Mendengar Ayman teriak seperti itu, Hilmi, Tata, dan juga Rara pun terkejut. Rara yang yang penakut langsung memeluk Tata dengan erat.
"Ta ... ayo keluar, pulang ... Rara takut ...," rengek Rara.
Tiba-tiba ...
"DOR!"
"HUA!!!" teriak mereka berempat dengan histeris ketika seorang pria mengagetkannya.
Lampu kembali normal, menyala tanpa berkedip lagi. Suasana menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Terlihat bos, Nadira, dan beberapa karyawan keluar dari persembunyiannya.
"Bos ... ya ampun. Hampir jantungan saya. Coba kalo jantungan beneran, saya minta gaji lebih lho, Bos." Ayman mengeluarkan keluh kesahnya.
Bos hanya tertawa, diikuti oleh Nadira dan karyawan yang lainnya.
"Jadi ... itu dusnya siapa yang pesen?" tanya Hilmi yang masih penasaran.
"Loh? Dus yang mana?" tanya bos terlihat bingung.
Hilmi lebih bingung lagi. "Yang ... itu. Tadi ... mana dusnya? Itu Bos kan yang mesen"
"Hah? Siapa yang mesen dus?"
"Bos ...." Nadira tampak kasihan melihat mereka tiada hentinya dikerjai oleh bos.
"Hahaha ... iya. Itu saya yang mesen. Jo ... keluarin makanannya. Kita bagi-bagi sekarang aja."
Karyawan itu pun mengeluarkan dus yang berisi makanan. Tercium harum masakan yang sangat lezat. Membuat hidung yang menciumnya akan merasakan seperti terbang ke angkasa.
"Wih ... makan-makan nih, Bos?" tanya Ayman dengan wajah yang penuh dengan kebahagiaan. Layaknya manusia yang belum makan satu abad lamanya.
"Enggak. Kita jualin makanannya, ya."
Ayman membesarkan matanya tak percaya.
Bos tertawa. Melepas kelelahannya selama seharian penuh bekerja. "Becanda."
Ayman merasa lega.
Ketika dus itu dibuka, aromanya semakin kuat dan membuat perut mereka demo meminta makan.
"Malam ini ... kita bersantai dulu. Makan yang banyak. Kalau habis, nambah lagi. Jangan sampai kita sudah lelah bekerja, tapi tidak bisa menikmatinya ...," ucap bos yang sangat memperhatikan kesejahteraan karyawan-karyawannya.
Dengan segera, satu per satu karyawan diberikan sekotak makanan. Kotak itu berisi nasi dan berbagai macam lauk pauk, serta pelengkapnya.
Dari aroma yang tercium sejak awal, sudah pasti menandakan bahwa makanan itu benar-benar enak dan sangat menggugah selera.
Namun, ketika Nadira membuka isi kotaknya, seketika dia merasa tidak selera lagi. Perutnya menjerit ketika melihat sambal korek yang panasnya benar-benar menusuk hidung.
"Kenapa, Nad? Kamu suka sambel korek, kan?" tanya bos. "Suka banget dong pasti ... ya, kan? Ayo makan. Jangan diliatin aja."
"Hm ... Iya. Bos tau aja kalo saya suka banget sama sambel korek." Nadira tersenyum lebar.
"Tau, dong. Bos profesional pasti tau apa saja kesukaan karyawan-karyawannya."
"Kalo makanan kesukaan saya apa, Bos?" tanya Ayman.
"Nasi sama garem. Ya, kan?" canda Bos.
Ayman hanya tersenyum rata. Merasa tersiksa dengan candaan bosnya. Nadira dan karyawan lainnya tertawa.
Hilmi yang dari tadi memperhatikan Nadira. Tampak ada sedikit rasa khawatir dalam hatinya. Namun, Hilmi mengabaikannya. Mungkin itu semua hanya perasaannya saja yang berlebihan.
Dengan perasaan bahagia. Mereka semua makan dengan lahap sambil sesekali bercanda gurau. Saling menertawakan hal-hal kecil. Dan sedikit membahas kemajuan toko donat ini.
***
Tok tok tok ...
"Masuk!" teriak Nadira.
"Permisi, Mbak. Selamat pagi ...." Hilmi menghampiri meja Nadira. "Ini teh hangatnya."
"Iya, makasih ...," jawab Nadira sambil memegang perutnya dengan tangan kiri, dan satu tangannya lagi memegang 'mouse'.
Hilmi terlihat sedikit khawatir. Nadira yang sejak kemarin memegang perutnya, kini kembali melakukannya.
Karena penasaran dan tidak ingin Nadiea kenapa-kenapa, Hilmi pun menanyakannya. "Mbak ... kenapa?"
"Gapapa," jawab Nadira singkat sambil sesekali menyeruput teh hangatnya.
"Sakit, Mbak?"
Nadira menatap tajam ke arah Hilmi. Karena tatapannya, Hilmi langsung paham dan tidak lagi bertanya.
"Ya udah, kalo gitu saya permisi, Mbak." Hilmi meninggalkan tempatnya.
Setelah Hilmi keluar dari ruangannya, Nadira merasa agak kesepian. Suara Hilmi yang baru saja dia dengar, mampu sedikit menenangkan perutnya yang terasa sakit.
Nadira meletakkan gelasnya di atas meja. "Duh ... ada-ada, deh. Biasanya juga gak sesakit ini," lirih Nadira, memegang perutnya erat dengan kedua tangan.
"Apa gara-gara semalem, ya? Lagian si bos kenapa coba beliin makanan pedes-pedes banget. Malah udah diaduk-aduk sambelnya." Nadira terus menerus menggerutu.
Setelah dirasa mendingan, dia melanjutkan pekerjaannya. Meskipun masih terasa sedikit sakit, dia berusaha untuk menahannya. Ya mau tidak mau. Jika tidak seperti itu, bagaimana mungkin pekerjaannya bisa selesai.
Tak lama kemudian, ada seseorang yang mengetuk pintu ruangannya lagi.
"Duh siapa lagi, sih ...," lirih Nadira.
Berat rasanya untuk teriak dan mengeluarkan tenaga lebih. Akhirnya Nadira memilih untuk diam dan menunggu tamunya untuk masuk sendiri.
Tok tok tok ...
Berulang kali pintu itu terketuk. Karena tidak tahan, akhirnya Nadira mampu berteriak meskipun setelahnya harus merasakan sakit di perutnya yang lumayan menyiksa.
"Masuk! Aduh ...." Nadira memegang perutnya dengan kencang sambil melihat ke arah pintu.
Dan ternyata, itu Hilmi. Nadira terlihat geram, Hilmi yang baru saja masuk ke ruangannya, mengapa tidak masuk saja, tanpa harus menunggu perintah dari Nadira.
Hilmi mendekati meja Nadira lagi. "Maaf ganggu, Mbak ...."
"Ganggu banget," bisik Nadira dengan dirinya sendiri.
"Hah? Kenapa, Mbak?"
"Ah ... enggak, enggak ...."
Hilmi tersenyum manis. "Gini, Mbak ... saya cuma mau nawarin. Kebetulan saya belum sarapan. Mbak mau sekalian saya beliin nasi untuk sarapan?"
'Kok Hilmi baik banget, sih. Perhatian banget, pake nawarin sarapan segala. Gak kayak biasanya,' gumam Nadira dalam hatinya. 'Jangan-jangan ada maunya, nih.'
"Mbak?"
"Hah?" Nadira tersadar dari julitannya yang tak terdengar.
"Gimana? Mau, Mbak?"
Karena perutnya masih terasa sakit, dan tidak nafsu untuk sarapan, dia pun menolaknya. "Enggak, Mi. Makasih."
Hilmi mengangguk kecil. "Kalau dibikinin teh hangat lagi, Mbak?"
"Enggak, ini masih ada."
"Oh ...." Hilmi tak berhentinya untuk menawarkan jasa untuk Nadira.
Ingin sekali rasanya Hilmi membantu Nadira dengan hal sepele sekali pun.
"Kalo ... obat sakit perut? Mau saya beliin, Mbak?"
"Enggak, Mi ... Enggak." Nadira mulai darah tinggi karena terus-terusan ditanya dengan hal-hal yang tidak dia inginkan.
"Oh ... ya udah. Kalo ada apa-apa ... tinggal bilang saya aja ya, Mbak. Nanti kalo bisa, saya bantu."
Nadira mengangguk. Dan berharap Hilmi segera keluar dari ruangannya, agar bisa memberikan ketenangan.
Ketika Hilmi hendak membuka pintu, Nadira menahannya. "Mi!"
Hilmi tersentak, berbalik arah melihat Nadira. "Iya, Mbak?"
Nadira terdiam. Bagaimana bisa dia memanggil Hilmi tanpa ada tujuan apa-apa. Rasanya seperti dia ingin Hilmi keluar, tapi hatinya ingin dia berada di sini menemaninya.
Dengan memanfaatkan keahliannya dalam bersandiwara. Nadira pun bisa mengalihkan kesalahannya menjadi sebuah kejahilan yang lebih bermakna.
"Jam 10 nanti, bawain saya air hangat, ya. Inget ... a–nget. Bukan panas. Bukan dingin."
"Oh ... siap, Mbak." Hilmi senang akhirnya dia berguna juga dalam hidup Nadira.
"Oh, iya ... angetnya juga harus pas. Setelah air yang dari dispenser masuk ke gelas, 5 menit kemudian harus udah sampe ke sini."
Perintah Nadira sontak membuat Hilmi merasa sedikit kesulitan. Namun, untuk Nadira, semuanya pasti akan terasa menyenangkan.
"Baik, Mbak." Hilmi tersenyum manis. Lalu meninggalkan ruangan itu.
Setelah Hilmi pergi, Nadira kembali memegang perutnya dengan kuat sambil sesekali mengeluh sakit.
"Mama ... tolong ...," rengek Nadira seperti seorang anak kecil.