Chereads / BLACK TEARS / Chapter 15 - Mengetahui Namanya

Chapter 15 - Mengetahui Namanya

Hela nafas itu kembali lolos dari mulutnya, entah telah ke berapa kali. Kakinya diseret malas, tubuhnya sedikit membungkuk. Raut wajahnya pun ditekuk. "Seharusnya aku tidak datang ke mari," gerutunya sembari membawa sebungkus obat dalam genggamannya.

Matanya sesekali melirik ke samping, tetapi pemandangan yang dilihat hanyalah orang-orang berpakaian putih tengah berlalu lalang. Hela nafas pun kembali lolos, kali ini lebih terdengar sehingga seorang perawat yang berjalan di sampingnya menoleh.

"Membosankan," gerutunya sembari memalingkan pandangan ke arah depan. Dahinya sedikit berkerut ketika manik hitamnya menangkap sesosok gadis di kursi roda. Gadis itu tidak sendiri, dia tengah berbincang dengan seorang gadis lainnya yang tengah mendorong kursi roda tersebut.

Langkahnya pun terhenti. Matanya yang kecil semakin disipitkan. Pandangannya mengarah pada gadis itu. Gadis di kursi roda itu tampak tidak asing baginya. Otaknya memutar kembali kejadian lalu. Sialnya, ingatan itu tidak langsung didapatkan. Ia pun memejamkan mata sembari menunduk. Otaknya kembali berpikir keras.

"Gadis di makam!" serunya ketika telah mengingat kembali. Namun, tunggu! Siapakah nama gadis itu? Mendadak otaknya lupa akan nama gadis itu. "Aish!" Ia kembali menggerutu sembari memejamkan mata. Dirinya kembali berpikir.

Benaknya teringat bahwa nama gadis itu diawali oleh huruf A. Namun, A siapa? Nama dengan huruf awal A dalam benaknya cukup banyak. Ia pun semakin memejamkan mata sembari menunduk kembali. Al—aish mengapa ingatannya cukup buruk? Batinnya menggerutu.

"Alana!" Ia kembali berseru sembari membuka lebar mata sipitnya itu. Pandangannya kembali lurus ke depan. Gadis itu masih berada di hadapannya, bahkan tengah mengarah ke arahnya. Sudut bibirnya pun sedikit terangkat.

"Hei, Alana!" seruannya itu sontak membuat gadis yang mendorong kursi roda Alana terhenti. Kedua gadis itu menatapnya dengan tatapan sedikit aneh. Hal itu tentu saja membuatnya sedikit malu. Dirinya mulai bertanya, apakah ia terlihat seperti seorang laki-laki aneh saat ini?

Gadis yang mendorong kursi roda itu terlihat tengah membisikkan sesuatu, tetapi ia tidak dapat mendengarnya.

Ia yang merasa memiliki seorang kenalan di sini, segera berlari kecil menuju gadis itu. Sementara Alana, dirinya masih dengan tatapan anehnya.

Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman. "Bagaimana kabarmu, Alana?" tanya Adyatma sok akrab.

Alana membalas dengan kerutan di dahinya. "Apakah kita saling mengenal?"

'Tuhan, bisakah Kau tenggelamkan saja aku saat ini?' Adyatma merasa ingin hilang begitu saja.

***

"Maaf aku sempat tidak mengenalimu tadi," ujar Alana tanpa menatap seseorang di sampingnya. Ia terlalu malu ketika mulutnya dengan mudah melontarkan pertanyaan itu.

Adyatma mengulas senyum simpul sembari menyandarkan punggungnya pada bangku panjang yang tengah didudukinya. "Tidak apa-apa," sahutnya singkat.

Pembicaraan pun terhenti. Alana hanya terduduk sembari menatap lurus rumput yang dipijakinya. Sementara Adyatma, laki-laki itu hanya menatap orang-orang yang sedari tadi berlalu lalang di lorong rumah sakit.

Adyatma melirik sekilas seorang gadis dengan baju tidur di sampingnya. Sebelah tangan gadis itu tengah memegang sebuah infusan. Apakah dia juga seorang pasien di sini? Namun, mengingat gadis itu terduduk di kursi roda, bukankah itu menggambarkan dengan jelas?

"Butuh bantuan untuk memegangi infusanmu?" Entah apa yang ada dalam benaknya. Namun, pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Adyatma.

Pertanyaan itu sontak membuat Alana menoleh. Manik cokelat kehitamannya menatap bingung. "Hah?" tanyanya.

Laki-laki bermata hitam itu menunjuk pada tangan kanan Alana. Dahi gadis itu sedikit berkerut, tetapi ketika ia mengikuti arah tunjuk dari Adyatma, dirinya baru paham. Tawa kecil pun tercipta.

Hal itu membuat Adyatma menatapnya bingung. Apakah perkataannya barusan ada yang lucu? Mengapa gadis itu tertawa?

"Apakah ada yang lucu?" tanya Adyatma dengan dahinya yang sedikit berkerut.

"Tidak ada," jawab Alana sembari menggeleng pelan.

"Lalu?" Adyatma masih tidak paham.

"Tidak ada yang lucu, aku hanya ingin tertawa saja. Lalu terima kasih atas tawaranmu itu, tetapi aku bisa memeganginya sendiri," ujar Alana sembari menatap laki-laki di sampingnya dengan sebuah senyuman kecil.

Adyatma mengangguk pelan. "Baiklah kalau begitu." Dirinya kembali memalingkan wajah. Pandangannya kini mengarah pada bunga-bunga yang terdapat di hadapannya.

Sementara Alana, dirinya masih menatap lekat wajah laki-laki di sampingnya. Laki-laki itu memiliki hidung mancung. Bahkan dilihat dari samping pun laki-laki itu tetap terlihat tampan. Tak dapat dipungkiri, degup jantungnya sempat berpacu dua kali lebih cepat ketika pandangan mereka bertautan beberapa menit lalu.

Alana langsung memalingkan wajah ketika laki-laki itu menoleh padanya. Jantungnya kembali berdegup cepat. Rasa takut pun mulai datang. Ia takut jika laki-laki di sampingnya ini menyadari tatapannya tadi. Alana sedikit menunduk ketika merasa kedua pipinya memanas.

Adyatma pun menatap Alana. "Apakah kamu tengah sakit?" tanyanya.

"Hah?" Alana seketika menoleh. Dirinya kembali terlihat seperti orang bodoh. Kata itu secara langsung terlontar begitu saja.

"Aku bertanya, apakah kamu tengah sakit?" Adyatma kembali mengulang pertanyaannya.

"Ah, kamu bertanya mengenai hal itu." Alana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari menundukkan sedikit kepalanya. "Ya, aku tengah sakit," gumamnya sembari mengangguk kecil.

"Apakah itu ada kaitannya dengan kematian bundamu?" tanya Adyatma dengan sedikit perlahan. Ia berusaha hati-hati ketika menanyakan perihal itu.

Alana pun termenung. Pertanyaan itu membuat satu kenangan yang tidak ingin diingatnya kembali berputar. Sejenak, hanya diam yang menyahuti pertanyaan Adyatma.

"Maaf jika pertanyaanku menyinggungmu," Adyatma segera berujar kembali ketika melihat sikap diam gadis di sampingnya. Ia merubah posisi tubuhnya menjadi tegap dengan pandangan lurus ke depan. Batinnya menggerutu. Ia mulai menyesali perkataannya barusan.

"Omong-omong, aku belum mengetahui namamu." Alana berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Adyatma sedikit menoleh. Manik hitamnya kini bertautan dengan manik cokelat kehitaman milik gadis di sampingnya. "Namaku Adyatma," ujarnya sembari menarik sudut bibir sehingga membentuk sebuah senyuman.

Senyuman itu rupanya menular bagi Alana. Sudut bibir gadis itu bahkan sedikit terangkat membentuk senyuman tipis. Melihat senyuman Adyatma membuat hati Alana sedikit berdesir. Ia tidak paham apa artinya, tetapi yang pasti ia merasa bahwa laki-laki di sampingnya ialah sosok yang baik.

"Alana, maaf aku agak lama, sebab—" Safiya seketika mengatupkan bibir dan menghentikan langkah ketika dirinya mendapati sang sahabat dengan seorang laki-laki tengah bertatapan.

Sudut bibirnya terangkat ketika manik hitamnya mendapati binar cerah pada mata sahabatnya.

"Oh, Safiya!" Alana berseru ketika pandangannya mengarah lurus ke depan. Adyatma yang berada di sampingnya pun ikut menoleh. Terlihat seorang gadis tengah berjalan menghampirinya sembari tersenyum. Namun, mengapa tatapan gadis itu terlihat seperti tengah menggodanya?

"Mengapa kamu lama sekali?" Alana mengerucutkan bibirnya ketika Safiya telah berdiri tepat di hadapannya.

"Apakah aku selama itu?" Safiya bertanya sembari membelalakkan mata bulatnya.

"Tentu saja, aku telah menunggu selama itu!" sungut Alana sembari memalingkan wajah.

"Tapi, kamu kan tidak sendiri di sini," elak Safiya sembari melirik Adyatma. Laki-laki itu pun seketika menoleh menatapnya. Senyum jail pun tercipta pada wajah Safiya.

"Bahkan aku melihatmu tengah bertatapan, kamu juga tersenyum," goda Safiya.

Alana pun mendelik sinis. "Hentikan pikiran anehmu itu dan cepat bantu aku untuk kembali ke kamar!" serunya.

"Ya, ya, ya." Safiya pun memegang lengan kanan sahabatnya itu. Ketika Alana hendak berdiri dari tempatnya, Adyatma secara langsung memegang lengan kirinya. Hal itu tentu membuat kedua gadis itu terkejut. Safiya bahkan sempat terdiam termangu untuk sejenak. Tanpa bertanya terlebih dahulu, laki-laki itu mengambil alih tubuh Alana.

Alana hanya menatapnya dengan mata terbelalak. Ketika bokongnya telah mendarat di kursi roda pun, gadis itu hanya terdiam dengan tatapan terkejutnya.

"Aku hanya ingin membantu," Adyatma seolah menjawab kebingungan kedua gadis di hadapannya.

"Terima kasih," ujar Alana pelan. Keterkejutan itu masih terasa. Dirinya bahkan tidak dapat memalingkan pandangan dari laki-laki tinggi di hadapannya.

Adyatma membalasnya dengan anggukan. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Semoga lekas sembuh untukmu," ujar Adyatma sembari mengambil bungkusan obat dalam kantong plastik yang tergeletak di bangku.

"Sekali lagi terima kasih." Kali ini suara Safiya yang terdengar. Adyatma pun kembali mengangguk sebagai jawaban. Kakinya melangkah cepat meninggalkan taman rumah sakit. Ketika Adyatma telah pergi, barulah Safiya memegang bagian belakang kursi roda itu.

"Hei Alana, sepertinya laki-laki itu anak baik," celetuk Safiya.

"Tahu dari mana kamu? Kenal saja tidak," jawab Alana tak acuh.

"Terlihat dari wajahnya. Tidakkah kamu menangkap aura baik dari dirinya?" tanya Safiya sembari mendekatkan wajahnya, sehingga Alana dapat melihatnya dengan jelas.

"Aish, kamu ini!" Alana memukul lengan Safiya dengan cukup keras. Tentu saja hal itu membuat Safiya sedikit berteriak sembari meringis kesakitan.

"Tidak bisakah kamu menghilangkan kebiasaanmu itu? Tubuhku ini bukan bantal atau pun boneka yang dapat kamu pukuli!" seru Safiya sembari mengusap beberapa kali lengannya yang sedikit merah.

"Ya maaf," ujar Alana sembari memalingkan wajahnya ke arah lain. Namun, dahinya sedikit berkerut ketika penglihatannya menangkap dua orang yang tidak asing untuknya.

"Cih, jika tidak ikhlas maka tidak usah meminta maaf!" gerutu Safiya sembari mendorong pelan kursi roda milik sahabatnya.

"Sa, tolong berhenti."

"Hah?" Gadis itu menghentikan langkahnya, tetapi dirinya bingung. Mengapa Alana memintanya untuk berhenti? Bukankah beberapa menit lalu Alana meminta untuk segera diantar ke kamar inapnya?

"Mengapa meminta untuk berhenti, La?" tanya Safiya sembari menatap bingung Alana. Namun, gadis yang ditanyainya itu hanya terdiam sembari menatap lekat sesuatu di hadapannya. Safiya pun semakin bingung. Ia mengikuti arah pandang Alana dan...

"La, bukankah itu adalah ayah dan adik tirimu?"

***