Suara dentingan sendok dan garpu memenuhi ruangan itu. Seorang wanita melirik seorang pria yang duduk di sampingnya. Wanita itu menghentikan pergerakan alat makan dalam genggaman. Mata hitamnya menatap lekat pria di dekatnya. Pria itu terlihat menikmati makanannya dalam diam.
"Mas." Suaranya membuat pria itu meliriknya. Sebelah alis pria itu sedikit terangkat.
"Apakah kamu baik – baik saja?" tanya wanita itu.
Erik, pria itu meletakkan sendok dan garpu di sisi piringnya. Tatapannya mengarah pada mata hitam Wina. Dahinya sedikit berkerut. "Maksudmu?" tanyanya tidak paham.
Wina pun menatap ragu Erik. Ia meneguk salivanya dengan sedikit kesusahan. Jari jemarinya saling bertautan untuk mengusir sedikit rasa gugup. "Hari ini kamu terlihat sangat marah pada Alana. Terlebih lagi dengan sikapnya yang begitulah, tanpa aku jelaskan pun kamu telah mengetahuinya sendiri," jelas Wina.
Erik menatap Wina lekat. Hela nafas keluar dari mulutnya. "Apakah Astrid baik–baik saja?" Dirinya sengaja tidak langsung menjawab. Hatinya begitu gelisah dengan keadaan anak keduanya itu.
Wina mengangguk pelan. "Astrid baik–baik saja, Mas. Saat ini dia sudah tertidur, lukanya pun telah aku obati," tuturnya.
Erik mengangguk paham. Seulas senyum pun terukir di wajahnya. "Syukurlah kalau begitu. Aku sangat mengkhawatirkan kondisinya," ujarnya. Ia pun kembali melanjutkan makannya yang sempat tertunda.
Sementara Wina, wanita itu menghela nafas secara perlahan. Ia paham bahwa suaminya itu sedang tidak ingin membahas anak sulungnya. Namun biar bagaimanapun pula dirinya sangat penasaran akan kondisi gadis itu. Dirinya harus memastikan perlakuan apa yang diberikan oleh Erik pada gadis itu.
"Jadi Mas, bagaimana kondisi Alana saat ini?" Wanita itu sengaja mengubah pertanyaannya. Ia harus dapat memposisikan diri sebagai seorang ibu sambung yang baik hati saat ini.
Mata cokelat kehitaman Erik seketika menatap tajam Wina. Tatapan itu lantas membuat jantung Wina berdegup cepat. Aura dingin pria itu mulai terasa. Mata hitam wanita itu pun menatap pria di dekatnya dengan sedikit takut.
"Mengapa kamu menanyakan hal itu?" Suara Erik berubah dingin. Tangan Wina pun sedikit gemetar. Wanita itu pun melepaskan tautan jari jemarinya, kemudian menggenggam sebelah tangannya sendiri dengan erat. Rasa dingin pada telapak tangannya mulai terasa.
"Aku hanya mencemaskan Alana, Mas. Biar bagaimanapun juga, Alana adalah anak kandungmu." Wina mengatakannya dengan suara yang sedikit bergetar. Jujur saja tatapan tajam Erik membuat jantungnya terus berdegup cepat.
"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan anak itu, aku sudah memberinya sebuah hukuman." Erik mengucapkannya dengan dingin sembari mengalihkan tatapannya pada makanannya.
"Tapi, Mas—"
"Aku lelah, Win. Aku akan menunggumu di kamar." Erik memotong ucapan Wina. Pria itu lantas beranjak dari kursinya. Ia meninggalkan ruang makan begitu saja. Sementara Wina, dirinya hanya menatap punggung Erik yang semakin menjauh.
Hela nafas lolos dari mulutnya, ia pun dapat bernafas lega. Erik tidak memberikan jawaban pasti, tetapi penuturannya itu membuat dirinya yakin bahwa gadis gila itu telah mendapatkan hukuman yang sangat berat.
Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah seringaian. Sebuah ide pun terlintas dalam benaknya. "Sepertinya ini akan menjadi kemenanganku," gumamnya seorang diri.
Wina mengalihkan pandangannya pada beberapa piring di atas meja makan. Tangannya pun dengan cepat mengangkat beberapa piring itu untuk dibawa ke dapur. Setidaknya ia harus bersikap seperti seorang istri yang rajin, walau piring – piring itu akan dibiarkannya begitu saja. Ia hanya melakukan sedikit hal, sisanya biar seorang Asisten Rumah Tangga yang melakukannya.
Setelah selesai dengan kegiatannya, kaki wanita itu berjalan menuju tangga rumahnya. Ia tidak boleh membuat pria itu menunggu lama.
***
Pintu terbuka, sontak Erik menurunkan buku dalam genggamannya. Terlihat Wina dengan balutan lingerie berwarna merah berdiri di ambang pintu. Entah saat kapan wanita itu mengganti pakaian tidurnya dengan pakaian dalam itu. Mata cokelat kehitamannya hanya melihat datar, sementara sang wanita tengah berpose untuk menarik gairahnya.
"Aku sedang lelah, Win." Erik kembali memfokuskan pandangan pada bait tulisan dalam bukunya. Ia sempat meneguk saliva. Namun isi kepalanya begitu runyam.
Wina yang mendengar penuturan itu, terlebih melihat sikap tak acuh Erik membuatnya mencebikkan bibir. Sebelah kakinya sengaja dihentakkan dengan keras, tetapi usahanya itu sia–sia. Erik telah tenggelam dalam bacaannya.
"Aish!" Wina menggerutu seraya berjalan. Kakinya melangkah pada sebuah lemari yang berada di sudut kamarnya. Sebelah tangannya menggeser pintu lemari itu dengan kasar sehingga menimbulkan suara. Namun lagi–lagi Erik tak mengindahkannya. Ekor mata Wina melirik sekilas ke arah ranjang, dan pria itu bergeming dalam posisinya. Wanita bermata hitam itu pun mendengus. Pandangannya kembali dialihkan pada tumpukan pakaian. Tangannya memilah dengan kasar pakaian tidur apa yang akan dikenakan.
Setelah membuat tumpukan itu berantakan, ia akhirnya memilih sebuah pakaian tidur berwarna hitam. Wina kembali mengeluarkan pakaian itu dengan kasar. Tanpa meminta izin, wanita itu langsung melepaskan lingerie yang dipakainya begitu saja di dalam kamar. Tentu saja hal itu sempat dinikmati oleh Erik. Pria itu beberapa kali melirik Wina yang tengah membuka lemari. Bahkan ketika istrinya itu membiarkan tubuh putihnya tanpa benang sehelai pun, matanya sempat menikmati pemandangan itu.
Erik merasa bagian bawahnya sedikit menegang, tetapi ia kembali menepis hasrat itu. Pikirannya terlalu kacau. Ia tidak ingin melakukan disaat pikiran tengah berkecamuk seperti ini.
Ketika Wina telah menaiki ranjang, Erik menutup buku dalam genggamannya. Ia langsung merebahkan tubuh dengan posisi menghadap kiri. "Tolong matikan lampunya jika kamu tidak ada kegiatan apapun," ujar Erik. Penuturannya tentu saja dibalas dengan tatapan kesal dari Wina. Lagi–lagi wanita itu mendengus seraya menatap tidak percaya pada Erik. Pria itu bahkan tidur dengan membelakanginya.
Merasa sangat kesal, Wina pun memilih untuk tidur. Tak lupa ia mematikan lampu tidur kamarnya dengan kasar, kemudian membaringkan tubuh menghadap kanan. Ia membalas untuk membelakangi Erik.
Sementara Erik, pria itu tentu saja mendengar suara kasar tadi. Dirinya menyadari bahwa sang istri tengah kesal. Namun untuk kali ini saja, ia sedang tidak ingin diganggu. Merasa pusing dengan semua kejadian hari ini, pria itu pun menutup kedua matanya. Ia ingin segera terlelap dan melupakan sejenak akan kejadian melelahkan beberapa jam lalu.
***
"Mas Erik."
Suara lembut itu membuat tubuhnya menegang. Pria bertubuh jangkung itu sontak menoleh ke belakang. Nihil, tidak ada siapapun. Rasa merinding mulai menyapa tubuhnya.
"Mas Erik..." Suara itu kembali terdengar, hanya saja kali ini panggilan itu terdengar seperti rintihan. Sontak Erik mengedarkan pandangan. Kepalanya menoleh ke setiap sudut ruangan itu, tetapi nihil.
"Mareta, jika memang itu kamu maka keluarlah!" Erik sedikit berseru sembari menatap sekelilingnya. Suaranya sedikit bergetar, kakinya pun terasa lemas. Namun ia berusaha memberanikan diri.
"Aku berada di hadapanmu, Mas." Suara lembut itu terdengar jelas. Erik pun lantas membalikkan badannya dan benar saja seorang wanita dengan pakaian putih tengah berdiri tepat di hadapannya. Wajah cantik Mareta terlihat sangat pucat. Bahkan bibir merahnya pun kini berwarna pucat.
"Ma-Mareta?" Erik tampak gugup. Mata cokelat kehitamannya terbelalak.
"Iya aku Mareta, wanita yang telah kamu bunuh, Mas." Suara Mareta kembali terdengar lirih. Erik lantas menggelengkan kepala. Ia tidak dapat menerima hal itu. Mareta telah meninggal, jadi untuk apa wanita itu muncul di hadapannya?
"Kamu telah tiada, lantas untuk apa kamu berada di sini?" Erik memekik keras dengan suara yang bergetar.
Wanita di hadapannya itu menatap lekat mata cokelat kehitamannya. Tentu saja itu membuat kaki Erik semakin lemas. Ia bahkan tidak dapat melangkahkan kakinya untuk pergi.
"Apakah membunuhku saja tidak cukup untukmu, Mas?" tanya Mareta dengan suara lirihnya.
Erik mengerutkan keningnya. "A-apa maksudmu itu?" tanyanya gugup.
"Apakah kamu lupa akan kejadian saat itu, Mas?" Mareta kembali melontarkan pertanyaan. Erik pun berhasil dibuat bingung.
"Kejadian apa yang kamu maksud itu, hah?" Suaranya sedikit meninggi. Dirinya benar–benar takut, tidak bisakah wanita di hadapannya ini tidak menambah rasa takutnya?
"Kamu telah mengurung anak kita di gudang yang gelap. Tidakkah kamu ingat akan kejadian beberapa tahun lalu?" Suara lirih Mareta lantas membuat Erik tersentak. Tubuhnya seketika menegang. Manik cokelat kehitamannya menatap lurus pada lantai ruangan yang dipijaki.
"Apakah kamu lupa akan kejadian itu, Erik?"
"ALANA!" Teriakannya itu tentu saja membuat Wina yang berada di sampingnya langsung terbangun. Wina dengan cepat menyalakan lampu tidur yang berada di dekatnya.
"Ada apa, Mas?" tanyanya dengan panik.
Sementara Erik, pria itu telah terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu. Matanya terbelalak, keringat dingin pun bercucuran dari dahi.
"Mas, ada apa sebenarnya?" Wina bertanya dengan rasa khawatir.
Erik menoleh menatap Wina. Wanita itu menangkap sorot ketakutan dan khawatir pada manik cokelat kehitaman milik Erik. "Jam berapa sekarang?" tanya Erik dengan lirih.
Wina menolehkan kepala ke samping nakas. Matanya sedikit menyipit untuk melihat jarum jam pada sebuah weker yang berada di atas nakas. "Jam dua dini hari, ada apa sebenarnya, Mas?" Wina kembali menatap Erik dengan heran. Namun pria itu tidak mengindahkan pertanyannya.
Erik langsung menyingkap selimut. Pria itu segera beranjak dari ranjangnya.
"Mas, kamu mau ke mana?" Wina kembali bertanya dengan sedikit berseru. Namun Erik seolah menulikan pendengaran. Pria itu berjalan cepat ke arah pintu kamarnya. Dibuka pintu itu dengan kasar, kemudian kakinya melangkah cepat menuju anak tangga.
"MAS ERIK!" Seruan Wina terdengar keras, namun Erik telah pergi meninggalkannya begitu saja. Wanita itu pun kembali berdecak. Sebenarnya apa yang terjadi?
***