Sementara itu, kegiatan di Dreamland Word sudah di buka sejak jam delapan pagi. Semua anak-anak terlihat gembira menikmatinya. Hanya Ari saja yang melihat dari kejauhan. Karena dia telah kehilangan kartu emasnya.
Saat itu hari masih tengah hari, sekitar pukul dua belas siang. Tugasnya menjual koran sudah selesai dan kebetulan ia melewati tempat Dreamland Word berdiri. Tetapi tidak ada satu anak pun yang memperhatikannya. Karena mereka semua terlalu asyik bermain. Menikmati setiap wahana yang ada.
Akhirnya Ari teringat, dia harus keliling lagi untuk menjajakan jasa semir sepatunya. Maka dari itu ia pun bergegas meninggalkan tempat tersebut dengan hati sedih. Sembari jalan pulang, Ari berkata kepada dirinya sendiri, "Udin, awas saja kau jika aku menemukanmu."
Baru saja dia berkata demikian tiba-tiba ia menubruk seseorang. Karena dari tadi ia jalannya sambil menunduk. Karena saking sedihnya.
Begitu Ari menegakkan wajahnya ke atas. Betapa terkejutnya bocah itu, karena yang di hadapannya ada si bang Brewok.
Bocah itu pun perlahan-lahan membalikkan badannya dan hendak lari dari hadapan si Brewok itu, tetapi dengan cepat tangannya menarik kerah baju belakang bocah tersebut sambil berkata, "Mau kabur ke mana kau!" dengan suara yang menggelegar.
"Anu bang...!" kata Ari dengan suara terbata-bata.
"Cepat serahkan kartu emas itu kepadaku!" sergah bang Brewok terhadap Ari sambil membalikkan tubuh bocah itu ke hadapannya. Sehingga mereka saling bertatapan muka lagi satu sama lain. Sedangkan tangan kanan dari si Brewok sudah membentuk kepalan tinju dan hendak di arahkan ke wajah Ari.
Bisa di bayangkan kalau kepalan tinju dari tangan si Brewok yang besar itu mengenai tepat di wajah Ari yang berusia sepuluh tahun, akan terjadi pembengkakan pada wajah anak tersebut.
Brewok tampak tidak sabar, ia pun segera bertanya lagi, "Mana kartu emas itu!"
Rupanya Ari tidak takut sama sekali, ia malah menantang si Brewok dengan berkata, "Sudah aku katakan tidak ada padaku. Jika sekarang paman hendak memukul saya. Pukul saja!"
Sesudah berkata demikian bocah sepuluh tahun itu berkacak pinggang di hadapan si Brewok.
Melihat bocah itu menantangnya, tanpa segan-segan bang Brewok pun segera melayangkan tinjunya ke arah wajah Ari.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba sebuah tangan yang terlihat keriput menahan laju tinju tersebut sambil terdengar suaranya, "Tahan!"
Bang Brewok pun terkejut mendengar suara itu, dan ia pun menoleh ke arahnya. Ternyata benar dugaannya, "Pemilik suara itu adalah Babah Liong."
Melihat Babah Liong ikut campur urusannya, Brewok pun berkata dengan suara menahan amarah, "Babah Liong. Tolong, kali ini jangan ikut campur urusanku."
Sahut Babah Liong dengan suara datar, "Tidak bisa. Aku harus ikut campur karena kau hendak melakukan kekerasan terhadap seorang anak di bawah umur. Tindakan ini tidak bisa aku biarkan begitu saja."
Sambil berkata demikian tangan yang satunya lagi memaksa agar tangan si Brewok yang memegang kerah di belakang baju Ari untuk melepaskannya.
Terjadilah adu kekuatan, tetapi Brewok mulai terlihat meringis kesakitan. Akhirnya ia pun melepaskan kerah baju belakang Ari, sehingga lepas dari genggaman.
Merasakan dirinya terbebas, anak itu segera kabur sambil berteriak, "Terima kasih Babah Liong!"
Melihat mangsanya kabur, si Brewok menoleh ke arah Babah Liong dengan wajah yang terlihat memerah. Merah seperti kepiting rebus.
"Kenapa, mau mengejarnya lagi? Silakan saja. Jika kamu macam-macam terhadapnya, awas saja!" sesudah berkata demikian Babah Liong melepaskan pegangan terhadap kedua tangan si Brewok.
Padahal Babah Liong melepaskan kedua tangannya dengan perlahan. Tetapi itu sudah membuat si Brewok malu di hadapan para anak buahnya. Ia jatuh terjengkang ke belakang, jatuh duduk.
Bersamaan dengan itu Babah Liong telah menghilang dari hadapan si Brewok dan para anak buahnya. Sedangkan anak buahnya tidak berani tertawa. Mereka semua menahan tawa ketika melihat sang jagoan jatuh duduk di aspal.
Dari kejauhan Ari pun menyaksikannya, dan ia tertawa terpingkal-pingkal. Kemudian ia teringat akan pekerjaannya untuk menjajakan jasa semir sepatunya. Akhirnya ia pun pergi dengan hati gembira. Gembira melihat si bang Brewok telah di kalahkan oleh Babah Liong.
Justru hal itu membuat hati Bang Brewok semakin panas. Ia semakin memburu Ari dan Udin. karena keduanya telah membohongi dirinya.
"Awas saja kalian berdua!" katanya dengan nada mengancam, sambil bangkit berdiri.
Iya melihat ke arah anak buahnya, "Apa yang kalian lihat. Cepat pergi dari sini. Cari kedua anak itu sampai dapat!" bentaknya kepada mereka semua.
Tanpa di suruh lagi, para anak buahnya langsung lari tunggang langgang untuk mencari kedua anak itu, sedangkan si Brewok tahu tempat tinggal Udin.
Ia pun segera menuju ke kediaman si Udin.
****
Sedangkan si Udin masih berada di kediaman Babah Liong. Tepatnya di dalam sebuah kamar yang seperti kamar hotel tersebut.
Udin masih merasakan berada di sebuah tempat. Ia jalan-jalan di tempat tersebut, tiba-tiba ia melihat seorang tua renta meminta-minta sedekah.
Melihat orang tua renta yang sedang meminta-minta tersebut, tiba-tiba ia teringat akan kartu emasnya. Dan otomatis, kedua tangannya meraba ke kantongnya sendiri, begitu merasakan benda tersebut masih berada di dalam kantongnya, ia pun segera menarik nafas lega sambil berkata, "Syukurlah."
Orang tua itu menatapnya sambil berkata, "Den, kasihan den. Abah belum makan seharian." Ucap si orang tua itu dengan wajah yang terlihat memelas.
Udin memperhatikan wajah orang tua itu, lalu katanya dalam hati, "Sepertinya aku kenal. Tetapi di mana ya?"
"Den, berikan sedikit saja makanannya den. Kamu di meja makan itu banyak sekali makanan. Berikan sedikit saja, Den." Kata si orang tua itu kembali dengan suara memelas.
Mendengar perkataan si orang tua itu, Udin malah membentak, "Makanan. Mana ada makanan di sini. Aku sendiri baru saja tiba di sini dan tidak melihat ada makanan sedikitpun di hadapanmu. Tetapi kau orang tua malah berkata ada meja di sini dengan banyak makanan. Ada-ada saja kau ini!"
Sambil berkata demikian Udin pun mengambil sebuah batu yang berukuran sedang dan di lemparkan ke arah orang tua itu seraya berkata, "Pergi sana!"
Si kakek pun segera menangkap batu itu sambil berkata, "Terima kasih den."
Mendengar si kakek mengucapkan terima kasih, Udin segera menyilangkan telunjuknya sendiri di depan dahinya sambil berkata pelan, "Dasar orang sinting. Batu di sangka makanan."
Sesudah berucap demikian ia pun menggelengkan kepalanya dan berjalan lagi.
Tak lama kemudian ia melihat seorang tua yang mirip tadi, tetapi kali ini orang tua itu berpakaian rapi dengan setelan jas berwarna putih-putih. Sepatu yang di pakainya juga berwarna putih pula.
Orang itu mendekati Udin, sedangkan tangannya terlihat sedang membawa sebuah tas koper. Begitu sudah berada di hadapan Udin, orang itu pun segera membuka tas koper tersebut dan tampak isinya uang semua. Uangnya uang dolar pecahan seratus ribu dolar Amerika.