatapan mata mereka yang tajam membuat Alika menarik kesimpulan, kalau pemuda-pemuda itu memiliki niat buruk terhadap dirinya.
Alika berlari bersama dengan pemuda yang tanpa sengaja menabraknya itu. Jika dilihat-lihat kembali, wajah pemuda itu tidak terlalu buruk.
"Alika, apa yang kau pikirkan? Kendalikan pikiranmu!"
Tentu Alika mengatakan itu di dalam hatinya dan merasa saat ini bukan saatnya dia memikirkan perasaan.
Tangan pemuda itu terus menarik Alika, kini mereka berada di antara gang-gang kecil yang sulit untuk dilewati banyak orang. Pemuda itu memutar matanya untuk mencari tempat agar mereka dapat bersembunyi. Tidak banyak kata yang bisa Alika katakan, mulutnya seolah terkunci dan merasa pasrah mengikuti apa pun yang menjadi keputusan pemuda tersebut.
Jarak mereka dengan orang-orang yang terus mengejar di belakang tidak terlalu jauh, memaksa pemuda itu harus mengambil keputusan cepat agar mereka bisa selamat dari kejaran.
Setelah berlari dan mencari tempat, akhirnya mereka menemukan tempat yang dapat dijadikan sebagai lokasi persembunyian sementara waktu.
Pemuda itu menarik tubuh Alika dalam pelukannya. Sontak Alika terperanjat dan matanya membulat sempurna. Sebelumnya dia tidak pernah sedekat ini dengan seorang pria, tetapi situasi yang memaksanya untuk tetap tenang.
Seketika pandangannya dengan pemuda itu saling bertemu, bahkan Alika tidak bisa mengedipkan matanya ketika menatap pemilik manik hitam itu. Napas yang berhembus dapat Alika rasakan begitu dekat. Alika berusaha menetralkan pikirannya yang mulai terbawa fantasy.
Ketika keduanya saling bertatapan, saat itu juga pemuda yang sejak tadi mengejar di belakang melewati mereka. Bersembunyi di antara barang-barang yang saling bertumpukan, membuat mereka tidak terlihat dari luar.
Para pemuda itu tidak berhenti di sana, sebaliknya mereka memilih terus berlari. Setelah dirasa aman, barulah pemuda itu mengelah napas dan melepaskan pelukannya pada Alika, pada akhirnya menciptakan situasi canggung di antara keduanya.
Alika buru-buru menjauhkan dirinya, pipinya tampak memerah dan berhasil tertangkap oleh netra pemuda itu.
"Hei kau!" tegur Alika, ketika pemuda itu dengan mudahnya ingin pergi dari sana. "Ingin pergi kemana kau? Setidaknya jelaskan dulu siapa mereka, mengapa mereka mengejarmu tadi?" cecar Alika.
Pemuda itu tidak menghiraukan pertanyaan tersebut, dia melihat sekitarnya demi memastikan keadaan di sana sudah aman atau belum?
"Hei, Tuan! Apa kau sudah tuli? Lihat aku!"
Alika sudah berteriak-teriak, tetapi suaranya seolah tidak didengar oleh pemuda tersebut. Dia semakin marah dan geram, sampai akhirnya Alika menarik tangan pemuda itu dan kembali mereka dihadapkan dengan situasi yang aneh.