"Tidak ada kebenaran dalam sebuah kejahatan, sepelik apapun hidup. Selalu ada pilihan untuk menempuh jalan yang terbaik."
***
Hidup selalu dihadapakan pada sebuah pilihan, tentang keterhimpitan yang memang menyesakkan, keterasingan yang paling menakutkan, keterbatasan yang seakan tak bisa menemukan jalan, selain harus melakukan hal yang lebih dari kontrol nurani. Ketika kelaparan tak ada biaya, tak ada penolong, tapi pasrah bukan hal yang pasti, sebab maut pun seakan enggan membuka tangan untuk menjemput jiwa yang sudah sekarat di tengah keadaan serba kekurangan. Tak ada pilihan lain, mencuri sesuatu yang ada di depan mata ketika pemiliknya lengah seperti kemudahan yang sedang Tuhan uji. Mengambil satu dua buah dari dua puluh buah mungkin tak masalah, tapi apa jadinya jika hal tersebut menjadi kebiasaan yang terbawa di kemudian hari.
Tander Alfenzo-- Dia tak mencuri, tapi haknya telah direnggut paksa oleh seseorang. Hak bermainnya, hak bahagianya, hak bisa bebas selayaknya anak-anak. Ibunya tak bertanggung jawab, di tengah keadaan yang segala menghimpit, dia malah senang-senang dengan lelaki hidung belang, Tander yang ketika itu berusia sembilan tahun hanya bisa tersenyum pedih atas sikap ibunya. Ayahnya yang sudah tak berdaya, dia menuliskan suatu hal.
"Pergilah cari kehidupan yang layak, yang semampunya pilihan itu tak mengecewakan."
Tander pergi secara diam-diam tanpa sepengetahuan ibu, setelah kejadian ayahnya menulis beberapa kalimat yang langsung menghembuskan napas terakhir. Awal dari petarungan kehidupan seorang Alfenzo pun dimulai, dia pergi tanpa membawa apapun hanya satu buku yang beberapa kalimat belum dia baca.
Tubuhnya yang masih ringkih menembus hujan, gelap dan tanpa alas kaki yang dia kenakan. Alfenzo tak tahu arah tujuannya ke mana, dari satu pasar ke pasar yang lain. Pakaiannya sudah kucel, kulitnya sudah gosong terkena sinar matahari, dia selama kepergian dari rumahnya belum mandi lagi, terhitung sudah ada satu minggu. Sampai dipertemukannya dia dengan keluarga kaya raya.
"Biar saya bantu nyonya," tawarin Tander yang memang kegiatannya itu, untuk sekedar mengisi perutnya dan mampu bertahan hidup tapi entah selama apa.
"Panggil saja Soraya, tentu boleh." Ada kemalangan yang membatin dalam diri Soraya, dia memperhatikan segala gerak lincah Tander untuk mengangkut barang-barangnya.
"Sudah beres Tante Soraya," ucapan Tander yang sudah penuh keringat.
"Tante tidak bisa memberi upah sekarang, kamu mau kan ikut Tante," tawar Soraya.
Mata Tander menatap Soraya, sesaat ketakutan ada. Jiwa yang lainnya tetapi berbicara, kenapa harus takut bahkan hidupku sudah tak ada makna.
"Jangan terlalu mempercayai orang hanya karena satu kebaikannya saja, lihatlah mata yang bisa kamu tatap, putuskan. Hal itu tulus atau sekedar bualan. Mata yang tulus selalu menatap dengan dalam yang tampak berkaca-kaca, mata sekedar bualan retinanya selalu berlari-lari ke arah tujuannya."
"Iya, saya mau… "
Tander pun ikut bersama Soraya. Memandangi matanya membuat Soraya jatuh hati, dan hal itu membuat dirinya mempunyai keinginan untuk merawat Tander sebagai anaknya, kebetulan dirinya tak kunjung memiliki putra.
Setibanya di rumah, Soraya langsung membawa Tander ke kamar mandi, menyuruhnya bersiha-bersih, dan lekas berganti pakaian.
Satu bulan lamanya, hidup Tander bersama keluarga Soraya menjadi sangat berubah, dia seperti pangeran kecil dari keluarga kerajaan. Tander mensyukuri hal itu, tapi tak berlaku lama. Sebelum akhirnya, Soraya mengandung. Tander merasa dihantui kegelisahan, ketika memang Tander akan tersisihkan. Sepanjang malam dia selalu melamun.
"Apa yang sedang kamu lamunkan, anak ibu… "
Tander tersenyum sekenanya, dia memalingkan wajah ke arah lain. Soraya yang sudah beberapa hari memahami, dia akhirnya tampak seperti menemukan celah.
"Tander, kamu anak ibu. Jangan dengarkan kata siapapun, bayi yang berada dalam kandungan ini adalah adikmu. Kalian nanti harus saling menyanyangi, minggu depan ibu akan bereskan berkas pendataan dirimu, jadi kamu bisa sekolah sayang," pintanya.
"Apa itu benar ibu?" tanyanya.
"Tentu… "
Keyakinan ibu yang Tander dengar lebih dari pada sebuah mimpi semata, ketika di mencapai tengah malam. Seseorang datang bersama wanita lain di rumah ini.
"Soraya… Keluar kamu!!" Tander sangat ketakutan ketika mendengarnya, dia mengeratkan pelukan kepada ibu. Dengan sedikit hati-hati, Soraya dan Tander menemui suaminya.
Hati Soraya hancur, melihat wanita lain bergelayut manja di tangan sang suami, bahkan dengan keadaan dirinya yang tengah mengandung anaknya. Lebih terkejut lagi, Tander. Tander masih mengingat jelas bagai wanita yang menyebabkan dirinya sampai celaka, membiarkan ayahnya mati tanpa dirawat.
"Sudah saya bilang, saya tak ingin memiliki seorang anak. Kenapa keras kepala kamu? Jika Tander saja, itukan bukan dirimu yang mengandung. Jadi tak tak akan merusak tubuhmu, jadi mau tak mau mulai--"
"Cukup kamu, mas. Silahkan talak saya, dan pergi di hadapan muka saya. Rumah ini milik saya, perusahaan… ''
"Kamu bego atau terlalu dibutakan cinta, ingat pertengkaran waktu lalu. Saya sudah mendapati penandatangan dirimu untuk memindah alihkan semua harta atas nama saya, satu hal lagi. Tentang Tander yang kamu setujui juga, dia akan saya jual."
"Brengsekk… Kamu bisa merampas hartaku tapi tidak dengan anak-anakku." Soraya mendekap Tander yang entah harus berbuat apa, dia seketika benci kehidupannya mulai sejak itu. Dia tak berani bersuara, cahaya gelap masih menutupi wajahnya, dia takut ibu kandungnya mengenali dia, dan ini Tander sadari pasti menambah luka pada Bu Soraya. Terlanjur, justru karena wanita itu sangat mengenali siapa yang didekap Soraya. Tiga orang yang berbadan kekar siap menjemput Tander.
"Ayo Tander, kamu tak usah menunggu waktu lagi. Pemilikmu sudah menjemput… "
Tiga orang tersebut melepaskan dekapan Tander yang secara kuata terhadap Soraya, dia bahkan mendepak Soraya. Mata Tander berakhir tanpa air mata, dia berpapasan dengan ibu kandungnya yang meremehkan, serta Soraya yang tampak tertatih untuk mengejarnya.
"Nak… Ingatkan apa kata ibu, tungguin ibu sayang. Tander Alfenzo," teriaknya terisak.
Di luar rumah, barang milik Soraya yang seperlunya telah suaminya keluarkan dan dia masuk lagi beserta wanita itu.
Soraya tertatih-tatih berdiri, mengejar tapi tak dapat. Tander yang melihatnya di dalam mobil, menuliskan kata I Love mom, lewat jendela mobil yang berembun.
Gelap, mati dan suram. Untuk keduanya saat itu, Tander tak tahu akan dibawa ke mana. Jelasnya, kehidupan itu membawa Tander menjadi seorang Tander Alfenzo saat ini.
***