"Milk-in kamu. Aaa ...."
Rara pun tertawa kecil dan langsung terbang ke langit luar angkasa.
Hilmi yang mendengarnya pun langsung merasa geli. "Susu sapi, nasional ...," lirih Hilmi.
"Kenapa, Mas Hilmi? Kamu mau juga?" tanya Tata dengan sok manis, meledek Hilmi.
Hilmi mengernyitkan keningnya. Tanpa menjawab, dia langsung berlari karena takut diterkam Tata.
Rara dan Tata pun tertawa.
***
"Man ... bikinin teh anget, dong ...," pinta Nadira kepada Ayman yang sedang bersantai di kursi dapur.
"Siap, Mbak ...," balas Ayman.
Nadira menarik kursi yang tadi Ayman duduki dan mendudukinya. "Cepetan, Man. Jangan lama-lama."
"Iya, Mbak ... palingan satu abad lagi juga udah jadi."
Nadira menatap tajam bola mata Ayman.
"Hehe ... becanda, Mbak. Sebentar, kok." Ayman tertawa kecil.
Ayman mengambil satu gelas berwarna merah. Menuangkan beberapa sendok gula dan memasukkan kantung teh ke dalamnya. Lalu menuangkan air panas dari dispenser dan mengaduknya.
Setelah selesai, Ayman mengantarkan tehnya untuk Nadira.
Sambil memegang perut, Nadira menerimanya. "Makasih, Man."
"Sama-sama tuan bos." Ayman memperhatikan Nadira. "Kenapa, Mbak? Sakit?"
"Enggak ...." Nadira menyeruput tehnya. "Cuma sakit aja perutnya." Nadira terus memegang perutnya.
"Yah ... itu mah namanya sakit."
Nadira hanya mendengar dan tidak menjawab apapun. Dengan nikmat dia meminum tehnya sedikit demi sedikit.
Ayman menarik kursi lain yang agak jauh dari tempatnya tadi, dan membawanya ke dekat Nadira.
"Beneran gapapa, Mbak? Kalo butuh ambulan bilang aja, nanti tepar di sini kan kasian juga Mbaknya."
"Ambulan, ambulan ... kamu pikir saya lagi sekarat?" gerutu Nadira.
Ayman hanya tersenyum dan menunjukkan kedua jarinya meminta damai.
Tak lama, datang Rara dan langsung menyuruh Ayman. "Mas Ayman ... donat yang enggak bolong tengahnya udah mau abis. Bikin lagi sana."
"Ckk! Baru juga santai, Ra ... Ngerusak istirahat orang aja, nih." Ayman mengeluh dengan tampang melas.
"Kamu mau istirahat ya, Man?" tanya Nadira.
Ayman mengangguk manja sambil memonyongkan bibirnya, cemberut.
"Sekarang jam berapa, Man? Mau beli waktu istirahat?"
"Eh ... i–iya, Mbak. Enggak, enggak jadi. Ini saya langsung kerja," sahut Ayman panik.
"Bener? Gapapa loh. Mumpung lagi diskon ... satu persen."
"Enggak, Mbak. Saya mau kerja aja. Saya kan rajin." Ayman tersenyum takut.
Melihat tatapan Nadira yang menakutkan, semakin membuatnya takut dan langsung pergi untuk membuat donat.
"Hahaha ...." Rara tertawa setelah Ayman pergi dengan rasa kecewanya.
Nadira terus meminum teh hangatnya sambil memegang perutnya yang kesakitan itu.
Rara melirik ke arah Nadira. "Loh? Mbak Nadira kenapa perutnya? Hamil?"
"Eh, sembarangan."
"Hehe ... becanda, Mbak. Terus kenapa, dong?"
"Biasa ... tiap bulan ...," jawab Nadira singkat.
Seakan tahu dengan maksud Nadira. Bahkan, mungkin sudah menjadi kode yang dimengerti oleh para wanita yang ada di dunia.
Rara pun menjawab, "Oh ... yang sabar, Mbak. Bulan pasti berlalu, hihi."
"Eh, itu yang jaga kasir siapa?"
"Oh iya! Aduh, Mbak. Lupa, lupa ... maaf." Rara langsung berlari ke luar dapur menuju kasir.
Nadira menggeleng melihat kelakuan karyawannya itu.
***
"Permisi ... paket!"
Teriak seorang laki-laki yang berada di luar toko donat. Toko sengaja ditutup lebih dulu. Entah maksud dari bos apa, para karyawan di sini hanya menurut saja.
Hilmi yang baru saja membersihkan meja terakhir, langsung membukakan pintu masuk yang juga dekat dari posisinya saat ini.
"Iya, Mas?" tanya Hilmi.
"Ini, Mas ... pesanan dari Ayman Nurrofi." Tukang pengantar makanan itu memberikan satu dus berwarna coklat.
Hilmi menerimanya. "Oh, ya udah. Makasih, Mas."
"Iya, sama-sama."
Ketika pengantar itu hendak pergi, Hilmi menghentikan langkahnya. "Eh, Mas!"
"Iya? Kenapa ya, Mas?"
"Ini ... udah dibayar kan, ya?" tanya Hilmi yang masih berdiri tegap menahan berat dus yang dibawanya.
"Iya, Mas ... udah, kok."
"Oh ... Bagus kalo gitu. Iya dah, Mas ... silakan boleh pulang." Hilmi tersenyum lebar.
Pengantar itu pun pergi. Hilmi menutup pintu toko dan masuk ke dalam.
Ketika sudah sampai di meja kasir, Hilmi menaruh dus itu dengan beratnya. Rara yang juga sedang membersihkan meja, bertanya padanya.
"Loh? Ini apa, Kak Hilmi?" tanya Rara dengan penasaran sambil mengintip-intip isi di dalam dus tersebut.
"Enggak tau saya juga. Katanya sih pesenannya Ayman ...," jawab Hilmi.
Tata dan Ayman yang sudah selesai dengan urusan dapurnya pun keluar.
"Nah, tuh orangnya ...," kata Hilmi sambil menunjuk ke arah Ayman dengan dagunya.
"Mi, Ra ... pulang dulu, ya!" ucap Ayman, sudah siap untuk pulang.
Hilmi menarik bahunya. "Eh, tunggu tunggu ...."
"Apa?"
"Tuh ... pesanan kamu."
"Hah?" Ayman mendekati dus itu. Disusul oleh Tata yang juga penasaran.
"Lah? Apa ini?" tanya Ayman yang curiga sebelum berani membukanya.
"Lah, kok gak tau? Orang kamu sendiri yang pesan, kok."
"Ah ... enggak. Saya dari tadi beres-beres dapur bareng Tata. Hp saya juga mati, kok."
Hilmi melihat ke arah Rara. "Nah ... Rara, apa itu Ra? Tadi kan kamu udah ngintip."
"Hm ... Oh ... itu ...," jawab Rara membuat semuanya penasaran.
"Apa?" sahut Hilmi, Tata, dan Ayman dengan kompak.
"Itu ...." Rara menggantung kata-katanya.
Hilmi, Tata, dan Ayman sudah gregetan menunggu dia berbicara.
"Gak tau, ehe ...," jawab Rara polos.
Mendengar jawaban Rara, mereka bertiga pun tambah stres.
"Tadi kan kamu udah ngintip, Ra." Hilmi geram campur lemas.
"Gak keliatan, sih ... gelap," jawab Rara.
"Ah, kelamaan ... tinggal buka aja dusnya." Tata mendekati dus itu.
"Eh! Jangan!" teriak Ayman.
Tata terkaget-kaget. "Duh ... Mas Ayman bikin jantungan aja. Emangnya kenapa, Mas?"
"Kalo itu bom, gimana?" ucap Ayman membuat Rara takut dan mundur dari posisinya saat ini.
"Terus pas dibuka ... DUARRRRR!" lanjut Ayman membuat bahu teman-temannya terlonjak naik karena terkejut.
Rara yang penakut langsung mendekati Tata dan bersembunyi di balik badannya. "Ah ... Mas Ayman jangan nakut-nakutin."
"Saya gak nakut-nakutin. Saya cuma ngingetin, kok." Ayman menjawab dengan penuh keyakinan.
"Ya udah ... ayo ke luar, ke luar ... takut. Tata, ayo ke luar ...," ucap Rara merengek ketakutan.
Tata yang sangat menyayangi Rara pun berusaha untuk melindunginya.
"Tenang, Ra! Seganas apa pun bom itu!" ucap Tata sambil menunjuk ke arah dus besar itu.
"Tata akan selalu melindungi Rara. Dan tak akan membiarkan kamu terluka."
Hilmi dan Ayman tiba-tiba merasa mual. Mendengar ucapan-ucapan sok puitis dari Tata, yang selalu dia berikan kepada Rara.
Tiba-tiba ...
"AAAAAAAAA!" teriak mereka semua ketika lampu di toko donat tiba-tiba mati.
"Tata! Rara takut!" teriak Rara sambil menahan tangisnya.
"Tenang, Rara! Tenang! Semua akan baik ...."
Belum sempat Tata melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba lampu menyala kembali.
"Sudah kubilang, kau akan baik-baik sa ...." Kata-kata Tata kembali terpotong saat lampu di ruangan itu kembali padam dan menyala berulangkali.
"Ja ...," lanjut Tata sambil memeluk Rara dan ikut ketakutan juga.
Lampu tetap kedap-kedip berulang kali. Suasana makin terasa menyeramkan. Ayman dan Hilmi yang ketakutan pun mulai berpegangan tangan. Ingin melangkah lari ke lua, namun tidak bisa.
"Loh! Kok kardusnya hilang?!!"