Tander sedang bersenang-senang dengan minuman dan para wanitanya, musik itu menggema. Selamanya tampak surga yang penuh kenikmatan. Tanpa dia sadari, seorang laki-laki berjaket tengah mengawasinya.
Kakak Bawel :"Kak, target sudah kutemukan. Dia sedang bersenang-senang layaknya para lelaki."
Tulisan terkirim berhasil tertulis di layar gawainya, dengan perasaan tak gentar akam ketahuan dia melanjutkan aksinya.
Kakak Bawel :"Bagus, sekarang kamu keluar dek. Jangan di dalam terlalu lama, itu bisa membahayakanmu, awasi dia dari luar. Jika bisa ikuti mobilnya nanti, di mana dia bertempat tinggal… "
Gawainya berbunyi dan dia langsung membukanya, dia patuh terhadap si pengirim untungnya, jika tidak. Mata Tander akan meliriknya sejak beberapa detik merasa ada yang mengawasinya.
Kakak Bawel :"Kakak serem juga yah di dalam, hahaha. Balik ah takut, udah yah Kak… " Dia meratapi dirinya, harus membantu pekerjaan kakaknya ini.
Kakak Bawel :"Inget kata saya, pepetin dulu sampai tahu alamatnya itu… "
Seseorang yang menerima itu hanya meringgis, lalu dikagetkan dengan orang lain yang merangkul dirinya dari belakang.
"Hey bung, sedang apa kamu di sini?" Sedikit terperangah sebelum menormalkan jantungnya kembali. Dia menurunkan tangan seseorang tersebut lalu tanpa menjawab menghindar langsung, paham betul bahwa keadaannya sedang mabuk.
Menunggu di motor dekat pohon di tengah jalanan sepi, membuat buluk kuduknya merinding juga, jika tidak mengingat sang kakak, dia malas harus melakukan hal ini. Di luar dugaan, ketika lamunan sedang pergi ka alam lain, justru Tander melintasi dirinya, bahkan bertanya kepadanya yang kemudian hal itu membuat dia takut setengah mati.
"Anak muda, sedang apa kamu di sini? Hampir tengah malam. Tidak baik, jika harus berkeluyuran… " tegur Tander.
"Saya sedang menjalankan titah Kakak saya, eh… " Venzo merutuki diri sendiri kemudian. Tander tidak menaruh curiga, dia pun lekas melajukan mobilnya.
"Tuhan terima kasih telah menjaga saya, ayo." Tanpa menunggu aba-aba lagi, setelah mobil Tander melaju jauh tapi masih dilihat dari jangkauan Venzo, dia akhirnya mengikuti menuruti aba-aba dalam dirinya.
Sepanjang jalan, Venzo tak menyadari bahwa arah ini telah membawanya untuk berdialog pada masa lalu. Tentang malam yang kelam yang kerap kali diselimuti ketakutan, tentang gelap tanpa cahaya yang sejatinya pernah membuat dirinya berserah. Ini di luar perkiraan, Tander berhenti di sebuah rumah yang cukup besar, tapi hal lain yang tampak membuat Tander mengurungkan. Venzo segera sadar, dia bersembunyi di tikungan jalan dari kejauhan.
Akhirnya Venzo pun berhasil menulis alamat yang Tander tuju, namun ketika Venzo menunduk untuk menuliskan jalan ini. Tander sudah muncul di hadapannya.
"Hey anak muda, apa ini titah Kakakmu?" Sekarang suaranya lebih garang tak dibuat-buat. Venzo pun sampai menjatuhkan bukunya.
Dia gemetar sekali, Tander masih berbaik hati yang kemudian dia sejajarkan tubuhnya. Dia mengangkat dagu Venzo, agar melihat jelas wajahnya.
"Deg… "
"Anak ibuu… Tander." Suara itu berlarian di kepala Tander seketika, matanya.
"Telpon Kakakmu, suruh dia jemput!" titah Tander melemas. Dia mulai menjaga jarak, tetapi matanya menatap Venzo dengan garang.
Venzo melirik, dan benar. Dia belum memasukan mobilnya.
"Tutt… Tutt… " Kekesalan Venzo berkali-kali lipat kala Kakaknya tak juga mengangkat. Sampai Tander yang mengambil alih untuk menyuruhnya memakai gawai dia. Sebelum itu, tak lupa untuk mengajak Venzo ke teras rumahnya.
"Pakai milik saya, jika kamu benar tidak berbohong."
Beberapa menit menunggu panggilan tersambung, akhirnya Kakak Venzo pun mengangkat.
"Hallo… Dengan siapa ini? Saya bersama Sanders Putri."
"Bacott kamu Kak, sini jemput aku di jalan kenangan no lima, jika tidak. Mati aku, dan ibu pasti benci kamu… " Tanpa menunggu jawabannya, secara sepihak Venzo mematikan sambungannya. Tander menyeringai, dia mengakui keberanian bocah yang ada di hadapannya ini, atau memang tidak tahu siapa yang ada di hadapannya saat ini.