Chapter 4 - Chapter 4

Semilir angin berhembus kencang menerbangkan beberapa helai rambut hitamnya, meski demikian tidak membuat Alika Hester terganggu. Dia tetap fokus pada layar ponsel dan tidak memedulikan sekitar.

Suara bising kendaraan seakan tidak mengusik pendengarannya. Alika hanya bergumam mengikuti alunan musik yang sedang diputarnya, serta berjalan santai mengikuti arus trotoar.

Alika ingin menyebrang jalan. Namun, fokusnya masih tetap pada layar ponsel, sedangkan dia tahu. Tidak baik bermain ponsel ketika sedang berjalan atau nyawa yang menjadi gantinya.

Alika tidak memedulikan hal tersebut, meski banyak dari pejalan kaki yang berteriak dan berusaha memanggilnya. Dari kejauhan mereka melihat mobil truk dengan muatan besar sedang melaju cepat tepat mengarah pada Alika. Gadis itu tidak bergeming, kedua daun telinganya tertutup Earphone yang menghambat pendengarannya.

Alika menyadari ada hal aneh di depan sana. Orang-orang seolah sedang berteriak belum sempat membuka Earphone-nya, Alika melihat mobil truk melaju cepat ke arah dirinya.

Seolah waktu berhenti, Alika tidak bisa maju atau mundur seluruh tulang kakinya lemas seakan meleleh dan tak bisa digerakan dan begitu juga dengan suaranya. Alika ingin meminta bantuan, tetapi dia tidak bisa berteriak.

Mobil truk itu hanya berjarak beberapa meter saja. Supir truk berusaha menurunkan kecepatannya. Namun, rem mobilnya tidak berfungsi dengan baik.

Alika duduk berjongkok sambil menutup wajahnya dan berusaha untuk berteriak sekeras mungkin. Namun, nyatanya itu sia-sia. Alika pasrah dan meneteskan air mata dalam dekapan. Ponselnya jatuh menabrak jalanan beraspal yang keras, serta Earphone yang tidak lagi berguna setelah ini.

Orang-orang yang ada di sekitar berusaha untuk menolong. Namun, mereka terlalu takut untuk mengambil tindakan yang gila tersebut.

Alika merasa ini adalah akhir dari kehidupannya. Berselang beberapa detik sekelebat bayangan telah datang. Mereka yang ada di tepi jalan tidak sempat melihat sosok apa yang baru saja melewati mereka. Rasanya seperti hembusan angin cepat menerpa wajah mereka.

Ketika kedua mata mereka terbuka, saat itu juga mobil truk yang tak terkendali berhasil berhenti tanpa melukai gadis yang ada di depan sana.

Sesosok pria berpakaian hitam berhasil menghadang laju mobil dengan satu tangan saja. Sementara tangan lain berusaha melindungi gadis yang nyawanya hampir terenggut itu.

Para orang dewasa yang berada sekitar menyaksikan aksi pahlawan yang sangat luar biasa. Mereka masih tidak bisa mencerna kejadian yang baru saja mereka lihat. Tidak ada benda yang pria itu gunakan untuk menghentikan laju mobil truk, itu semua murni dari tenaga yang berasal dari tangannya.

Alika berusaha membuka matanya. Perasaannya bercampur aduk dengan rasa takut yang teramat besar di dalam dada. Telah terbayang bagaimana gelapnya di alam kematian.

"Aku sudah mati?"

Perlahan kedua mata indah itu terbuka, memandang sekitar yang masih terlihat sama seperti sebelumnya. Alika mencoba menangkap situasinya sekarang, Alika merasakan sesuatu telah menyentuh di bahunya. Namun, yang dirasakan nyata dan bukan sekedar mimpi belaka.

"Kau siapa?" Alika berbisik sambil memandang wajah pria yang berada sangat dekat dengan dirinya. Hanya helaian baju mereka yang menjadi pembatas.

Pria itu melirik ke arah Alika, tatapannya datar dan tidak ada satu kata yang terucap dari bibir tebalnya. Alika menelan salivanya kuat-kuat ketika memandang kedua manik berwarna biru laut pria tersebut.

Setelah saling berpandangan. Pria yang tidak ingin menyebutkan namanya itu segera pergi dan menghilang dengan sangat cepat seolah tersapu angin.

Alika masih terduduk di aspal sambil memandang truk besar yang ada di depan matanya sekarang. Bagian depan truk tersebut penyok dan ada bekas telapak tangan dari pria tadi.

Alika tidak henti-hentinya menelan salivanya, berdecak kagum membayangkan bahwa pria yang baru saja menolongnya adalah pahlawan super yang ada di film-film.

Alika mulai merasakan lemas, kepalanya terasa berputar-putar seolah dunia ingin menimpa dirinya. Perlahan pandangan mulai kabur sampai Alika menutup mata dan tak sadarkan diri.

***

Di kediaman Hester. Alika yang tidak sadarkan diri setelah kejadian di jalan raya harus diantar pulang oleh beberapa orang yang ada di sana.

Agatha Hester sedang duduk gelisah menunggu sadarnya Alika yang sempat membuat jantungnya ingin lepas dari tempatnya.

Wanita 40 tahun bertubuh mungil dan mulai ada kerutan di wajahnya itu, tidak menduga akan melihat putri tunggalnya pulang dengan kondisi tidak sadarkan diri. Selama ini Alika tidak memiliki riwayat penyakit berat, Agatha segera memberikan beberapa kapsul obat agar mengembalikan kesadaran Alika.

Satu jam kemudian, Alika perlahan menggerakan jari-jemari kecilnya, Agartha tersentak dan segera menggenggam erat tangan Alika.

"Kau sudah siuman, Sayang."

Tidak lama kemudian Alika membuka matanya. Pandangan pertama dia langsung jatuh pada wajah seorang wanita yang tak sehari pun tak dilihatnya.

"Mommy."

Alika buru-buru bangun dan duduk bersandar, memandang wanita yang menatapnya dengan berkaca-kaca.

"Jangan pernah membuat Mommy cemas. Jika kau sedang tidak sehat, maka tidak usah masuk sekolah. Kau ingin Mommy mati lebih cepat?"

Alika membulatkan matanya, segera dia mendorong tubuh wanita yang mendekapnya sangat erat. Alika menyadari bahwa Ibunya saat ini sangat cemas.

"Apa yang Mommy katakan? Alika tidak ingin Mommy pergi cepat. Aku sayang Mommy."

Tidak ada banyak kata yang dapat gadis itu utarakan. Sekarang Alika yang berbalik memeluk Agatha dengan mata berkaca-kaca serta perasaan yang tak bisa diucapkan melalui sebuah kalimat.

"Mommy."

Agatha memejamkan matanya. Hatinya dapat merasakan ada sesuatu yang berusaha Alika katakan. Namun, Agatha tak ingin mendengarnya sekarang. Mendekap Alika dengan erat, dia tak ingin putrinya pergi. Hanya Alika yang dia miliki sekarang.

Alika tak melanjutkan perkataannya, secara tidak langsung dia merasakan tubuh Ibunya bergetar hebat serta ada rasa takut yang mendalam. Alika sadar bahwa Ibunya pasti syok atas kejadian sebelumnya.

****

Malam harinya, Alika sedang duduk di bibir jendela kamar sambil memandang bulan purnama yang bersinar sempurna.

"Malam yang indah untuk mencari Bintang." Alika terus memperhatikan langit yang seolah berbeda dari malam-malam sebelumnya.

Alika berusaha menemukan kilau Bintang. Namun, tidak ada satupun Bintang yang muncul malam ini dan seolah menghilang dari hamparan langit malam.

Alika menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu melipat tangannya di dada seolah sedang berpikir. "Apa malam ini akan turun hujan?"

Alika mencari kumpulan awan, tetapi tidak ada gumpalan uap berwarna putih itu di langit untuk sekarang. "Sepertinya tidak. Malam ini langit sangat cerah, tapi kenapa tidak ada Bintang?"

Gadis yang memiliki lesung pipi di kanan serta rambut hitam bergelombang itu, sampai keluar kamar guna melihat langsung benarkah langit tertutup awan atau tidak?

Nyatanya tidak ditemukan awan malam ini, yang terlihat bulan purnama bersinar sempurna. Namun, tidak ada Bintang yang menemaninya.

"Alika." Agatha masuk tanpa mengetuk pintu. Di tangannya membawa baki berisikan jus jeruk dan satu piring makanan ringan.

Alika menoleh ke belakang dan mendapati Agatha tengah menaruh baki yang dibawanya ke atas meja, dengan segera Alika menghampiri Agatha dan bertanya.

"Mommy. Apa setiap malam bulan purnama Bintang tidak akan ikut muncul di langit?"

Pertanyaan Alika membuat Agatha sedikit tersendat napasnya dan hampir menjatuhkan jus yang dibawanya. Alika melihat sikap Ibunya berubah gugup seolah ada yang disembunyikannya.

"Mommy, baik-baik saja? Mengapa Mommy berkeringat?"

Agatha tidak bisa menyembunyikan rasa gugup dan takutnya di depan Alika. Keringat yang datang mendadak dan membasahi wajah seketika diketahui Alika dengan segera.

Buru-buru Agatha menghapus keringat tersebut dengan satu helai tisu yang berada tidak jauh dari meja. Alika menaikan salah satu alisnya dan memandang heran wanita yang ada di depannya sekarang.

Agatha mengelah napas cukup panjang. "Apa yang ingin putri Mommy ketahui sekarang?"

Agatha tidak memiliki cara lain selain bertanya demikian. Sebab dirinya tahu bagaimana sifat putrinya. Alika tidak akan berhenti begitu saja sebelum dia mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.

"Mommy hebat. Mommy seperti bisa membaca pikiranku." Alika terkekeh kecil.

Agatha mengerutkan dahinya dan tersenyum tipis meski di dalam pikirannya terus mencari cara untuk membuat alasan jika Alika bertanya yang bukan-bukan nantinya.

"Mommy harus ikut denganku dan melihat ini semua."

Tanpa pikir panjang Alika menarik tangan Agatha dengan semangat menuju pekarangan kamarnya dan tentu meminta Ibunya untuk melihat hal ganjil yang ada di langit.

"Mommy harua lihat langit malam ini." Alika menunjuk ke arah bulan purnama yang terlihat lebih besar ukurannya dari malam-malam sebelumnya.

Agatha membulatkan matanya seolah terkejut. Namun, nyatanya dia tidak menemukan hal janggal seperti yang Alika jelaskan tadi.

"Ada apa dengan bulannya, bukankah indah?"

Agatha menanggapinya dengan santai. Namun, tidak dengan Alika yang menatap heran sikap Ibunya yang seolah tak peduli.

"Mommy harus lihat ke langit. Hari ini Bintang--,"

Alika tidak melanjutkan perkataannya dan membuka mulutnya lebar-lebar serta matanya membulat besar seolah ingin lepas sekarang.