Ellina memandang langit yang tadinya cerah kini tertutup sebagian oleh awan kelabu. Entah berapa hari sudah Ellina menghilang dari peradaban. Apakah penggemarnya akan heboh jika mengetahui kalau aktris kesayangan mereka sudah menikah dengan pria aneh.
Sudah cukup lama Ellina merenung memikirkan Bagaimana cara dia keluar dari tempat ini. Karena dia tau, itu adalah hal yang sulit untuk dilakukan.
Eyden dan para bawahannya mengawasi Ellina dua puluh empat jam. Bahkan Eyve diam-diam melaporkan segala yang Ellina katakan pada Eyden.
Tentu saja Ellina tidak sengaja tau saat apa yang Ellina katakan pada Eyve, diketahui oleh Eyden padahal posisinya di sana tidak ada Eyden.
Yang dia butuhkan sekarang adalah teman untuk bekerjasama. Akan sulit jika melakukannya sendiri bukan? Begitulah yang Ellina pikirkan saat ini.
Tapi pertanyaannya, siapa yang mau diajak kerjasama untuk menghianati Eyden? Tentu saja tidak ada yang mau, kecuali ... Kelen?
"Ah tidak mungkin dia mau," gumam Ellina.
Ternyata gumaman itu sampai ke telinga Eyden yang sedang berdiskusi dengan para penatua, ditemani oleh Ellina.
"Siapa yang Ratuku maksud?" Tanya Eyden sopan.
Kalau di depan para penatua, Ellina dan Eyden diwajibkan memanggil satu sama lain dengan panggilan yang sopan, seperti Rajaku atau Ratuku. Ellina tidak boleh memanggil Eyden sembarangan.
"Tidak ada, aku hanya sedang memikirkan sesuatu yang tidak penting. Lupakan saja," balas Ellina dengan cepat seraya menyengir.
"Kamu berbohong."
Tatapan mata Eyden seakan menajam, membuat Ellina pasrah dan hanya mengangguk untuk memastikan kalau apa yang dia katakan memang benar adanya.
"Kebetulan Ratu berada di sini, apa sudah ada tanda-tanda akan kehadiran calon penerus?" Salah satu penatua bertanya padanya.
Tentu saja hal itu membuat Ellina menatap heran. Bagaimana bisa mereka baru dua hari yang lalu berhubungan, sudah ditanyakan seperti itu? Lalu memangnya apa Ellina mau mengandung semuda ini, oh tentu saja tidak.
"Ini baru dua hari," balas Ellina dengan senyum terpaksa.
"Wah kalau begitu anda harus berusaha keras."
Ellina melongo tidak percaya, namun setelahnya menggeleng dan menghela nafas lelah. Mereka tidak pernah belajar ilmu biologi atau bagaimana?
Karena ingin menjaga kewarasannya, Ellina pamit pada Eyden dengan sebuah senyuman yang terlihat tulus, namun aslinya memaksa.
"Aku ingin melihat yang lain Rajaku, apa aku boleh beranjak?" Tanya Ellina sopan.
Eyden yang mendengar ucapan Ellina yang tulus, mengangguk dan sebelum Ellina beranjak Eyden sempat menunjuk pipi sebelah kanannya.
"Untuk apa?"
"Kamu belum memberikan kuncinya Ratuku."
"Kunci apa?" Tanya Ellina semakin heran.
"Kecupan untuk pipiku?" Ucap Eyden yang seakan menyerah karena Ellina tidak paham.
Ellina kembali melayangkan senyumannya dan mendekat untuk mengecup pipi sebelah kanan Eyden. Setelah itu pergi secepat mungkin.
Ellina bergidik ngeri setelahnya. Kemudian tidak sengaja menabrak seorang wanita. Kebetulan lagi Ellina menabrak Kelen yang kini masih menatapnya garang.
"Ada apa dengan tatapanmu itu?"
"Tidak terbiasa dengan kehadiran anda," balas Kelen dengan santai.
Tentu hal itu membuat Ellina menggeleng tidak percaya. Kelen terlihat dendam padanya, Ellina bahkan tidak tau letak kesalahannya ada dimana.
"Kamu tidak menyukaiku?"
Kelen hendak menjawab, namun Ellina dengan cepat menyela ucapan Kelen, "aku juga membencimu, terimakasih."
Setelah itu Ellina melengos pergi begitu saja meninggalkan Kelen yang membulatkan matanya tidak percaya, bahkan sekarang tatapannya semakin tajam dan dirinya semakin kesal.
***
"Anda yakin kita akan masuk kesini?" Ucap Vernon ragu.
Mereka masih terpaku dengan keadaan hutan belantara yang ada dibalik bangunan kuil lama yang tidak terpakai. Mereka agak bingung, apa mereka akan pindah dimensi atau tetap berada di sini.
Begitu juga dengan Yorsa yang menyingkap tumbuhan rambat, tatapannya beralih pada pria paruh baya yang menarik satu sudut bibirnya.
"Menurut kalian bagaimana?"
"Kalau kalian ragu sebelum melangkah, kita bisa berbalik dan pergi sekarang juga," balas pria paruh baya itu.
"Tapi ... Aku tidak akan membantu dua orang pengecut lagi," tambahnya.
Yorsa dan Vernon saling pandang, mereka akhirnya mengangguk menyetujui ucapan dari pria paruh baya itu.
Tidak ada jalan lain selain maju terus kan? Pantang untuk bergerak mundur ketika mereka sudah berada di tengah jalan.
"Kenapa hutan belantara ini terlihat begitu lebat?"
"Mungkin karena jarang yang tau tentang keberadaan dari hutan ini," balas pria paruh baya itu.
"Apa mungkin Nona masih selamat?' Tanya Vernon ragu.
"Jangan bicara seperti itu!"
"Maaf, ini hanya spekulasi saja."
Pria paruh baya itu menggeleng pelan sembari terus melangkah. Dia melangkahkan kakinya ke jalan lurus yang mengarahkan mereka pada sebuah batu besar.
Yorsa sempat terdiam memandang batu yang begitu besar. Bahkan di depan batu itu terdapat sebuah ukiran aneh dengan gambar manusia.
"Kalian lihat batu besar ini?"
"Tentu saja," jawab Vernon yakin.
"Maka kita sudah sampai, sepertinya temanmu itu ada di antara dua suku. Akan sangat berbahaya kalau kita terang-terangan ke sana. Mungkin kita harus bersembunyi."
"Apa kedua suku itu suka makan manusia?" Tanya Vernon takut.
"Dasar bodoh!"
"Itu tidak mungkin terjadi, karena kalau mereka makan sesama, maka tidak ada lagi kaum mereka, bukan?"
Mereka berdua mengangguk dengan polos kemudian terus berjalan dengan hati-hati, takut menginjak sebuah ranting agar suara langkah mereka tidak terdengar.
"Kenapa tempat ini tidak dijamah oleh pemerintah?"
"Diamlah, kita ke sini bukan untuk study tour."
Vernon menyengir lebar, namun ternyata pertanyaannya dijawab oleh sang juru kunci, sehingga membuat Vernon menggeleng tidak habis pikir.
"Karena letaknya yang tersembunyi dan juga jarang sebenarnya ada yang melintas di daerah ini, dan mengalami kecelakaan seperti yang dialami oleh kawanmu."
"Di sini juga banyak sekali hewan buas seperti kawanan serigala. Pastikan kalian tidak terluka sedikitpun."
Mereka berdua mengangguk setelah bergidik ngeri. Tidak disangka hutan yang begitu tenang, ternyata menyimpan banyak misteri.
"Air terjun," gumam Verno seraya menatap ke arah air yang begitu jernih.
"Ini sangat bersih, bagaimana bisa ada air terjun dengan air seperti ini?" Yorsa berkata seraya berkacak pinggang, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat.
"Ada, mungkin ini milik suku bintang. Beruntung kita lebih dulu sampai di wilayah suku bintang."
Mereka berdua mengernyitkan dahi mendengar ucapan dari pria tersebut. Tangan Yorsa hendak menyentuh sebuah ranting, namun mendadak urung ketika mengetahui ternyata ada ular di ranting tersebut.
"Suku bintang?"
"Kalian anak kota yang kurang belajar sejarah rupanya. Setidaknya suku bintang pernah disebut beberapa kali di buku sejarah, kalian bisa cek kalau tidak percaya."
Vernon hendak mengecek kebenaran ucapan dari pria paruh baya didepannya ini, hanya saja sinyak ponsel tidak ada.
"Susah sinyal."
"Kalau sinyal aja sesusah ini, maka bagaimana Dengan menemukan Ellina!" Ujar Yorsa frustasi.
"Itu benar, apa yang harus kita lakukan?"
Pria paruh baya itu menghela nafas, "kalian sudah sampai, kemungkinan juga teman kalian ada di suku bintang."
"Kenapa anda begitu percaya diri."
"Karena lokasinya tepat dengan terakhir kalinya temanmu itu ditemukan, ck dasar manusia kota yang bodoh!"