Semua tindakan perlu alasan, tapi tak semua alasan perlu dipertanyakan, sebab ada kalanya alasan tak berotasi soal teori, ia hanya berdiri pada keikhlasan hati, karena pengabdian diri terhadap hidup yang telah dijalani.
***
Sepi mendekap gelap yang menyelimuti malam, angin yang sedikit bising menemani keadaan temaram yang kian pekat. Belum ada suara sejak sejam tadi, Sanders hanya sibuk mengetuk-ngetuk pensil di atas meja di hadapannya. Televisi menyala, tapi pandangan Sanders maupun Martha masih sibuk ke arah yang lain. Seperti tak ada niatan yang memecah keheningan, akhirnya terdengar helaan nafas Martha yang kian berembus.
"Kamu tidak berniat bertanya terlebih dulu?" tanyanya dengan wajah yang dia palingkan untuk bisa lebih leluasa menatap rambut pendek Sanders serta matanya yang membola. Sanders menatap balik, dia ingin mengercutkan bibirnya sebal tapi tak bisa.
"Takut salah, kan tadi pagi nyuruh saya diam, soalnya Kakak akan ceritakan. Jadi bingung ah," jawab Sanders asal jeplak.
"Tander Alfenzo itu pernah masuk dalam salah satu list yang akan saya selidiki tapi keburu terlupakan karena hal lain, pas sewaktu saya harus pergi ke poso. Saya sudah menulis namanya, dan memang saya sudah menaruh curiga. Namun yang jadi pertanyaan, pengirim itu siapa yah? Saya tak ingin melibatkan kamu dalam kasus ini. Biarkan saya sendiri yang mencari tahu," tukasnya.
"Terus kenapa alasan Kakak ingin mengurus kasus ini sendirian," ucap Sanders dengan suara yang mirip seperti anak kecil penuh penasaran.
"Entah itu dia… Saya punya firasat lain yang lebih membahayakan, biarkan saya benar-benar mengambil hal ini totalitas."
"Kak, jangan bilang kakak… "
"Apa sih kamu? Saya tidak sedang ingin menjemput kematian, tapi saya sedang ingin mempertaruhkan kehidupan. Kamu ingat tanggal berapa sekarang?" Martha buru-buru menepis kecurigaan Sanders.
"Kamu tidak usah merasa was-was, berapa kali kamu melihat saya hampir tewas? Tander Alfenzo bukan orang sembarangan, saya tidak ingin mempertaruhkan orang lain hanya untuk tujuan saya."
"Lahh ko tujuan Kakak?"
"Kenapa kaget, bukannya kamu sudah tahu?"
Sanders menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia sedikit menghirup udara untuk memasok oksigen yang dirasa mulai menipis, pembicaraan dengan Martha seperti ajang untuk perelaan nyawa.
"Yeah. Tujuan kakak hidup tak lain hanya untuk membantu wanita, mengangkat drajat mereka, lalu menipis segala ke tidak adilan yang selama merungrung seorang wanita. Sangat tidak logistis, ketika patriarki masyarakat soal wanita sangatlah benar-benar bahaya, apalagi teruntuk kaum para biadab, dan kakak curiga pengirim surel tersebut seorang wanita, atau agen mata-mata yang memang mendukung kemajuan tentang wanita."
"Pintar sekali kamu… Itu yang saya maksud." Martha mengacak-ngacak rambut Sanders seperti kepada kucingnya.
"Kakak punya firasat seperti itu dari mana? Bentar. Apa ada yang janggal, Kakak sudah menyelidikinya." Sanders membulatkan matanya terkejut tak percaya, tapi mau bagaimana lagi Martha terlanjur menganggukan kepala.
"Semalam saya tidak bisa tidur, saya tidur sekitar empat pagi. Nah selama jam itu, saya habiskan dengan mencari berbagai informasi mengenai Tander Alfenzo itu siapa, tapi melihat gambarnya, saya merasa pernah bertemu dia, tapi di mana yah?" Martha bercerita tanpa ada yang ditambahkan.
"Dan itu alasan Kakak bangun terlambat lalu membaca buku harian?" Sanders sangat takut menyinggung perkara ini, tapi melihat Martha yang tak seperti bos pada biasa di mana hari dia bekerja, akhirnya kata tersebut pun terlontar.
"Yeah… Tadinya saya ingin mengajak kamu melihat makam ibu peri sore tadi, tapi tahu sendiri kan kamu? Saya pun demam."
"Kakak baca buku harian itu, sudah sampai mana?" tanya Sanders penasaran.
"Saya baru baca sampai judul pertama, tentang "Aku anak yang beruntung " Hahahah…. "
"Kak… " Sanders memegang bahunya.
"Tidak apa, kadang lucu saja. Jika mengingat hal itu, keburuntungan anak usia tiga tahunan kurang dengan kesepian masa sekarang."
"Menurut kamu apa selama ini yang telah saya lakukan adalah hal benar?" tanya Martha sambil membalikan pandannya lagi ke arah depan.
"Sejauh ini saya rasa benar, saya bahagia, saya mandiri, saya bebas melakukan apa saja, tapi seperti ada erangan lain dalam jiwa ini yang saya tak ketahui bagaimana katanya. Saya terkadan lelah menebak hal itu. Sudah dua puluh tahun tepatnya, ketika saya baru saja belajar memahami kehidupan, serta kasus pertama yang membawa saya menjadi seorang Martha Samantha saat ini."