"Zeus!"
Zeus mengelah napas panjang. Satu persatu kenangan masa kecilnya kembali terlintas dipikirannya. Zeus hanya anak biasa yang desanya hancur karena perang dua kerajaan.
Seorang Jendral mendatanginya kala itu, Zeus yang masih dini belum memahami arti dari peperangan sehingga dia hanya tahu kalau Ibu beserta Ayahnya, mati karena rumah yang mereka tempati terbakar.
Seketika Zeus teringat kembali akan Jendral yang sudah menolongnya waktu itu sebelum akhirnya, Zeus bertemu Raja Arthur beberapa tahun setelah pertemuan tersebut.
Sejak awal Zeus sudah bertekad untuk belajar bela diri karena dengan begitu dirinya tidak akan ditindas, dan dengan menjadi lebih kuat Zeus akan mudah membalaskan dendam atas kematian kedua orang tua beserta orang-orang yang dulu, berada satu desa dengannya.
"Yang Mulia!"
"Arthur!"
Mata Zeus dan Steven seketika membulat, bereaksi ketika serangan Orion mengenai tubuh Arthur, seketika itu juga keseimbangan Arthur menjadi tidak stabil. Bahkan, Arthur sampai jatuh dan langsung menghantam tanah.
Zeus dan Steven buru-buru pergi. Kecepatan mereka tidak ada yang bisa menandinginya. Ketika hendak sampai pada Arthur, disaat itu juga Orion mengibaskan tangannya.
Cahaya merah gelap keluar dari tangan Orion, menciptakan gelombang kejut yang luar biasa. Zeus dan Steven tidak siap menerima serangan tersebut. Tubuh mereka terlempar beberapa meter, Zeus mendarat di tumpukan mayat-mayat, sedangkan Steven tubuhnya jatuh tepat di atas batu besar.
"Yang Mulia! Bertahanlah," lirih Zeus dengan tangan yang berusaha meraih sesuatu. Pandangannya tentu tertuju pada Arthur yang kini terbaring kritis itu.
"Panglima Steven ... Kau ...,"
Kata-katanya tertahan di tenggorokan, Zeus tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia ingin memaksakan diri untuk bangun dan membantu Steven yang jaraknya hanya puluhan meter itu.
Zeus masih berusaha menggerakkan tangannya untuk meraih pedang yang berada tidak jauh darinya. Bahkan sekarang Zeus tidak lagi bisa mengeluarkan kekuatannya seperti sebelumnya.
"Andai saja tadi aku tidak melamun, mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi," sesal Zeus yang memukuli tubuhnya.
Beberapa detik kemudian Zeus sadar kalau percuma saja dia menyalahkan dirinya karena semuanya akan sia-sia. Zeus memandang Arthur yang sudah tidak berdaya itu. Sedangkan Orion masih berdiri gagah di dekatnya dengan tangan yang diletakkan di depan dada.
"Kalian memang lemah. Andai saja kau tidak keras kepala dan menyerahkan Immortality secara baik-baik, mungkin perang ini tidak akan pernah terjadi."
Orion tertawa lantang. Beberapa ksatria yang berada di dekatnya ikut tertawa juga. Mereka senang karena akhirnya Arthur dikalahkan, dengan begitu kerajaan Aqua akan mudah mereka kuasai.
"Bagaimana kalau kita bunuh saja Raja keras kepala ini? Setidaknya dia akan lebih cepat pergi ke alam baka," seru seorang prajurit yang berpangkat Panglima dari barisan terdepan Orion.
Orion juga berpikiran yang sama, sebaiknya dia memang harus segera mengirim Arthur ke alam baka, setidaknya akan mudah bagi dia mengusai kerajaan Aqua.
Orion tanpa pikir panjang lagi mulai mengeluarkan kekuatan dari tangannya. Arthur belum benar-benar, masih tersisa sedikit napas. Namun, tubuhnya sudah tidak lagi bisa digerakkan, tenaga dalam yang selama ini menopang kekuatannya kini sudah tidak tersisa lagi.
Zeus yang melihat dari kejauh hanya bisa meneteskan air mata. Sungguh dia tidak mampu untuk menyelamatkan nyawa Arthur sekarang. Zeus menyesali jika dirinya terlalu lemah saat ini.
Orion sudah mengalirkan semua tenaga dalamnya di tangan. Cahaya merah gelap, membentuk bola besar akan siap melahap tubuh Arthur yang sudah tidak berdaya itu.
Namun, sebelum kekuatan itu menghantam Arthur, Orion terlebih dahulu mengangkat tubuh Arthur ke udara. Di saat yang bersamaan, Orion melepaskan kekuatan besarnya itu ke arah Arthur.
Cahaya merah menyala, mengapung sekitar. "Yang Mulia!"
"Tidak!"
Napasnya memburu, tubuhnya dibahasi keringat. Seketika dia terbangun dari tidurnya. Agatha langsung terduduk ketika dia bermimpi demikian.
Buru-buru Agatha mencari air. Tangannya meraih gelas yang ada di nakas, meneguknya sampai tidak tersisa.
Dia menggenggam gelas tersebut dengan bergetar hebat. Agatha berusaha menata hati dan pikirannya. "Arthur ...." lirih Agatha, yang masih syok dengan mimpinya itu.
Ketika Agatha masih berusaha menenangkan diri, saat itu juga Alika sudah berada di dalam kamarnya.
"Ibu ... Ibu kenapa?" Alika buru-buru duduk di tepi kasur. Tangannya secara otomatis menyeka keringat yang membasahi wajah Agatha.
Alika memandang Ibunya yang pucat pasif itu. Tampak jelas dari sorot mata Agatha yang dipenuhi ketakutan, bibirnya seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Alika memeluk ibunya, menepuk pelan bahu Agatha. Gadis itu tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada ibunya. Tidak pernah terjadi hal seperti ini pada Agatha. Alika ingin bertanya, tetapi dia mengurungkan niatnya agar ibunya lebih tenang dahulu.
Setelah tiga puluh menit, Alika memberanikan diri untuk bertanya. "Ibu kenapa? Apa Ibu bermimpi buruk?"
Namun, tidak ada jawaban dari Agatha. Wanita dewasa itu diam cukup lama, membuat Alika semakin cemas. Alika melepaskan pelukannya, saat itu juga dia tahu kalau ibunya itu jatuh pingsan.
"Ibu!" Seketika Alika panik, tubuh ibunya langsung terbaring lemas di tempat tidur dengan mata yang terpejam.
Alika tidak bisa berpikir sekarang. Dia terlalu panik dan bingung harus melakukan apa. Alika buru-buru turun dari tempat tidur, mencari sesuatu yang mungkin bisa membantunya.
Hal yang pertama Alika lakukan adalah mencari ponsel ibunya. Dia mendapati ponsel tersebut berada di atas meja. Alika segera mencari nama seseorang yang tertera di layar ponsel tersebut.
Tanpa pikir panjang, Alika segera menghubungi nomor tersebut dan tidak peduli kalau ini sudah hampir tengah malam.
"Halo, Alika," sapa orang yang berada jauh di sana.
"Paman. Cepat datang ke kamar Ibu. Ibu jatuh pingsan." Alika menjelaskannya secara terburu-buru dan langsung pada intinya saja.
"Bagaimana bisa ibumu pingsan?" tanya pemilik suara bariton itu.
"Nanti akan aku jelaskan. Sekarang Paman cepat datang ke sini!"
"Baik, aku akan datang ke sana."
Panggilan itu langsung terputus. Alika membuang ponselnya ke tempat tidur, buru-buru dia mencari sesuatu untuk membantu membangunkan ibunya.
Alika tidak bisa menemukan sesuatu. Pikirannya terlalu kacau sampai tidak bisa mengambil tindakan. Alika memutuskan untuk mengangkat tubuh ibunya dan membaringkan ke posisi yang benar.
Alika menggosok-gosokkan tangan Agatha agar tercipta kehangatan. Alika melihat tindakan tersebut di film-film, dengan menggosokkan tangan seseorang yang sedang tidak sadarkan diri, maka dia akan segera terbangun.
Alika hanya berharap kalau tindakannya ini akan berhasil. "Ibu bertahanlah, Paman akan segera datang."
Alika sudah berada dalam kesimpulan, kalau ibunya tidak akan sadar hanya dengan menggosokkan tangannya saja.
Sudah hampir sepuluh menit berlalu, tetapi orang yang Alika hubungi sebelumnya belum kunjung datang. Alika tidak ingin keterlibatan orang itu, membuat kondisi ibunya semakin memburuk.