Chapter 7 - Chapter 7

Berlanjut.

Arthur memerintahkan seluruh pasukan elit-nya untuk bersiap. Sebab, menurut laporan sekitar enam puluh ribu pasukan yang dipimpin langsung oleh Raja Orion, telah mendekati perbatasan kerajaan Aqua, guna merebut Immortality dari tangan Arthur.

Hal yang membuat pria berjuluk Raja Es tersebut, harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk melindungi kerajaan serta rakyatnya.

Di tengah kondisinya yang belum prima, Arthur berusaha bersemedi di ruangan khusus, guna mengembalikan kekuatannya, yang terkuras habis dikarenakan dalam pertarungannya melawan Agatha yang tidak berimbang  itu, dia harus menerima beberapa pukulan di organ terdalamnya, yang membuat titik-titik kekuatannya melemah.

Sementara itu di ruangan pertemuan. Tempat, di mana hampir seribu pasukan yang terdiri dari Jendral, serta ksatria dengan kemampuan yang tinggi, sedang berkumpul.

Seorang dengan memakai Zirah berwarna emas, serta jubah putih terlihat berdiri di depan seluruh pasukan. Tubuhnya yang kekar, dan wajahnya yang garang, dirinya dikenal sebagai Panglima Steven.

"Para prajuritku yang pemberani. Hari ini kita akan berperang, membela kerajaan serta tanah air kita!" seru Steven, di hadapan seluruh pasukan yang ada.

"Saat ini Raja Orion beserta bala tentaranya sudah ada di depan gerbang kerajaan Aqua. Kita sebagai rakyat Aqua tentunya tidak akan kalah dari mereka. Kekuatan yang kita miliki juga tidak kalah hebat dari Bangsa Shiners! Kita adalah pejuang sejati. Hidup dan mati kita, adalah untuk membela kerajaan. Apa kalian siap!"

"Ya, kami siap!" seru serempak semua orang.

Mereka telah memakai zirah besi, dengan senjata di tangan masing-masing. Ada yang membawa tombak, pedang, golok, cambuk dan persenjataan lainnya.

Tidak terlihat rasa takut di setiap wajah para prajurit. Perkataan Steven membangkitkan semangat yang terus membara, di dalam dada mereka.

Biarpun pasukan musuh lebih kuat, dan datang dengan jumlah yang besar. Namun, mereka sama sekali tidak gentar. Berkat kata-kata Steven, yang menguatkan tekad mereka.

Kerajaan Aqua, bukan sekedar rumah bagi mereka, tetapi tanah kelahiran bagi setiap nyawa. Setiap aliran darah mereka, telah menyatu dengan tanah air yang telah mereka tempati selama ratusan tahun.

Ketika rumah mereka diserang, maka jiwa dan raga siap untuk dipertaruhkan. Begitulah yang yang Steven sampaikan tadi.

"Kalian adalah ksatria terpilih. Prajurit terlatih yang akan melindungi tanah air, serta rakyat Aqua yang lain. Setiap harapan semua orang, kalian pikul di pundak kalian. Kalian meninggalkan Keluarga, Teman demi membela kerajaan. Kalian adalah ksatria pemberani, nama kalian akan terukir dalam sejarah. Di masa depan, kalian akan dianggap sebagai pahlawan oleh generasi baru Bangsa Aqua. Perang yang sudah ada di depan mata ini, tidak tahu siapa yang akan memenangkannya. Namun, dapat aku pastikan, perjuangan kalian tidak akan sia-sia."

Ketika Steven sedang memberikan kata-kata semangat bagi setiap prajurit, saat itu juga Arthur memasuki ruangan.

Dia sudah memakai zirah besi lengkap dengan penutup kepalanya juga. Arthur terlihat gagah, sambil membawa pedang yang tersarung di pinggangnya.

"Hormat pada Yang Mulia."

Kehadiran Arthur diketahui Steven, buru-buru pria yang berusia lebih dari enam ratus tahun itu, membungkukkan tubuhnya. Menunjukkan rasa hormatnya pada Arthur, dan begitu juga dengan para prajurit yang ada di sana.

"Berdiri kalian semua!" perintahnya.

Steven dan seribu pasukan elit, langsung berdiri tegak. Arthur berdiri sejajar dengan Steven. Matanya menjelajah, memandang seluruh pasukan, yang selama bertahun-tahun telah dilatihnya itu.

Dia memandang setiap wajah guna mengingat mereka, karena setelah perang ini berakhir, entah dirinya akan bisa melihat wajah para ksatria-nya itu lagi atau tidak.

"Kalian ada pria-pria tangguh yang kerajaan Aqua miliki. Kalian orang-orang yang di masa depan, namanya akan dikenang oleh rakyat Aqua. Kerajaan Aqua berhutang budi pada kalian!"

Arthur berseru lantang, sambil menundukkan kepalanya, menunjukkan rasa hormat serta terima kasih, pada setiap prajurit yang rela untuk ikut serta dalam perang ini.

"Yang Mulia."

Steven yang pertama kali bereaksi. Belum pernah dirinya melihat Arthur menundukkan kepalanya di hadapan banyak orang. Hal yang membuat para prajurit pun saling memandang satu sama lain.

"Kau tenang saja Steven. Aku melakukan ini hanya untuk berterima kasih kepada para prajurit yang telah bersedia untuk berperang," ucapnya sambil tersenyum tipis.

Arthur tidak bisa menyembunyikan rasa bersalahnya, karena dirinya yang egois telah membuat Agatha pergi, andai dirinya dapat bersabar, mungkin hal tersebut tidak terjadi.

Namun, Arthur tidak bisa mengatakan kepergian Agatha pada Steven. Dia tahu, jika Steven mengetahui kabar tersebut, maka bisa saja Steven akan memarahinya.

Steven dan Agatha memiliki ikatan kuat, keduanya berasal dari Kerajaan Miracle. Steven adalah Paman dari Agatha, itu sebabnya Arthur sangat menghormati Steven, terlepas dari status dirinya sebagai seorang Raja dari bangsa Aqua.

Arthur mengambil posisi tegak dan kembali memandang mata setiap orang. "Hari ini kita semua akan berperang, melindungi kerajaan serta tanah air kita. Namun, sebelum itu aku akan memberikan kalian satu kesempatan, yang mungkin menjadi kesempatan terakhir kalian."

Suasana yang semula berselimut semangat, kita berubah menjadi penuh pertanyaan. Setiap orang saling berpandangan, ada banyak pertanyaan yang membayang di pikiran mereka, ketika Arthur mengatakan bahwa 'Ini akan menjadi kesempatan terakhir mereka', Steven pun menunjukkan reaksi yang sama dengan para prajurit.

Arthur belum melanjutkan perkataannya. Dia sadar betul, kalau kata-katanya membuat semua orang bertanya-tanya.

Arthur tersenyum tipis, sebelum akhirnya dia melanjutkan kembali kata-katanya. "Kalian tidak usah heran. Aku menawarkan satu kesempatan pada kalian, untuk kembali ke keluarga kalian. Hari ini kita semua akan berperang dan entah berapa lama perang ini akan berakhir. Tentu aku tidak ingin kalian menyesal karena sudah ikut serta dalam perang, yang entah siapa pemenangnya."

Ungkapan Arthur seketika membuat hati setiap prajurit menjadi bimbang. Terlihat tatapan mata mereka yang tidak lagi memiliki semangat.

Bukan tanpa sebab nyali mereka menjadi lemah, perkataan Arthur tentu benar adanya. Perang yang entah kapan berakhir, tentu saja akan memakan banyak korban dari pihak mereka atau lawan, dan belum diketahui siapa yang akan menjadi pemenangnya.

Namun, bisa dikatakan juga ada kemungkinan Bangsa Shiners yang memenangkan perang tersebut. Arthur sadar bahwa, kekuatan yang kerajaannya miliki tidak sebanding dengan kekuatan musuh.

Itu sebabnya dia menawarkan satu kesempatan pada prajurit-nya untuk menyerah, sebelum akhirnya nanti mereka tewas di medan perang.

Arthur tidak masalah jika, pasukannya mundur sebelum perang, karena dia tidak ingin keluarga yang menunggu kepulangan mereka, menelan kecewa akibat kekalahan.

Arthur menutup matanya. Ingatan tentang Agatha kembali menghias di pikirannya. Betapa indahnya kehidupan rumah tangganya bersama wanita dari keturunan Miracle itu.

Namun, hanya karena diskusi yang tidak menemukan jalan keluar itu, yang telah menimbulkan retakan besar dalam rumah tangganya.

Arthur terlihat meneteskan air matanya, sebelum akhirnya salah satu prajurit memberanikan diri dan berbicara langsung di hadapan Arthur.

"Yang Mulai."

Arthur membuka matanya. Tersirat rasa rindu dari balik tatapannya itu. Rindu akan sosok Agatha yang beberapa saat lalu, baru saja meninggalkan dirinya.

"Ada apa, Prajurit-ku? Apa kau ingin mengambil kesempatan itu?" tanya Arthur, dengan nada lembut. Meskipun Arthur terlihat tenang, tetapi dalam hatinya dia sedang menangis.

Seluruh pasang mata tertuju pada prajurit, yang membawa pedang sebagai senjatanya itu.