"Mi!" sapa pemilik warung nasi itu dengan nada tinggi.
Hilmi yang baru saja menyeruput air putih hangatnya pun sedikit terkejut, bahunya terlonjak sedikit dan langsung menjauhkan cangkirnya dari mulut agar tidak tumpah.
"Kamu ini ... setiap hari sarapannya cuma bakwan sama air putih aja. Enggak doyan makanan lain apa?" lanjutnya dengan terheran-heran.
"Hehe ... enggak, Mang. Ini aja udah cukup kok," jawab Hilmi sambil tersenyum ramah.
Pria yang akrab dipanggil Hilmi itu setiap hari hanya sarapan dengan seadanya saja. Sebenarnya, dia juga ingin sekali sarapan dengan nasi dan lauk pauk yang beraneka macam dan juga mengenyangkan.
Tapi, dengan isi dompet yang langsing layaknya daun kering, Hilmi bisa apa?
"Ah ... yang bener kamu?" balas mamang itu.
"Iya, Mang ...."
"Yakin?"
"Yakin, Mang ...."
"Serius? Masa? Bohong kali ...," tanya Mang Ujang dengan wajah candanya.
Hilmi menghela napasnya dengan berat karena sudah mulai lelah menjawab semua pertanyaan dari Mang Ujang yang dilontarkan berulang kali. Seakan tak mempercayai, membuat keresahan dalam hati. Eaaa
"Bener, Mang Ujang ... serius. Udah ah, saya mau berangkat kerja dulu." Hilmi mengambil selembar tisu untuk membungkus bakwannya yang belum sempat dimakan.
"Wih ... buru-buru banget, emangnya udah dapet kerja kamu, Mi?" tanya Mang Ujang bersamaan dengan Hilmi yang sedang mengambil cangkir berisi air putih hangat, lalu menghabiskannya dengan sekali teguk.
"Doain, Mang ... hehe." Hilmi menepuk pundak Mang Ujang dengan hangat, lalu beranjak dari tempat duduknya.
Mang Ujang hanya tersenyum lebar. "Hati-hati, Mi!"
"Iya, Mang ... Assalamu'alaikum!" salam Hilmi sambil melangkah pergi.
"Wa'alaikumussalam!" jawab Mang Ujang sambil memandang Hilmi yang mulai menjauh dari pandangannya.
***
Saat di perjalanan menuju kantor, Hilmi tampak sangat semangat. Berjalan dengan langkah kaki yang cepat dan bertenaga. Sampai-sampai dia tak ingat jika sedang menggenggam bakwan yang dari tadi belum dia makan.
Ketika melihat seorang pemulung yang sedang beristirahat di trotoar, muncul perasaan Hilmi yang ingin membantunya.
Dia pun merogoh sakunya untuk mengambil dompet.
Ketika memeriksa isi di dalamnya, ternyata hanya ada lalat transparan yang terbang begitu saja.
"Gila! Kosong banget ini dompet, kayak rumah hantu."
Menyadari masih punya harta berharga satu-satunya. Ya! Bakwan! Dengan sigap, Hilmi memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku dan menghampiri pemulung itu.
Ketika sudah dekat dengan pemulung itu, Hilmi perlahan duduk di sampingnya, menatap wajah pemulung itu dengan senyuman yang ramah.
"Permisi, Pak ...." Itu Hilmi.
Pemulung itu membalas senyuman Hilmi.
"Iya, Dek ... ada apa, ya?"
"Hehe ... enggak, Pak. Cuma mau nanya ... Bapak udah sarapan?" tanya Hilmi.
"Wah, Alhamdulillah ... belum, Dek."
"Oh ... belum, tapi Alhamdulillah ya, Pak?" Hilmi terkekeh dengan candaan bapak itu.
"Apapun yang terjadi ... haruslah kita syukuri," balas bapak itu dengan nada bijaksana sambil merapatkan kedua tangannya.
"Haha ... iya, iya." Lagi-lagi Hilmi mengangguk sambil terkekeh.
Sebelum suasana berubah menjadi sunyi, Hilmi langsung memberikan bakwannya yang dibungkus dengan tisu kepada bapak itu.
"Hm ... ini Pak, saya ada sedikit makanan untuk Bapak. Maaf, cuma bakwan aja ... stik dagingnya masih betah di restoran, gak mau dibeli orang, hehe ...," lawak Hilmi agar tak ada kesan merendahkan bapak tersebut dengan pemberiannya.
"Hahaha ... yang bener ini, Dek?" Bapak itu tampak sumringah karena akhirnya bisa melihat makanan pagi ini.
"Iya, Pak."
Perasaan Hilmi seketika berubah menjadi sangat bahagia melihat senyuman yang terpancar dari bapak itu. Teringat wajah bapak kandungnya, yang kini tengah berada di kampung.
"Wah ... MaasyaaAllah. Semoga rezekinya lancar, diberi kekuatan sama Allah untuk bekerja keras tanpa lelah. Terima kasih banyak ya Dek, ya ...." Bapak itu mengelus punggung Hilmi dengan lembut.
"Iya, Pak ... terima kasih kembali," balas Hilmi dengan anggukan yang sopan, "ya sudah kalau gitu ... saya pamit ya, Pak. Assalamu'alaikum ...."
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh ...," jawab bapak itu dengan senyum yang menandakan syukurnya.
***
"Wah ... yang bener, Pak?" itu Hilmi.
"Ya, benar. Mulai hari ini kamu langsung kerja di sini, ya ...," kata seorang bos di tempat kerjanya Hilmi.
"Baik, terima kasih banyak, Pak." Wajah Hilmi terlihat sangat bahagia.
Seakan rezeki terakhirnya yang tadi diberikan kepada pemulung itu kembali lagi kepadanya.
"Ya, sudah ... silakan kamu temui Nadira, dia yang akan mengarahkan kamu nanti."
"Baik, Pak." Senyum Hilmi masih terlihat begitu jelas.
Hingga ketika Hilmi beranjak dari tempat duduknya, senyumannya seketika mengerut. Dia menghadap ke bosnya itu dengan wajah linglung.
"Mohon maaf sebelumnya, Pak. Nadira itu ... siapa, ya?" tanya Hilmi dengan perasaan yang sedikit takut karena meluncurkan pertanyaan yang menandakan dirinya lemot.
"Nadira adalah sekretaris saya. Silakan kamu tanyakan keberadaan dia ke beberapa karyawan yang ada di sini." Sangat tegas ditambah tatapan yang tajam.
"Baik, Pak ... Terima kasih banyak." Hilmi menunduk sebagai tanda hormatnya kepada si bos.
Bos hanya mengangguk dengan memperlihatkan wajah yang kaku, dan lirikan matanya benar-benar membuat siapa saja yang melihatnya menjadi enggan. Sama persis seperti guru killer yang ada di sekolah lah ya. Rawrr!!
Dengan sigap, Hilmi pun langsung beranjak dari ruangan itu.
Setelah menutup pintu ruangan si bos, Hilmi langsung mengusap dadanya dan mengatur napas untuk meregangkan otot jantungnya.
Benar-benar baru pertama kalinya dia bertemu dengan pemilik toko donat yang terkenal. Betapa bangganya dia bisa bekerja di tempat ini.
***
"Permisi, Mbak." Hilmi menyapa seorang petugas kebersihan yang sedang mengepel lantai.
Bukannya menjawab sapaan Hilmi, petugas itu malah mematung sambil menempelkan dagunya ke atas gagang pelnya. Tersenyum menatap mata Hilmi tanpa kedip.
Hilmi pun bingung, menggaruk kepalanya karena tidak tahu ingin berbuat apa. Untuk memastikan kembali bahwa mbak itu masih hidup, Hilmi kembali menyapanya.
"Mbak?" Hilmi menggerakkan tangan kanannya ke kanan dan kiri, tepat di depan wajah mbak tersebut.
"Ganteng ...," ucap petugas itu sambil mesem, membuat Hilmi merapatkan kedua bibirnya.
Entah apa yang Hilmi rasakan sekarang, antara bersyukur dipuji seperti itu, atau malu sekaligus geli karena terlalu sering diperlakukan seperti itu setiap kali bertemu dengan wanita.
"Hm ... maaf, Mbak? Saya mau tanya, Mbak tau ruangannya mbak Nadira?" tanya Hilmi tanpa basa-basi lagi karena sudah tidak tahan berlama-lama.
Tidak ada satupun jawaban, hening dan sangat canggung. Hilmi benar-benar lemas dan gregetan kali ini.
"Mbak?" Masih sabar.
Mbak itu masih menatap Hilmi dengan penuh senyuman dan mematung tanpa kedip.
"MBAK???"
"Eh ... iya, Mas? Kenapa, ya?"
"Ruangannya mbak Nadira di mana, ya?" jawab Hilmi dengan senyuman yang sedikit memaksa karena harus memperlihatkan keramahannya dibalik rasa derita.
"Oh ... mbak Nadira," kata petugas itu lirih dan sambil memandang Hilmi dengan tatapan seperti orang yang baru saja bertemu pujaan hatinya.
"Iya, Mbak," kata Hilmi dengan sedikit penekanan suara dan tekanan batin.
"Itu, Mas ... dari pintu masuk khusus karyawan naik ke tangga, terus belok kanan, ada vas bunga warna merah, di situ penghulunya."
"Hah?"
"Eh maaf, ya ampun. Di situ ruangannya mbak Nadira. Tinggal masuk aja, hehe ...," lanjut petugas itu sedikit malu-malu.
"Oh ... oke, Mbak. Terima kasih, ya ...." Hilmi menundukkan badannya sedikit dan permisi untuk pergi.
"Hati-hati, Mas ganteng ...," balas petugas itu.
Hilmi yang sudah mulai jauh dari si petugas pura-pura tidak mendengar.
Hilmi mulai menaiki tangga itu dan sampailah di depan ruangan yang ada vas bunga warna merah di depannya.
"Lah? Ini vas gak ada bunganya?" kata Hilmi heran, "mungkin bunganya transparan."
Hilmi pun mulai mendaratkan tangannya ke gagang pintu ruangan tersebut. Sambil melihat dan mengingat lagi, ternyata ruangannya persis di samping ruangan pak Bos.
"Lah? Kenapa tadi gak bilang 'Silakan ke ruangan mbak Nadira ya, ruangannya ada di sebelah ruangan saya', hadeh ... merumitkan yang mudah," lirih Hilmi yang disusul dengan helaan napasnya karena sedikit kesal.
Hilmi pun langsung membuka pintunya.
"Permisi, Mbak. Ini benar dengan Mbak Nadira?" tanya Hilmi sebelum benar-benar masuk ke ruangan tersebut.
Wanita itu pun menjawab, "Iya, benar. Silakan masuk." Dia hanya melirik ke arah Hilmi sekilas dan kembali menatap layar laptopnya dengan serius.
Ketika Hilmi mendekati wanita itu.
DEG!
MaasyaaAllah, bidadari kok bisa ada di sini ya.
"Silakan duduk," kata mbak Nadira.
Bukannya duduk, Hilmi masih saja menatap wajah mbak Nadira yang membuat Hilmi sangat terpesona dan mematung layaknya petugas tadi.
Karena merasa ada yang janggal, Nadira mengalihkan fokusnya ke arah Hilmi. Menatap dengan tajam, dan menaikkan alis sebelah kanannya.
"Saya bilang duduk!"