Erik melangkah mendekat pada ranjang Alana. Hela nafas yang terdengar berat lolos dari mulutnya. Mata cokelat kehitamannya menatap lekat sepasang mata di hadapannya. Gadis itu tengah menyandarkan tubuh pada bantal yang sengaja diletakkan di belakang punggungnya.
Erik berdiri di sisi ranjang Alana. "Tadi Ayah bertemu dengan Astrid di taman rumah sakit. Astrid bilang, dia telah menjengukmu," ujar Erik dengan suara datarnya.
Alana pun tidak menjawab. Gadis itu hanya menatap sang ayah dengan mulut terkunci. Sikap diamnya itu membuat Erik memijat pelan pangkal hidungnya. Hela nafas kembali terdengar di telinga Alana.
"Tidak bisakah kamu menerima Astrid dan Ibunya, Alana?" tanya Erik sembari menatap prustasi anak gadisnya.
Mata cokelat kehitaman itu menatap nyalang. "Jika Ayah menjadi aku, apakah Ayah akan dapat menerimanya?" tanya Alana.
Suaranya yang dingin menusuk relung hati. Seketika tubuh Erik menegang. Sedikit rasa nyeri menyapa batinnya. Erik memejamkan kedua matanya untuk sejenak, kemudian membukanya secara perlahan. Ditatapnya sang anak dengan lekat.
Alana mendapati sorot tajam Erik telah berganti. Sorot netra cokelat kehitaman itu sedikit melembut, tetapi dapat dikatakan tatapan itu seperti tatapan memohon.
"Ayah tahu bagaimana rasa sakitmu itu sayang, tapi apakah kamu harus melampiaskan rasa kecewa dan marahmu itu pada Astrid? Dia hanya ingin memiliki seorang kakak," lirih Erik.
"Lalu bagaimana denganku?" Mata cokelat kehitamannya memancarkan sorot kesedihan. "Jika Ayah tahu bagaimana rasanya menjadi aku, bukankah Ayah juga harusnya paham mengapa aku seperti itu?" tanyanya dengan suara lemah.
Erik terdiam.
Alana mengepalkan kedua tangannya. "Ayah yang tiba-tiba membawa istri kedua dan anaknya ke rumah. Bahkan tanpa bertanya terlebih dahulu padaku dan juga Bunda, Ayah langsung membawa dua orang asing itu ke rumah," gumam Alana sembari memalingkan wajah ke arah lain. Ia tidak ingin menatap ayahnya. Kedua matanya terasa panas. Ia tidak ingin Erik melihat pertahanan dirinya yang runtuh.
"Mereka bukan orang asing, Alana," tukas Erik.
"Ya, mereka bukan orang asing untuk Ayah. Namun, bagiku dan Bunda? Mereka hanyalah orang asing yang tiba-tiba datang dan menghancurkan segalanya," cibir Alana sembari menatap dinding kamarnya.
Erik pun memijat kepalanya yang pusing. Pikirannya berkecamuk. Emosinya bahkan telah berada di puncak kepala, tetapi ia menahannya. Ia sadar bahwa kondisi anak sulungnya itu sedang dalam keadaan tidak sehat.
"Lantas sampai kapan kamu akan bersikap seperti itu, hah?" tanya Erik dengan intonasi suara yang sedikit tinggi.
Alana menoleh menatap sang ayah. Terlihat Erik tengah memejamkan mata sembari memijat pelan pelipisnya.
"Jika Ayah menjadi diriku, sampai kapan Ayah akan bersikap seperti itu?" Gadis itu membalasnya dengan sebuah pertanyaan.
Erik pun membuka mata, kemudian menatap Alana tajam. "Bukankah tidak sopan jika orang tua bertanya, tetapi kamu membalasnya dengan pertanyaan pula?" Suara Erik mulai mencekam. Alana pun sempat bergidik ngeri, tetapi ini bukanlah hal baru baginya untuk akhir-akhir ini.
"Lantas apakah sopan bagi seorang ayah dan juga suami ketika membawa istri simpanan dan juga anak dari hasil perselingkuhannya itu ke dalam rumah utama?" tanya Alana sembari menaikkan sebelah alisnya.
Erik menatap nyalang Alana. Kedua tangannya mengepal dengan sangat kuat hingga buku-buku tangannya memutih. "Ayah sedang tidak ingin bertengkar denganmu, Alana," ujar Erik dingin.
Alana pun tertawa pelan. Ia menatap Erik sembari sedikit memiringkan kepalanya. "Bukankah selama ini yang memulai pertengkaran adalah Ayah sendiri?" tanya Alana sembari menunjukkan seringaian. Dirinya harus terlihat kuat di hadapan Erik.
Erik menghela nafas dengan kasar sembari membuang wajahnya ke arah lain. Ia membalikkan tubuh membelakangi Alana. "Ayah tidak ingin memperburuk keadaanmu. Ayah minta, ketika kamu telah kembali ke rumah, kamu harus dapat bersikap baik pada Ibu dan juga Adikmu," tegas Erik sembari melangkah keluar.
Ketika kakinya akan melewati ambang pintu, suara Alana kembali terdengar.
"Apakah Ayah pernah merasa bersalah pada Bunda?" tanya Alana sembari menatap tajam Erik. Pandangannya telah sedikit kabur. Namun, perkataan Erik telah menyulut emosinya. Sebuah pertanyaan pun terlintas dalam benaknya.
Pertanyaan itu membuat degup jantung Erik berpacu dua kali lebih cepat. Dirinya bergeming. Ia ingin sekali membalikkan tubuh atau pun sekadar membuka mulut untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi seluruh anggota tubuhnya terasa kaku. Otaknya seolah beku.
Melihat sikap diam Erik, membuat rasa sesak itu kembali menghimpit dada. Seolah tidak puas dengan sikap pria di hadapannya, ia kembali melontarkan pertanyaan. "Apakah Ayah pernah mencintai Bunda walau hanya sedetik?" tanya Alana dengan suara seraknya.
Erik pun kembali dihantam oleh sebuah batu besar. Dadanya terasa sesak. Merasa euphoria di ruangan itu terlalu sesak untuknya, ia pun menggeret kakinya keluar dengan sedikit kesusahan. Sebelah tangannya yang lemas menyentuh pintu, kemudian ditutupnya kembali pintu penghubung antara dirinya dengan Alana secara perlahan.
Sementara Alana, gadis itu akhirnya meruntuhkan pertahanannya. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Bahunya sedikit bergetar. Bibir bawahnya digigit agar tidak menimbulkan suara. Rasa sakit itu telah menggerogotinya.
***
Erik membuka pintu rumahnya secara perlahan. "Wina, aku pulang!" serunya sembari melepaskan sepatu yang dikenakannya. Namun, tidak ada sahutan dari wanita itu. Ia mendongak dan dahinya pun berkerut ketika melihat rumahnya tampak gelap.
Kakinya melangkah masuk. Dirinya melewati ruang keluarga. Matanya menatap sekeliling dan benar saja semua ruangan di rumahnya tampak gelap. Dahinya semakin berkerut. Langkahnya pun terhenti. Sebelah tangannya merogoh saku belakang celana, dikeluarkan sebuah benda pipih persegi panjang. Benda tersebut diketuk dua kali secara perlahan, tidak ada satu pun pesan dari Wina. Lantas ke mana wanita itu pergi?
"Wina!" serunya sembari berjalan menyusuri setiap ruangan rumahnya. Namun, nihil. Dirinya tidak dapat menemukan wanita itu.
"Aish ke mana wanita itu pergi!" Ia menggerutu sembari berjalan menaiki anak tangga. Tersisa dua ruangan yang belum diperiksanya.
***
"Kerjamu itu bagus sekali! Aku akui bahwa kemampuanmu itu dapat diandalkan." Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah seringaian.
"Tentu saja aku sangat menyukainya. Kamu tahu? Anak itu benar-benar trauma akan kejadian itu," ujarnya sembari mendudukkan diri di sisi ranjangnya.
Tawanya pun tercipta ketika suara dari seberang sana memasuki pendengarannya. "Tidak apa-apa, aku bahkan sangat senang mengetahui bahwa anak itu tidak akan melupakannya," ujarnya sembari menatap kuku-kukunya yang baru saja melakukan perawatan.
"Pria itu? Tenang saja, pria itu sangat bodoh. Tentu saja dia tidak akan tahu bahwa—"
"Wina."
Wanita itu seketika menoleh ke belakang. Matanya terbelalak. Tubuhnya menegang. Jantungnya berdegup sangat cepat. Ponsel dalam genggamannya jatuh begitu saja.
"Kamu sedang berbicara dengan siapa?" tanya Erik dari ambang pintu. Matanya menatap tajam ketika menyadari keterkejutan dari sang istri. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan olehnya?
***