"Ra? Ngapain kamu?" tanya Hilmi yang melihat Rara menghancurkan obat di sebuah plastik bening.
"Oh ... ini, Kak Hilmi, Rara lagi siapin obat buat mbak Nanad," jawabnya.
Mendengar perkataan Rara, tentu saja Hilmi khawatir dan penasaran dengan keadaan Nadira.
"Loh? Emangnya mbak Nadira kenapa?"
"Itu ... semalem abis makan yang pedes-pedes kan. Udah tau bulannya lagi datang ... malah dipaksain. Jadi sakit deh perutnya."
"Oh, gitu ...."
Rara terus-menerus menggerus obatnya. Sampai Hilmi mengambil obatnya dan membantu Rara.
"Eh, Kak Hilmi ... Enggak usah, biar Rara aja."
"Gapapa ... saya bisa bantuin, kok. Itung-itung pahala." Hilmi menaikkan alisnya.
Dari keingintahuannya tentang Nadira, sampai ingin membantu menyiapkan obat untuknya, Rara pun menduga bahwa Hilmi suka pada atasannya itu.
"Kak Hilmi ... suka sama mbak Nanad, ya?" tanya Rara yang sontak membuat Hilmi menjadi salah tingkah.
"Ah ... Sok tau kamu."
"Dih ... enggak boleh bohongin perasaan, Kak. Tingkah Kak Hilmi tuh persis kayak Tata, kalo lagi nunjukin rasa sayangnya sama Rara. Aaa ...." Rara teriak kecil sambil menahan rasa gregetan.
Hilmi hanya tersenyum menanggapinya. Terus menggerus obat-obatnya sampai habis, dan memasukkannya ke dalam plastik kecil untuk stok obat Nadira.
Teng nong!
Suara bel pesanan berbunyi.
"Pesanan sudah jadi, Bu Rara! Jangan ngegosip bersama pelayan yang tak berdosa. Terimakasih!" teriak Ayman dengan isengnya kepada Rara.
Rara pun ingin membalas kejahilan Ayman, namun dia sudah menghilang dari hadapannya. Tak rela membiarkannya begitu saja, Rara pun menghampiri sebuah lubang yang digunakan untuk melihat situasi dapur.
"Kak Ayman jelek! Udah gede masih jomblo, huuu ...."
"Biarin! Dari pada punya pasangan, tapi beda 'job desk'. Huuu ...," balas Ayman tak mau kalah.
Melihat tingkah laku dua orang temannya itu, Hilmi pun tertawa.
***
Tok tok tok ...
"Masuk ...," seru Nadira dengan suara sedikit lemas.
Hilmi pun masuk ke ruangan Nadira. Terlihat Nadira yang sedang menyandar di kursinya dengan posisi tangan yang memegang perut sambil memejamkan kedua matanya.
Sontak Hilmi merasa khawatir dan segera menghampirinya.
Hilmi meletakkan gelas berisi air hangat yang dipesan Nadira, dan satu plastik berisi obat-obatan yang dibutuhkannya.
"Mbak? Mbak Nadira kenapa?" tanya Hilmi dengan panik.
"Enggak, gapapa ... mana air hangatnya?" Nadira menengadahkan tangannya.
Hilmi pun mengambil gelas itu dan memberikannya kepada Nadira dengan hati-hati.
Begitu Nadira meminum air hangatnya, dia terkejut karena ternyata airnya masih sangat panas. Dengan cepat dia meletakkan gelas itu dan mengipas mulutnya menggunakan tangan.
"Aduh, Hilmi! Saya mintanya kan air hangat, bukan air panas! Kamu sengaja bikin lidah saya mati rasa gara-gara kepanasan?!!" marah Nadira kepada Hilmi.
Hilmi pun merasa sangat bersalah. Meskipun dia tak sengaja, karena banyaknya pelanggan dan dia harus mengantarkannya dengan secepat mungkin.
"M–maaf, Mbak ... saya enggak sengaja. Saya lupa nambahin air biasa tadi."
"Duh ...." Nadira merengek kesakitan. Memegang perutnya dan sedikit mengeluarkan air matanya.
Dengan lirih dan tangisan yang samar, dia berkata, "Mamah ...."
Hilmi yang melihatnya pun menjadi sangat khawatir dan ingin membantunya. Namun, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.
"Mbak? Ada yang bisa saya bantu? Mau minum obatnya, Mbak?"
Nadira melihat ke arah Hilmi dengan raut wajah yang tersiksa, menahan rasa sakit di perutnya sekaligus rasa panas di mulutnya.
"Enggak!" teriak Nadira yang terus-menerus menjerit kesakitan.
Hilmi bingung, benar-benar bingung. Andai saja hati Nadira bisa bicara. Dia pasti akan memberitahu Hilmi apa yang harus dilakukannya sekarang.
"Udah, Mi. Mendingan kamu keluar. Keluar! Sana ... keluar ...." Nadira memejamkan matanya kesakitan sambil sedikit mendongak.
Sebenarnya Hilmi tak ingin meninggalkan Nadira dalam keadaan sakit seperti ini. Namun, jika itu yang Nadira inginkan, Hilmi tidak bisa apa-apa.
Dengan hati yang berat, Hilmi pun keluar dari ruangan itu.
Ketika sudah sampai di luar, Hilmi berlari ke tempat Rara.
"Ra! Rara!" teriak Hilmi.
Melihat Hilmi berlari ke arahnya sambil kepanikan, Rara pun latah dan ikut panik.
"Hah? Iya kenapa, Kak?!!"
"Itu ...."
"Itu?"
"Iya."
"Iya. Eh, iya ... Itu? Itu kenapa, Kak?!!" tanya Rara yang mulai gregetan.
"Mbak Nadira ... perutnya kesakitan. Coba kamu tolongin." Setelah memberikan sebuah informasi, Hilmi pun mengatur kembali napasnya.
Rara yang sudah kelewat panik, kemudian memonyongkan bibirnya. "Ih, Kak Hilmi ... kirain mah ada apa."
"Lah? Kamu gak khawatir, Ra? Gak kaget?"
"Ya enggaklah. Kan mbak Nadira emang lagi sakit perutnya, kan?"
Hilmi berdecak pasrah. "Ck! Beda, Ra! Sekarang dia kesakitan banget!"
"Hah! Yang bener?!!"
"Iya!"
Mendengar jawaban Hilmi, Rara langsung menarik kain yang berada di lehernya dan memberikannya kepada Hilmi, kemudian langsung berlari ke ruangan Nadira.
Begitu sampai di depan ruangannya Nadira. Tanpa permisi, Rara main masuk saja dan mendapati Nadira sedang memejamkan matanya.
"Mbak! Mbak Nana!" teriak Rara. Membangunkan Nadira sekaligus membuatnya terkejut.
"Mbak Nanad kenapa?!!" Rara memegang bahu dan tangan Nadira.
"Hah?" Nadira kebingungan.
"Kata kak Hilmi, Mbak Nanad kesakitan?" tanya Rara yang langsung menurun tingkat kepanikannya ketika Nadira terlihat tak merasa sangat tersiksa.
Nadira hanya diam sambil memandang Rara. Suasana menjadi hening dan sedikit canggung.
"Mbak ... gapapa, kan?" tanya Rara sekali lagi untuk memastikan keadaan Nadira.
"Gak."
"Bener?"
"Iya, bener." Nadira mulai merasa sedikit kesal.
Namun, Rara tak mau kalah. Dia pun ikutan kesal dan bahkan sangat kesal. Bagaiman tidak? Hilmi yang memberikan informasi kepadanya bahwa Nadira kesakitan, pada kenyataannya Nadira baik-baik saja.
"Ih ... kak Hilmi! Berani-beraninya ngerjain Rara," ucap Rara kesal.
"Ngerjain? Eh, tapi enggak kok ... bener, tadi perut saya sakit banget. Mana dia ngasih gelas yang isinya air panas." Kini giliran Nadira yang kesal.
Mendengarkan ocehan Nadira, Rara dengan beraninya tertawa, meskipun kecil dan agak ditahan.
"Kenapa kamu ketawa kayak gitu?"
Rara pun menutup mulutnya rapat-rapat.
"Ngeledek?" Nadira menaikkan sebelah alisnya.
Rara mengangguk sambil menahan tawanya.
"Eh, ngangguk lagi kamu," ucap Nadira sambil tersenyum sedikit. "Oh ... mau saya kurangin gajinya?"
"Eh, iya Mbak ... jangan, jangan. Pis ...." Rara menunjukkan kedua jarinya dan giginya.
Nadira cemberut.
"Oh, iya Mbak. Kayaknya ... kak Hilmi suka deh, sama Mbak Nanad." Rara meledek.
"Eh, apaan kamu? Jangan gitu ah ... saya males kalo udah urusan cowok."
"Ih, Mbak ... Jangan kayak gitu, nanti gak ada naksir lagi." Rara mencoba untuk merayu Nadira.
"Kak Hilmi baik lho, Mbak. Rajin juga orangnya, walaupun sedikit ceroboh, tapi dia kalo disuruh-suruh gak pernah ngeluh Mbak ...."
"Nah ... justru itu, ceroboh! Tadi aja saya minta air hangat, malah dikasih air panas coba."
Rara menutup mulutnya dengan tangan. Setelah selesai tertawa dia melepaskannya lagi, lalu berkata, "Jangan liat satu kekurangannya aja, Mbak. Liar sisi kelebihannya juga."
"Ah, berisik kamu. Udah, mendingan keluar deh sana. Kerja, kerja ...."
Rara tak berhenti meledek Nadira. "Ganteng lho, Mbak."
"Ra ...." Nadira menyipitkan matanya.
Rara tertawa lagi, kemudian meninggalkan ruangan itu.