Chereads / Perjuangan Martha / Chapter 5 - Bab 4

Chapter 5 - Bab 4

Selama perjalanan keheningan tak sedikit pun mampu memecah keduanya, hanya deru angin dari setiap pengendara yang tampak seperti nyanyian yang melingkup di gendang telinga mereka. Tahun kedelapan Sanders bekerja dengan Martha, dia tahu setiap momen penting dalam hidup majikannya, dia mulai mengingat apakah hari ini ada kaitannya dengan hari itu. 

Martha sudah pergi ke alam mimpi, dia tak menyadari Sanders yang sedari tadi mencuri perhatiannya. 

Tanggal 31 September, Sanders mengingat, dann bumm… "Kematian ibu peri." Satu kalimat itu yang Sanders ingat. 

"Pantes saja Kak… "

"Ibu… Martha pulangg… " Gadis kecil itu berlari menghampiri bayangan putih di tepi danau. 

"Ibuu… Ibu… Ibu… " Teriakannya lebih kencang, tapi bayangan itu tak juga menoleh. Satu langkah mendekat, gadis kecil yang sedari tadi memanggil ibu memeluknya sangat riang, tapi ketika membuka matanya tak ada yang dia peluk. Bayangan itu seperti berganti posisi, dia sekarang menjadi berdiri. Anak gadis kecil itu tak putus asa, dia mendekat lagi tapi kemudian sama, tak ada yang didekapnya. Ketiga kalinya seperti itu, bayangan putih itu tampak menjauh, sampai gadis kecil sesegukan menangis. 

"Ibuu… " racaunya. Tak beberapa lama bersamaan dengan bayangan putih yang menghilang, ada suara yang memangilnya penuh cinta. 

"Jangan menangis adindaku, ibu di sini baik. Kamu tak boleh pulang hari ini, kamu di sana harus lebih lama, kamu harus bisa lebih bahagia dari apa yang ibu korbankan sayang. Ayolah bangun, kamu bukankah gadis kecil yang sangat beruntung, ibu di sini sangat mencintaimu. Pulang yah, kembali sana."

"Ibu… Ibu… " Martha terus berucap dengan matanya yang tertutup itu. 

"Heyy… Kak. Kak… " Sanders yang khawatir memarkirkan mobil dulu kepinggiran, dia mengguncang Martha yang tampak kesusahan itu. 

"Kakak… Kakak… " 

"Ibu…." ucap Martha melemah, Sanders segera memberikan air minum kepadanya, lalu dicek suhu tubuhnya yang memang sudah naik kembali. 

"Kakak demam… Okay bangun dulu yah. Saya sudah membelikan obat yang kakak minta, jadi kita tinggal pulang. Inget rumah sebentar lagi." 

Martha tak menjawab, dia malah memalingkan wajahnya ke arah lain. Ke arah trotoar yang mengekspos sungai di siang hari yang terik ini. 

"Apa sebenarnya mati adalah keinginan saya yang mampu membuat abadi? Ibu bahkan untuk sekedar memelukmu sekarang Martha tak bisa. Ibu apa yang Martha lakukan selama ini salah?" 

ucapnya dalam hati. 

"Martha mengadu bu, Martha bukan lelah. Martha hanya ingin meminta istirahat sebentar saja." 

*** 

Sanders tak punya pilihan lain selain harus berjaga, dia tak tega jika harus meninggalkan Martha sendirian. Alhasil liburan setengah harinya dia habiskan dengan menonton hiburan di televisi, serta sedikit mengurangi stuck cemilan Martha.

Pukul empat sore Martha terbangun mendapati Sanders yang tampak sedang nyaman tindur di atas kasur lipat, mejanya telah disingkirkan. Martha tersenyum, geleng kepala tak habis pikir dengan kelakuannya. Di kantor, di luar memang seperti tak akrab, bahkan Sanders seperti menjaga jarak, entah apa alasannya, padahal Martha sebelumnya tak pernah meminta Sanders untuk melakukan hal itu, tapi di rumahnya Martha, sudah seperti keluarganya sendiri, sangat bebas melakukan apapun kecuali area yang dilarang langsung oleh Martha. 

Dia tak mengusuli Sanders, lekas bergegas ke kamar mandi. Setelah itu, kemudian memasak nasi dan sayur-mayur kesukaannya. Semua hidangan telah siap, Sanders yamg tak disadari Martha sudah sadar sejak Martha mulai memasak memasang wajah anak kecil kelaparan tapi malu untuk minta makan.

"Nyenyak sekali ya tidurnya," sindir Martha dengan nada canda. 

"Nyenyak Kak, saking nyenyaknya saya sampai bermimpi tuan putri sedang masak untuk babunya… Hahaha." Sanders sukses membuat jawaban dengan lelucon yang Martha anggap sanjungan untuk dirinya sekaligus satire bagi dia. 

"Bagaimana rupa tuan putri itu?" tanya Martha berpura-pura. 

"Rupanya tak begitu nampak jelas, tapi aromanya sukses membaut si babu setengah mati ingin menghilang. Dia malu… " 

"Hahahha… " Martha kembali tertawa lagi, membuat tatapan mata Sanders melunak. 

"Yasudah sii, saya mau memasang wajah tanpa dosa saja yah, tuan putri…" 

"Terserahmulah. Eittss jangan menyentuh dulu, sana mandi!!" ucap garang Martha tanpa dibuat-buat. Sanders cengir menampilkan deretan giginya yang putih.

"Bukan iklan pepsoden." Sanders tak menghiraukan, segera dia menuju kamar mandi yang berada di dekat dengan dapur. 

Mungkin selama ini anggapan Sanders, Martha paling suka jika ditinggal sendirian, dia tak suka adanya keributan. Namun, tanpa dia ketahui, Martha sudah beberapa bulan ini selalu menyukai keadaan di mana dia dengan Sanders tampak saudara, bukan atasan dan majikan. Makanya, dia lebih memilih masak dan mengurus dirinya sendiri ketimbang mengusir Sanders pergi. Dia tak masalah, jika Sanders ingin tinggal selamanya bersama dia. Akan tetapi, Martha pun menyadari, Sanders memiliki tanggung jawab hal lain. Yaitu, adik dan ibunya yang sudah tua renta. Sempat beberapa kali melihat ibunya, tapi tak pernah mengetahui wajah adiknya. 

"Tuan Putri, saya sudah wangi. Jadi boleh makan?" tanya Sanders yang tiba-tiba muncul di hadapan Martha dengan hidangannya.

"Ngomong apa ada yang dipikirkan… " 

"Ayo makan dulu… " Alih-alih menjawab pertanyaan, Martha lebih dulu mempersilahkan Sanders melayaninya. 

"Sanders, jika kamu ingin. Kamu boleh menetap di sini sewaktu-waktu. Oh iya, apa kabar ibumu? Sekolah adikmu?" tanya Martha disela-sela kunyahannya. 

"Dasar Kakak, emang ga bisa diem kalau lagi makan kali yah. Siap, saya akan tinggal di sini selama Kakak tak membuang saya… Ibu baik Kak, adik saya sudah terkondisikan sekarang." 

"Syukurlah… " 

"Oh iya, Kak. Ngomong-ngomong kakak tadi pagi sempat akan menjelaskan maksud dari penasaran saya tentang Tander Alfenzo kan?" tanya Sanders hati-hati. 

"Etdahhh, astaga… Saya hampir lupa, nanti malam deh. Sambil temani saya nonton satu film." 

"Berarti saya--" 

"Yalah, kamu harus bermalam di sini. Telepon adikmu, bahwa sekarang ada lembur. Hihii… "

Bukan bernada permohonan tapi tampak seperti harapan yang selama ini Martha kumpulkan niatnya, Sanders bukan tak ingin tapi dia merasa ada hal lain yang benar-benar sedang mengganggu pikirannya.