Erik dan Astrid tengah berbincang di sebuah bangku panjang yang terletak di taman. Jarak kedua orang itu dengannya tidak begitu jauh, sehingga Alana dapat melihat jelas bagaimana ekspresi dua orang tersebut. Bahkan wajah merah Astrid pun terlihat jelas olehnya.
Sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk seringaian ketika melihat bahu gadis itu bergetar. "Sa, ayo pergi dari sini," ujar Alana dingin.
Safiya pun mengangguk sembari mendorong kembali kursi roda Alana secara perlahan. Pandangannya sesekali mengarah pada Erik. Pria itu tengah memeluk Astrid sembari mengusap punggungnya. Melihat perlakuan itu membuat Safiya menoleh pada sahabatnya. Gadis itu hanya menatap datar hadapannya. Bibirnya ingin sekali melontarkan sebuah pertanyaan, tetapi lidahnya terasa kelu.
***
"Apakah aku salah Yah? Aku hanya ingin menjadi saudara yang baik." Isak tangis itu terdengar memilukan di telinga Erik. Sebelah tangannya pun mengusap pelan punggung anak bungsunya itu.
"Aku hanya ingin memiliki seorang kakak. Apakah itu pun tidak boleh, Yah?" Gadis itu kembali bertanya dengan suara seraknya. Perkataan Alana beberapa jam lalu kembali terngiang dalam telinga. Bulir bening pun semakin berjatuhan mengingat bagaimana tatapan tajam gadis bermata cokelat kehitaman itu.
"Aku... tidak mengerti apa salahku..." Suaranya tercekat ketika rasa sakit itu kembali memenuhi dada.
Setetes air mata pun jatuh dari pelupuk matanya. "Maafkan Ayah, Astrid," lirih Erik. Rasa bersalah itu mulai menyelubungi hatinya. Biar bagaimana pun Astrid dan Alana adalah anaknya. Ia tidak tega melihat salah satu anaknya menangis hanya karena anaknya yang lain.
"Tidak, Ayah tidak bersalah," gumam Astrid sembari menggeleng pelan dalam pelukan Erik.
"Aku... hanya ingin Kak Alana menerimaku dan Ibu, itu saja Yah..."
Erik memejamkan mata sembari mengambil nafas, kemudian dikeluarkan nafas itu secara perlahan. "Iya Ayah paham bagaimana perasaanmu saat ini. Kamu tenang saja ya, Ayah akan membicarakan hal ini dengan Alana," ujar Erik berusaha menenangkan.
Mendengar hal itu sontak membuat Astrid menarik diri dari pelukan sang ayah. Mata merahnya menatap Erik dengan ragu. "Bukankah hal itu akan membuat Kak Alana semakin marah denganku, Yah?" tanyanya dengan suara pelan. Rasa takut itu kembali menyapa. Belum dibicarakan saja, Astrid dapat membayangkan bagaimana reaksi Alana.
Erik mengulurkan tangan pada puncak kepala anak gadisnya itu. Tangannya mengusap pelan rambut hitam itu. "Kamu tidak usah berpikiran yang tidak-tidak. Masalah ini tidak akan melibatkanmu, Astrid," ujar Erik dengan suara lembut.
Astrid menatap ragu Erik. "Tapi, Yah—"
"Sudah ya, percayakan saja semuanya pada Ayah," tukas Erik sembari tersenyum. Astrid yang melihat senyuman itu, akhirnya mengangguk pelan.
"Anak pintar." Erik kembali mengusap pelan kepala Astrid sembari menunjukkan senyum hangatnya. Perlakuan itu pun membuat Astrid tersenyum kecil. Perasaan hangat ini sangat ia rindukan selama beberapa tahun silam.
***
"Kamu ingin makan apa, La?" tanya Safiya sembari meletakkan kembali kursi roda yang telah digunakan di sudut ruangan.
"Aku tidak ingin makan," jawab Alana sembari merebahkan tubuhnya, kemudian ditarik selimut hingga menutupi wajahnya.
Safiya membalikkan badan. Terlihat sahabatnya itu tengah tertidur dengan selimut menutupi dirinya. Hela nafas pun lolos dari mulutnya. Ia melangkah mendekati ranjang Alana. Ditarik sebuah kursi yang berada di dekat ranjang Alana, kemudian didudukinya kursi tersebut.
"Jangan begitu, Alana. Kamu ini baru saja siuman, kamu harus tetap makan walau sedikit," ujar Safiya sembari menyentuh punggung tangan Alana.
"Ada infusan, Sa. Kamu tenang saja," gumam Alana pelan dari balik selimut.
Safiya mengerutkan dahi. Tidak biasanya gadis itu berbicara dengan suara pelan. Ia pun menatap lekat sahabatnya yang tengah ditutupi selimut. Sesuatu terbesit dalam benaknya. Dirinya kembali menatap Alana.
"Alana, apakah kamu iri dengan Astrid?" tanyanya dengan sedikit berhati-hati. Ini adalah pembahasan yang sensitif, oleh sebab itu Safiya tidak selalu berani menanyakannya.
Alana pun sedikit menurunkan selimut yang menutupi wajahnya. Sudut bibirnya sedikit terangkat, walau Safiya tidak dapat melihatnya. "Kamu juga melihatnya?" tanya Alana.
"Iya aku melihatnya," jawab Safiya pelan.
"Bukankah Ayahku terlihat sebagai Ayah yang baik, Sa?" tanya Alana sembari menatap lurus langit-langit kamarnya.
"Iya," jawab Safiya sembari menatap sendu Alana. Sorot sedih dari netra cokelat kehitaman itu dapat tertangkap olehnya.
"Apakah aneh jika aku iri dengannya?" Alana kembali bertanya.
"Tentu saja aneh, bagaimana bisa kamu iri dengan seorang anak haram?" Alana kembali menjawab pertanyaannya. Dirinya seperti tengah bermonolog. Safiya pun hanya diam mendengarkan.
Hela nafas keluar dari mulutnya. Safiya pun dapat mendengarnya dengan jelas. Seperti sedang merasakan lelah yang sangat luar biasa, Alana berharap hela nafas itu dapat sedikit meringankan sesak dalam dadanya.
"Aku tidak tahu apa yang tengah ku rasakan saat ini," gumam Alana. "Apakah aku marah, sedih, kecewa? Aku pun tidak tahu. Aku hanya tahu rasanya sangat sesak." Suaranya mulai lirih.
"Aku ingin sekali menangis, tetapi rasanya sulit. Air mataku ini seolah tidak dapat keluar," gumam Alana. Ia merasa kedua matanya memanas. Pandangannya pun mulai sedikit kabur. Perlakuan Erik pada Astrid membuat dadanya kembali sesak. Pria itu bahkan tidak pernah memperlakukannya seperti itu.
"Apakah kamu tahu Sa apa yang paling membuatku sesak?" tanya Alana tanpa menoleh ke arah Safiya.
"Apa itu, La?" tanya Safiya pelan.
"Ayah tidak pernah memelukku."
Setetes bulir bening membasahi pipi Safiya. Lidahnya kelu untuk mengatakan sepatah kata. Kedua tangannya hanya menggenggam erat sebelah tangan Alana. Matanya yang telah berkaca-kaca menatap lekat Alana. Gadis itu bahkan tidak menangis. Ia hanya memasang wajah datar, tetapi sorot matanya menunjukkan segalanya.
Alana tertawa kecil ketika ingatannya terus memutar kejadian itu. "Aku benar-benar tidak tahu harus apa agar Ayah memelukku juga. Saat ini saja hubunganku dengannya mulai terasa renggang," ejeknya.
Safiya merasa dadanya sedikit sesak. Sungguh, ia merasa seperti seorang sahabat yang buruk. Dirinya bahkan tidak mengetahui akan hal itu. Gadis itu benar-benar pandai menutupi segalanya.
'Andai saja Bunda masih berada di sini,' batin Alana bergumam.
Suara pintu terbuka sontak membuat Alana dan Safiya menoleh secara bersamaan. Alana merasa semakin sesak ketika melihat seseorang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Safiya, bisakah kamu meninggalkan Om dengan Alana berdua saja?" Erik, pria itu langsung menatap lekat mata hitam Safiya. Aura dingin dari dirinya menyeruak. Safiya pun mengangguk pelan dengan sedikit takut. Sebelum beranjak dari tempatnya, ia menoleh sejenak menatap Alana.
"Maaf ya Alana, aku harus keluar dulu sebentar," bisik Safiya.
Alana mengangguk pelan tanpa mengucapkan apa pun. Setelah mendapat jawaban, Safiya pun beranjak dari kursi yang didudukinya. Ia melangkah ke luar. Ketika dirinya akan melewati Erik, tak lupa ia sedikit membungkukkan tubuhnya sembari berkata, "Permisi Om."
"Ya silakan, Safiya," ujar Erik.
Ketika Safiya telah meninggalkan kamar Alana, barulah Erik menutup pintu itu dengan perlahan. Dirinya menoleh menatap seorang gadis yang juga tengah menatapnya.
"Sepertinya kamu tahu apa yang akan Ayah katakan padamu." Suara dingin Erik memenuhi ruang kamarnya.
"Apakah ini tentang anak kesayanganmu itu, Ayah?" tanya Alana sembari menatap tajam sang ayah.
***