Sesuatu yang tampak secara visual seperti lebih benar tanpa adanya penjelasan, sesuatu yang terdengar secara auditorial seperti sudah mencapai final dalam menilai suatu hal. Padahal pada nyatanya, semua bisa saja salah, ketika nalar diluruskan oleh jiwa.
Tander masih di ruangannya, sebentar lagi rapat akan segera dimulai tapi ketakutan yang sulit didefinisikan oleh dirinya sendiri pun tengah melingkupi hatinya. Bukankah perkara kemarin sudah dapat Tander kuasai, tapi ada apa dengan kali ini.
"Tuan, Pak Pranomo sudah datang," ucap salah satu pegawainya.
"Persilahkan dulu untuk masuk, nanti saya akan datang." Sesuai perintahnya pegawainya langsung menemui tamu tuannya tersebut.
Tander Alfenzo mengambil napas beberapa kali kemudian mencuci mukanya dan sedikit merapikan rambut. Sempurna, jas berwarma hitam dengan perpaduan dasi polos berwarna abu menyesuaikan dengan stelan sepatunya yang tampak abu gelap. Mata elang, halis tebal serta bentuk wajah yang pas cukup masuk standar gantengnya wajah asia.
"Beberapa ribu minta didengarkan, maaf saya tak pernah kalah."
Tander segera keluar dari ruangannya untuk masuk menemui ruangan lain yang berada di lantai ke empat sebelum ruangan di mana Tander berada. Setiap di lorong yang berpapasan dengan karyawannya, pasti semua tertunduk bukan bentuk penghormatan, tetapi tanda ketakutan yang lebih dominan.
"Maaf saya telat… " ucap Tander ketika sudah berada di balik pintu.
"Silahkan… "
"Tak apa, Pak Tander. Kita baru sampai beberapa detik ko, bokong kita baru mendarat di kursi ini belum sampai lima menitan," jawab seseorang mendahului pegawainya. Barangkali, orang itu Pak Pranomo.
Tander senyum sangat tipis, saking tipisnya Pak Pranomo menganggap hal itu keterpaksaan, dalam hati dia sedikit tersinggung, tapi dia harus bisa mempertahankan egonya.
"Mari kita awali pertemuan kali ini, selamat pagi menjelang siang semua. Apa bisa langsung pada pembahasan inti yang Pak Pranomo beberapa pekan jelaskan melalui email tersebut."
Pak Pranomo dengan senang hati akan menjelaskan langsung, dengam begitu tak akan ada banyak basi yang bisa saja merenggut kewarasan dia dalam menjaga martabat diri.
"Selamat pagi kembali pak, sebelumnya saya meminta maaf karena membuat jadwal yang seharusnya pekan depan menjadi hari sekarang. Jadi gini Pak, konsep yang kami tawarkan adalah minimalis. Kami tak akan membahas bagaimana caranya agar mendapat untung sebesar mungkin tetapi modal sedini mungkin, tidak. Minimalis di sana, memperinci sasaran, memperjelas keuntungan, mentargetkan modal awal. Beberapa bulan ke belakang adanya kebanjiran di suatu daerah, dekat pesisir pantai yang sempat ramai diperbincangkan yah? Nah kami berinisiatif membantu tanpa kami harus kehilangan. Yaitu, tentang pengalihan lahan yang isu-isunya akan dijadikan sebagai tempat hiburan menjadikan sebuah ide yang langsung terlintas dalam benak ini. Kenapa harus hiburan, jika tempat tinggal warga setempat masih dipertanyakan. Beberapa minggu setelah kejadian kami langsung mendatangi lokasi lalu membicarakan hal ini lebih lanjut dengan kepala daerah setempat, keputusan final lahan sudah kami kuasai. Jika bapak setuju, kami mengajak bapak untuk bermitra dengan membuatkan desain serta beberapa invest awal dalam mewujudkan hal tersebut. Warga setempat setuju dengan adanya pembuatan rumah, bukan rumah sususan atau apartemen tapi seperti perumahan pada umumnya. Akan tetapi, perjanjian awal, tak akan dibuatkan rumah dan rumah tak bisa ditempata jika cicilan pembayaran tak sampai setengahnya. Teruntuk harga, kita tak ingin memberatkan atau menguntungkan sebelah pihak. Jadi bagaimana pak?" Pak Pranomo dengan cukup jelas memperjelas tujuannya tersebut, Tander Alfenzo hanya menganggukan kepala pertanda dia paham.
"Saya tak bisa memutuskan hal ini sekarang, tetapi bisa saya terima. Untuk keputusan lebih lanjut, akan saya beritahukan lewat surel email bapak. Terima kasih… " Pak Pranomo sangat lega, tampaknya lampu hijau sedah terkantongi tapi entah bisa terealisasikan atau tidak.
Tander tak menaruh kecurigaan apapun pada Pak Pranomo, dia mempersilahkan dengan hormat sebelum pamit untuk pulang.
-------------------------------------------
Selepas mentari datang, jangan pernah terlena oleh ketenangan karena cuaca sangat dirasa tentram, barangkali badai bisa saja ada tanpa menunggu kepulangan cahaya di waktu siang.
***
"Kamu benar Sanders ini tempatnya? Ko orangnya belum datang… " ucap Martha bosan.
"Sudah lima belas menit loh ini, padahal kita pun telat."
Martha terus saja mengecoh tapi tak ada satu pun yang Sanders tanggapi. "Inget Kak, kita di luar. Bukannya kakak bilang harus jaga image… " ucapan Sanders terlihat sangat formal yang dihadiahi cubitan Martha. Matanya melotot mengejek, lalu menyedot minumannya.
"Aduh buu, maaf saya telat." Martha sampai tersedak mendengar suara ngosa-ngosan seseorang dari arah belakangnya.
"Eehh Bu Jessie, loh kenapa? Ayo duduk." Martha mempersihlahkan Bu Jessie, ada raut tak enak yang Martha baca dari wajahnya.
"Gapapa bu, pasti ada alasannya ya… "
"Saya tadi sudah sampai sini pukul sepuluh itu, tapi pegawai saya menelpon bahwa ada sedikit keributan di butik. Mohon maaf sekali… "
Martha tersenyum sambil memegang tangan Bu Jessie. "Jadi apa, mengajak saya bertemu kembali… "
"Saya tidak tahu harus mengucapkan terima kasih bagaimana lagi, bebas dari si brengsek itu, saya bagaikan kembali terbang. Bebas tanpa kekangan, terlepas tanpa taku pulang menjempu kematian. Anak saya pun memahaminya, dan sesuai saran yang ibu sampaikan agar dibawa ke psikiater, dia belajar mulai menerima. Saya harus berterima kasih kepada ibu dengan cara apa? Katakan, saya akan lakukan jika saya mampu."
Martha tersenyum lagi, lebih hangat. "Ibu tak perlu melakukan apapun untuk saya, dengan bertahannya ibu sampai sekarang untuk ibu dan anak ibu, itu sudah menjadi salah satu kebahagiaan saya. Jika ibu memang ingin melakukan sangat agar merasa lunas, sisihkan sedikit keuntungan ibu untuk anak-anak yang terkena banjit di poso itu, ibu tak usah melalui saya. Silahkan cari rekening relawannya."
"Untuk menjadi wanita, tak harus terdoktrin agar berada di rumah terus-menerus patuh pada orang yang perlahan menghancurkan kehidupan itu. Untuk menjadi berharga, tak harus mengemis cinta yang merasa bahwa pada saat yang paling bahagia ketika terbalaskan apa yang diperbuat, karena puncaknya kebebasan ialah merelakan. Rela dengan setiap adegan dari skenario yang telah Tuhan tulis. Lakukan yang terbaik, saya duluan ya… " Martha menyalami tangan Bu Jessie penuh kasih, yang dibalas sentuhan lembut di atas kepalanya.
"Ibumu pasti bangga memiliki putri sebijaksana ini…"
Martha pamit dengan sedikit tergesa-gesa, ruangan yang beberapa saat membosankan itu seperti berubah seketika menjadi pengap tak berudara. Apalagi ketika Bu Jessie membelai kepalanya, bayangan di mana hal yang sama selalu dilakukan Angelica berputar.
"Kamu yang nyetir, ke apotek. Langsung pulang ke rumah, jangan ke kantor lagi."
Sanders tak membantah, dia paham Martha yang tampak tak baik-baik saja.