Merasa kesal Udin pun pergi dari depan rumahnya sendiri.
Baru saja berjalan beberapa langkah, tidak ada angin ataupun tidak ada petir. Karena saat itu bulan Juni bulan libur sekolah dan masih musim panas, tiba-tiba datang hujan mengguyur dengan derasnya.
Ia pun segera mencari tempat untuk berlindung. Karena di daerah itu banyak rumah kosong yang di tinggal pergi begitu saja oleh pemiliknya, akibat dari sebuah kerusuhan yang melukai hati banyak orang dan korban yang tak terhingga.
Akhirnya Udin memilih sebuah bangunan yang masih terlihat layak untuk di tempati. Di katakan layak karena tidak bocor.
Udin pun merebahkan dirinya. Dan ia tiba-tiba teringat akan kartu emas tersebut, tangannya pun langsung meraba saku celana sendiri.
Begitu tangannya menyentuh kartu emas tersebut terlihat ia menarik nafas sambil berkata pelan "Syukurlah masih ada." Kemudian ia menarik keluar kartu emas tersebut dari saku celananya.
Ia memandangi kartu emas tersebut, hingga matanya mulai sayu terasa lelah dan mengantuk sekali, hingga ia pun perlahan-lahan mulai terlelap.
Ketika ia terlelap ia seperti dirinya melayang di atas awan dan melihat sebuah bangunan yang seperti istana.
"Itu kan bangunan di Dreamland Word!" seru Udin dengan suara yang terdengar gembira.
Saking suaranya yang keras itu, membuat dirinya pula langsung terjaga karena kaget sendiri. hingga tubuhnya terjatuh dari sofa yang ia tiduri dan kepalanya terbentur lantai.
"Aduh!" teriak Udin kesakitan.
Bersamaan dengan itu terdengar suara beberapa orang dari luar tempat Udin berteduh, "Suara apa itu?!" kata mereka serempak.
"Coba kita cek, saja." Kata salah satu dari mereka bertiga.
"Jangan, nanti penunggunya marah loh." Ucap yang lainnya lagi.
Kata temannya yang lain lagi, "Benar, baru di bilang udah merinding nih tengkuk ane."
Mendengar temannya berkata demikian, kedua temannya yang lain terdengar melarikan diri menjauh dari tempat tersebut.
Sedangkan yang mengatakan bulu tengkuknya berdiri, ia pun ikut lari pula sambil berteriak, "Han...!"
"Hantu!"
Udin yang terkejut mendengar orang itu mengatakan hantu, ia pun ikut menoleh ke belakang.
"Tidak ada apa-apa." Ucap Udin penasaran.
"Atau, jangan-jangan. Yang di sangka hantu oleh mereka itu adalah aku." Kata Udin sambil menunjuk ke dirinya sendiri.
Udin pun tiba-tiba saja juga merasa merinding dan perlahan-lahan ia pun berusaha melangkah keluar dari bangunan tersebut.
Begitu ia keluar tampak sebuah bayangan putih berkelebat dengan cepat pindah ke bangunan sebelah dengan tawanya yang khas.
Kejadian itu membuat Udin langsung pingsan saat itu juga di jalanan.
Pada malam hari, jalanan di daerah perumahan Udin tidaklah sepi. Sangat ramai, terutama kalau di libur sekolah atau di malam minggu. Tetapi kali ini suasananya sangat beda. Mungkin karena habis hujan?
Tidak juga.
Sepi di sebabkan, karena malam sebelumnya di tempat itu, persis di dekat Udin pingsan ada seseorang yang mati gantung diri.
Udin, bang Brewok serta Ari tidak tahu kalau di situ ada yang meninggal secara mengenaskan seperti itu, sehingga menganggap biasa-biasa saja tempat tersebut sampai terdengar suara orang berteriak hantu.
Saat itu sesungguhnya Ari pun juga berada di sekitar tempat tersebut, tempatnya tidak jauh dari tempat Udin berteduh.
Ari pun juga kaget ketika mendengar orang-orang itu berteriak ada hantu. Ia pun hendak keluar dari tempatnya berteduh. Tetapi ketika melihat bayangan Udin, Ari segera menahan diri untuk tidak jadi keluar dari tempatnya berteduh.
Ia pun segera bersembunyi takut ketahuan oleh Udin.
Ketika Ari mendengar suara tawa yang khas dari hantu itu, ia pun segera menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Hingga anak itu pun ikut pingsan juga.
****
Kedua bocah itu pingsan sampai terdengar bunyi ayam berkokok.
Mereka berdua terkejut mendengarnya. Karena bunyi ayam itu keras sekali, sepertinya suara itu dekat sekali di telinga mereka saja.
Bocah itu terbangun gelagapan.
Kalau yang di ingat Udin ketika terbangun yaitu pertama-tama adalah Kartu emasnya.
Begitu ia teringat akan kartu emas itu, ia pun segera melonjak bangkit berdiri. Bersamaan dengan itu sebuah benda jatuh ke jalan tempat di mana ia pingsan selama itu.
Mendengar ada benda yang terjatuh, ia pun memperhatikan ke bawah ke arah jalan.
Pada saat itu ia melihat kartu emasnya tergeletak di jalan. Buru-buru ia mengambil kartu tersebut sambil berkata, "Syukurlah, tidak di curi orang."
Udin pun segera berlari pulang kembali ke rumahnya dengan pikiran ia harus segera mandi dan tidur sebentar di tempat tidurnya. Baru setelah itu ia ke rumah Babah Liong lagi untuk menjual kartu emas tersebut kepadanya.
Sedangkan Ari seperti biasa membasuh wajahnya yang ia ambil dari kamar mandi rumah kosong tempat ia berteduh tersebut.
Sesudah itu ia bergegas menuju ke agen koran untuk mengambil koran dan majalah dan di jual lagi kepada pelanggan tetapnya. Beruntung Ari memiliki pelanggan tetap yang lumayan banyaknya, jadi setiap harinya dia mampu mendapatkan keuntungan sekitar sepuluh ribu sampai dua puluh lima ribu per hari.
****
Udin pun tanpa pamit dan basa-basi segera masuk ke dalam rumah dan melakukan apa yang ia pikir baik menurut dirinya.
Sesudah membasuh tubuhnya dan berganti pakaian, ia pun segera melempar tubuhnya ke atas tempat tidurnya sambil berkata, "Lelahnya."
Pada saat itu, ia kembali merasa terbawa ke atas awan lagi.
"Apa ini?" gumamnya pelan. Lalu ia menoleh ke bawah dan melihat dirinya sedang tidur di atas tempat tidur.
"Gawat, aku bisa melihat tubuhku sedang tidur di sana, sedangkan aku saat ini terbang melayang. Tidak, aku tidak mau mati." Ucapnya pada diri sendiri.
Ia pun tiba-tiba berteriak dengan sekuat tenaga.
"Tidak. Aku tidak mau mati!"
"Aku tidak mau mati!"
"Aku tidak mau mati!"
Sepertinya suaranya tidak keluar, tertahan di kerongkongan. Seperti orang tercekik.
Tubuhnya terasa semakin lama semakin melayang tinggi. Dan melewati genting rumahnya.
Melihat itu, kembali Udin berteriak lagi dengan sekuat tenaga.
"Kembalikan aku ke bawah!"
"Kembalikan aku ke bawah!"
"Turunkan aku!"
"Turunkan aku!"
Bersamaan dengan itu terdengar suara, "Byur!"
Udin terlihat gelagapan seperti ikan mas koki yang kekurangan air. Begitu ia membuka matanya, "Ibu!" teriak Udin kesal dan merasakan tubuhnya basah kuyup.
Sambil berkacak pinggang, wanita itu berteriak sambil menangis sesegukan.
"Udin, kau kenapa sih seperti ini terus. Coba dong seperti Ari, cari duit dengan berjualan seperti dia. Atau jualan apa begitu!"
Mendengar ocehan dan bentakan ibunya, apa lagi ibunya sambil menangis membuat hati Udin terenyuh.
"Maafkan aku bu, aku tidak bisa seperti Ari. Jika saja bapak tidak meninggal secara mendadak." Kata Udin dalam hatinya.
Ia pun teringat akan janjinya dengan Babah Liong, maka ia pun melesat bangun dan berlari keluar dari kamarnya dan meninggalkan ibunya yang masih terdengar menangis.
Udin pun berteriak, "Maafkan aku ibu!"