Chapter 16 - Chapter 16

"Ibu, bangunlah!" Alika berusaha untuk menyadarkan Agatha yang tidak sadarkan diri itu. Dia tidak tahu banyak tentang pengobatan, jadi sulit baginya untuk membantu.

Lima menit selanjutnya, pintu kamar terdengar mulai diketuk. Alika buru-buru turun dari tempat tidur dan bergegas membuka pintu kamar. Hal yang pertama Alika lakukan adalah bernapas lega saat melihat sosok pria dewasa yang diharapkannya sudah datang.

"Masuk paman!"

Tanpa berlama-lama lagi, Alika menarik tangan pria yang rambutnya sedikit memutih itu untuk masuk ke kamar. Pria yang kira-kira berusia di atas lima puluh tahun itu tampak tenang, meskipun dia juga cemas memikirkan kondisi Agatha.

"Sebelumnya Ibu baik-baik saja, tetapi saat bangun, dia tampak gelisah dan berkeringat," jelas Alika terburu-buru, "Paman, tolong sadarkan Ibu. Aku takut kalau Ibu mengalami sakit yang parah, tetapi aku tidak mengetahuinya. Tolong sembuhkan Ibu, aku mohon Paman," pinta Alika memohon di akhir kalimatnya.

Pria yang dipanggil paman itu tampak terdiam sambil mengelus dagunya. Dia sendiri tidak mengetahui jelas pastinya apa yang menyebabkan Agatha jatuh pingsan. Ada banyak faktor yang membuat seseorang pingsan, bisa disebabkan sakit yang diderita atau beban pikiran yang terlalu memberatkannya.

Pria dewasa itu mencoba mendekati Agatha. Dia duduk di tepi tempat tidur, salah satu tangannya dirinya coba dekatkan di hidung Agatha, "Dia masih bernapas," gumam pria itu.

Alika mengelah napas lega, "Syukurlah Paman. Aku sangat takut jika sesuatu telah terjadi pada Ibu ...."

"Kau tenang saja. Ibumu baik-baik saja. Dia hanya perlu istirahat yang cukup, setelah beberapa jam dia akan tersadar kembali," tambah pria dewasa itu dan Alika langsung mengucap rasa syukur.

"Andai tidak ada Paman, entah apa yang harus aku perbuat. Terima kasih, Paman."

Pria dewasa merasa ucapan terima kasih Alika sangat berlebihan. Dia tidak melakukan apa-apa hanya memeriksa jelas dan tekanan nadi pada Agatha. Namun, bagi Alika itu sudah sangat membuatnya senang.

Pria dewasa berpakaian santai dan memiliki senyuman hangat itu, menambah kalau sebaiknya Alika tidak membangunkan ibunya, kecuali dia yang bangun sendiri dan jangan banyak melontarkan pertanyaan.

Alika mengangguk pelan, dia akan mengingat dengan jelas perkataan pria tersebut dan tidak akan banyak bertanya pada ibunya nanti.

Sebelum dia pergi, pria dewasa itu menarik selimut dan menutup tubuh Agatha sampai bagian dada. Alika tersenyum lembut melihat bagaimana tulusnya pria itu merawat ibunya. Andai saja ayahnya masih ada di dunia ini, mungkin dia akan melakukan hal yang sama terhadap ibunya.

Di lubuk hati terdalamnya, Alika berharap kalau ayahnya itu masih hidup dan suatu saat nanti akan datang untuk menjemput dirinya. Biarpun Agatha mengatakan bahwa sanya Alika tidak memiliki Ayah karena ayahnya itu sudah mati ketika Alika dilahirkan. Namun, dia selalu merasa ayahnya masih hidup dan saat ini berada di tempat yang sangat jauh.

"Alika!" tegur pria dewasa itu sambil mengusap pucuk rambut Alika dengan lembut.

"Kau kenapa? Apa, dirimu masih memikirkan tentang ibumu?" tanya pria itu tersenyum lembut pada Alika.

"Tidak Paman. Aku sudah tidak memikirkan tentang Ibu. Aku percaya dia akan baik-baik saja selama Paman berada di sisinya," balas Alika dengan senyuman penuh makna.

Ada rasa rindu yang teramat besar, terpendam begitu dalam di lubuk hatinya akan sosok seorang Ayah. Alika tidak lagi bisa memendam rasa rindu tersebut, dia tanpa terduga memeluk pria dewasa itu, mendekapnya dan merasakan sosok seorang Ayah pada diri pria yang dipanggilnya dengan sebutan Paman itu.

"Terima kasih, Paman. Jika saja tidak ada Paman, entah apa yang harus aku perbuat. Aku sungguh cemas memikirkan kondisi Ibu, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Itu semua berkat Paman."

Pria itu hanya tersenyum pahit, dia memahami arti pelukan dan kata-kata yang terucap dari bibir Alika. Sesungguhnya itu bukan sekedar kalimat terima kasih yang terlontar begitu saja, tetapi ucapan rindu yang begitu menggebu sampai sulit untuk dikendalikan.

Alika berusaha menata hatinya kembali. Mengapa hari ini perasannya seperti diaduk-aduk, hingga dia sendiri sulit untuk mengendalikannya.

Pria itu tidak mengatakan satu kata pun, dia hanya mengelus punggung Alika sampai gadis itu merasa lebih tenang dari sebelumnya.

Lima menit telah berlalu, akhirnya Alika dapat melepaskan pelukannya setelah merasa lebih baik. Tampak garis merah di bawah mata Alika yang menandakan dia terus menangis dari waktu ke waktu.

Pria dewasa itu mengelus pipi Alika, menghapus air mata yang masih membasah di wajah ayunya.

"Paman sangat memahami perasaanmu saat ini, tetapi kau harus kuat Alika, demi ibumu yang sudah berusaha dengan keras untuk membesarkan dirimu sampai saat ini. Dia memutuskan untuk tidak menikah kembali karena ibumu ingin kasih sayangnya hanya untuk dirimu, putrinya yang sangat dirinya cinta. Apa kau paham?'

Alika mengangguk pelan dan sangat sifat dari ibunya itu. Memang benar yang dikatakan pria dewasa itu, sejak Alika lahir dan mereka menetap di kota ini tidak pernah sekalipun Agatha dekat dengan seorang pria. Janganlah dengan pria, teman wanita pun Agatha tidak terlalu banyak memilikinya.

Agatha lebih memilih untuk menutup dirinya dari publik, sampai akhirnya bertemu dengan pria yang saat ini berdiri di hadapan Alika.

Pria dewasa itu bernama Devanca, orang-orang memanggilnya dengan Devan. Pria yang tinggal di sebrang jalan sana, rumah Alika dengan Devan saling berhadapan.

Devan hanya tinggal seorang diri dan tidak memiliki keluarga yang hidup bersama dengannya. Tidak memiliki anak ataupun istri, hidupnya membujang sampai sekarang.

Alika selalu merasa damai ketika Devan di sisinya dan seolah merasakan dekapan serta kasih sayang dari orang Ayah, yang selama ini tidak pernah Alika dapatkan.

"Sebaiknya kita tinggalkan ibumu dan biarkan dia beristirahat sendiri," pinta Devan sambil mengelus pucuk kepala Alika.

Alika tersenyum lembut, merasa sangat tenang dan damai ketika berada didekat Devan. Dia segera mengajak Devan untuk meninggalkan kamar, seperti yang dikatakan Devan sebelumnya. Sebaiknya mereka pergi dan biarkan Agatha beristirahat dahulu tanpa adanya gangguan.

Keduanya sudah keluar dari kamar, saat itu juga Agatha mulai membuka matanya. Setelah Alika dan Devan tidak lagi terlihat, barulah Agatha sadar, sesungguhnya sejak tadi dia mendengar semua percakapan antara Alika dan Devan, hanya saja Agatha enggan membuka matanya.

"Maafkan Ibu, Sayang. Saat ini belum saatnya dirimu mengetahui rahasia ini. Jika sudah waktunya nanti, aku akan menceritakan semuanya tantang Ayah, Ibu dan siapa Devan yang sesungguhnya."

Agatha melepaskan selimut yang membalut tubuh, lalu mengelah napas panjang, "Biarkan Ibu menata hati terlebih dahulu saat ini. Ibu berjanji akan bercerita semuanya nanti. Jadi, bersabarlah, Sayang."

Alika tidak menyadari kalau sebenarnya Agatha sudah sadar ketika dirinya memindahkan tubuhnya ke posisi yang benar.

Alika tidak henti-hentinya mengulas senyuman lebar saat berjalan berdampingan dengan Devan, menuruni anak-anak tangga menuju ruang tamu yang ada di depan sana.