Adrian memalingkan wajah ke arah lain. Hela nafas keluar dari mulutnya sembari sebelah tangannya memijat pangkal hidung. "Erik, apakah kamu sungguh ayahnya?" tanyanya dengan suara lelah.
Erik menangkupkan wajah. "Aku tahu perbuatanku itu sangat kejam," tuturnya dengan prustasi.
"Aku benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa padamu saat ini, sungguh." Adrian kembali menghela nafas. Dirinya beranjak dari tempat.
"Apakah kamu benar-benar menyayangi Alana, hah?" tanya Adrian sembari berkacak pinggang. Mata hitamnya menatap nyalang Erik.
Erik pun mendongak. "Apa maksudmu itu? Tentu saja aku menyayangi Alana, dia adalah anak kandungku," cecarnya sembari menatap kesal Adrian.
Adrian menggeleng. Hal itu tentu saja membuat Erik mengerutkan keningnya.
"Rasa sayangmu itu telah berkurang. Saat ini semua kasih sayangmu telah tercurahkan pada Wina dan juga anaknya."
Penuturan Adrian tentu saja membuat Erik tidak terima. Ia menegakkan tubuh sembari berkata, "Rasa sayangku terhadap Alana tidaklah berubah!" serunya sembari menatap tajam Adrian.
"Jika memang kamu menyayangi Alana. Bukankah kamu juga tidak akan lupa terhadap traumanya?" tanya Adrian sembari menaikkan sebelah alisnya.
Pertanyaan itu menohok Erik. Bibirnya terkatup. Pandangannya teralihkan pada lantai ruangan Adrian. Dirinya seolah tidak sanggup untuk kembali menatap manik hitam milik temannya itu. Batinnya bertanya, apakah benar rasa sayangku pada Alana telah berubah?
Adrian pun melangkah mendekati Erik. Sebelah tangannya menyentuh pundak temannya. Pria itu pun sedikit menoleh. "Aku tahu kamu sangat mencintai Wina. Namun, kamu juga jangan lupa bahwa Alana adalah buah hatimu bersama Mareta, istri pertamamu."
Erik bergeming. Tubuhnya seolah kaku. Penuturan Adrian menampar dirinya.
***
Suara pintu terbuka memasuki pendengarannya. Alana yang masih sibuk dengan novelnya segera berkata, "Sa, tolong ambilkan aku—" raut wajahnya seketika datar ketika novel di hadapannya sedikit diturunkan dari pandangan "ada apa kamu ke mari?" tanyanya dengan dingin.
"Bagaimana keadaanmu, Kak?" tanya Astrid dari ambang pintu. Gadis itu bahkan mengukir senyum untuk Alana.
"Bukankah peringatanku sudah jelas? Aku tidak sudi dipanggil Kakak olehmu," jawab Alana dingin.
Suara dingin Alana membuat Astrid sedikit menunduk. Kedua tangannya mengepal. Alana bahkan menyadarinya, tetapi ia tidak peduli. Akan lebih baik jika gadis di hadapannya menunjukkan amarah. Itu akan memudahkannya untuk menunjukkan pada Erik seperti apa sosok anak kesayangannya selama ini.
"Tapi, bukankah kita ini adalah saudara?" tanya Astrid sembari mengangkat wajah. Manik hitam miliknya menatap lekat manik cokelat kehitaman di hadapannya. Sudut bibir sedikit terangkat membentuk senyuman sendu. Ia sungguh tidak mengerti mengapa Alana sangat membencinya.
Alana mendengus sembari memalingkan wajah ke arah lain. "Saudara katamu?" ejeknya. "Saudara yang bagaimana maksudmu? Apakah saudara itu seseorang yang tega menghancurkan keluarga saudara lainnya, hah?" tanya Alana sembari mendelik sinis.
"Kak, tapi—"
"Sejak kedatanganmu hari itu, kamu telah menghancurkan keluargaku. Sejak saat itu pula, aku tidak akan pernah menyukaimu." Alana langsung memotong ucapan Astrid. Gadis itu bahkan belum menyelesaikan penuturannya.
Astrid menghela nafas. Sesak itu mulai menjalar pada dadanya. "Aku tahu jika kamu tengah berduka atas kepergian Bundamu, tapi apakah tidak bisa kamu memberi kesempatan untukku dan Ibu?" tanya Astrid prustasi.
Alana menatap lekat mata hitam itu. Sorot mata itu terlihat putus asa. Namun, itu tidak mengetuk pintu hatinya. "Apakah kamu ingin kita berempat menjadi sebuah keluarga yang bahagia?" Bukan menjawab, Alana kembali melemparkan sebuah pertanyaan.
"Bukankah itu adalah fungsi dari keluarga? Memberi kebahagiaan dan kehangatan?"
Alana tertawa mengejak. Gadis di hadapannya terlalu naif. "In your dream," tukasnya. Alana kembali menatap tajam Astrid. Bibirnya kembali terbuka. Mulutnya telah siap untuk melontarkan sebuah kalimat yang lebih pedas dari sebelumnya.
"Bagiku, kamu hanyalah anak haram, dan ibumu itu adalah seorang wanita murahan. Tentu saja aku tidak akan sudi untuk berkeluarga dengan kalian."
Penuturan Alana membuat mata hitam Astrid berkaca-kaca. Sebelah tangannya menyentuh pintu. Kakinya terasa lemas, tetapi ia tetap harus berdiri tegak. Netra hitamnya masih menatap gadis dengan pakaian tidurnya itu. Bibirnya terkatup. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sepatah kata.
"Tidak bisakah kamu menyingkir dari hadapanku? Aku sungguh muak melihatmu," gumam Alana sembari memutar bola matanya malas.
Astrid menghela nafas. Kakinya yang terasa lemas dipaksa untuk bergerak. Ia pun memutar tubuhnya. Sebelah tangannya menyentuh pintu, kemudian menutupnya dengan perlahan. Gadis itu melangkah gontai.
Dari arah yang berlawanan, Safiya melihat seorang gadis yang tidak asing untuknya. Ia pun menghentikan langkah. Mata besarnya itu disipitkan untuk menajamkan penglihatan. "Bukankah itu adik tiri Alana?" gumamnya ketika mendapati Astrid tengah berjalan pelan sembari menunduk.
"Apakah ia baru menjenguk Alana?" Lagi-lagi dirinya bertanya seorang diri.
"Hei!" Safiya sontak berlari menghampiri ketika lutut Astrid menyentuh lantai begitu saja. Safiya pun merangkulnya. "Hei, kamu sakit?" tanyanya dengan cemas. Biar bagaimana pun ia masih memiliki nurani untuk sesama makhluk hidup.
Astrid menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja," jawabnya lemah. Kepalanya yang ditundukkan membuat Safiya tidak dapat melihat raut wajahnya.
"Apakah kamu yakin?" Safiya kembali memastikan.
Astrid mengangguk tanpa menjawab.
"Kalau begitu biar aku bantu kamu untuk duduk di kursi sana." Safiya hendak memapah tubuh Astrid. Namun, dengan halus gadis itu menolaknya.
"Terima kasih, tetapi tidak perlu. Aku masih ingin seperti ini," ujar Astrid lirih.
"Namun kakimu bisa keram jika seperti ini terlalu lama," tukas Safiya. Jujur saja, ia pun merasa kasihan dengan gadis di dekatnya ini. Gadis itu hanya ingin diterima oleh Alana, tetapi ia pun dapat memahami bagaimana rasanya menjadi Alana. Hal itu sangatlah sulit.
"Tidak apa-apa, aku masih ingin seperti ini." Astrid tetap bersikukuh seraya menunduk.
"Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu," ujar Safiya sembari berdiri.
"Terima kasih atas bantuannya," ujar Astrid lirih sembari mengangguk pelan.
"Ya sama-sama," jawab Safiya. Dirinya pun melangkah ke arah kamar Alana. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang pada Astrid. Gadis itu masih dengan posisi jongkok dan kepala menunduk. Safiya pun kembali menatap depan sembari menghela nafas.
***
Safiya membuka pintu kamar Alana. "La, apakah kamu tidak keterlaluan—"
"Sa, temani aku untuk keluar dari ruangan ini." Lagi-lagi Alana menyela ucapan seseorang. Gadis itu memang memiliki kebiasaan untuk memotong pembicaraan.
Gadis bermata hitam itu menghela nafas sembari berkacak pinggang di ambang pintu. "Bukankah kamu baru sadar? Tidak bisakah kamu hanya beristirahat saja untuk satu hari ini?" serunya dengan jengkel.
"Tidak bisa. Aku begitu muak dengan ruangan ini, aku butuh udara luar," tukas Alana sembari mengambil impusan yang terletak di penyangganya.
"Tidak bisakah kamu membantuku mengambil ini? Aku sangat kesulitan!" seru Alana sembari menatap kesal Safiya.
Safiya pun menghela nafas dengan kasar. Ia melangkah dengan hentakan yang keras, sengaja agar sahabatnya itu mendengar. Secara perlahan ia membantu mengambil cairan impusan, kemudian menyerahkannya pada Alana. "Apakah kamu juga membutuhkan kursi roda?" tanyanya malas.
"Tentu saja. Aku masih sangat lemas," jawab Alana sedikit ketus.
Hela nafas kembali keluar dari mulut Safiya. Gadis itu berjalan ke arah sudut ruangan sembari menggerutu. "Jika tahu masih sangat lemas, seharusnya tidak keluar dari kamar. Dasar merepotkan."
"Aku dengar gerutuanmu itu," balas Alana.
Safiya berdecak kesal. Ia mendorong kursi roda ke pinggir ranjang Alana. Dirinya membantu Alana untuk bangun dan pindah ke kursi roda secara perlahan.
"Terima kasih," ujar Alana sedikit ketus ketika bokongnya telah mendarat di kursi roda.
"Hmm," Safiya membalasnya dengan sebuah gumaman.
***
"Kamu ingin ke mana?" tanya Safiya sembari mendorong kursi roda itu secara perlahan menelusuri lorong rumah sakit.
"Ke mana saja, keliling rumah sakit pun tak apa," jawab Alana sembari menatap lurus.
"Aish itu sangat melelahkan!" gerutu Safiya.
Alana pun tidak menggubrisnya. Pikirannya terlalu kusut. Ia sedang tidak mood untuk meladeni gerutuan Safiya. Kehadiran adik tirinya beberapa menit lalu berhasil membuatnya kesal, tetapi juga berhasil membuat pikirannya runyam. Ada banyak hal yang berkeliaran dalam benaknya.
"Hei, Alana!" Safiya lantas menghentikan dorongannya. Baik dirinya dan juga Alana, mereka berdua menatap lekat seorang laki-laki bertubuh tinggi yang tengah berdiri tidak jauh dari jaraknya. Laki-laki itu berada di hadapannya dengan sebuah senyuman manis di wajahnya.
"Alana, apakah kamu mengenalinya?" tanya Safiya sembari menundukkan kepalanya agar mendekatkan diri pada wajah Alana.
"Entahlah, tetapi wajah itu terlihat tidak asing bagiku," jawab Alana sembari menatap lekat laki-laki di hadapannya.
Laki-laki itu berlari kecil menghampirinya. Ketika ia telah berdiri tepat di hadapan Alana, mulutnya sedikit terbuka. "Bagaimana kabarmu, Alana?"
***