Erik baru saja akan membuka pintu, tetapi dirinya sedikit tersentak ketika pintu itu terbuka. Matanya membulat sempurna ketika mendapati dua gadis di hadapannya. Salah satu diantara mereka tengah membawa sebuah tas besar sembari sedikit menunduk, sedangkan gadis berambut cokelat di sampingnya tengah menatap tajam seraya tersenyum kecut.
Mulut gadis berambut cokelat itu sedikit terbuka. "Apakah Ayah baru akan menjemputku?" Suaranya terdengar sinis.
Erik termangu di tempatnya. Matanya masih terbelalak menatap gadis berambut cokelat itu. Apakah ia benar-benar terlambat? Batinnya mulai bertanya.
"Apakah saat ini aku tidak dapat masuk ke rumah, Ayah?" Lagi-lagi suaranya terdengar sinis. Erik menggeleng sembari sedikit menepi dari ambang pintu untuk memberikan jalan pada kedua gadis itu.
Alana dan Safiya pun melangkah masuk. Ketika akan melewati Erik, Safiya sedikit menundukkan kepala sembari berkata, "Punten ya, Om." Gadis berambut hitam itu masih menunjukkan etika pada Erik. Pria itu pun membalasnya dengan anggukan sembari tersenyum simpul. Berbeda dengan Safiya, Alana memasuki rumahnya dengan wajah datar dan tanpa mengatakan apa pun.
"Kamu mau langsung ke kamar atau gimana, La?" tanya Safiya sembari membawa tas milik Alana. Tas tersebut tentu saja berisikan pakaian tidur milik Alana selama dirinya berada di rumah sakit.
"Langsung ke kamar saja Sa. Aku begitu lelah," jawab Alana.
Ketika kedua gadis itu akan menaiki tangga, tiba-tiba saja sebuah suara terdengar di telinga.
"Lho Alana, kamu sudah pulang, Nak?" Wina tampak sedikit terkejut ketika dirinya baru saja keluar dari ruang makan dan matanya tidak sengaja menangkap punggung Alana dan Safiya.
Kedua gadis itu pun sempat menghentikan langkah. Namun, baik Safiya maupun Alana, mereka berdua tidak ada yang menoleh. "La, apakah kita harus menoleh menatapnya?" tanya Safiya dengan raut wajah bingung bercampur takut. Jujur saja, ketika suasana rumah Alana telah berubah, gadis berambut hitam itu merasa bingung harus bersikap seperti apa.
"Tidak usah, kita langsung ke kamar saja." Alana kembali melanjutkan langkahnya. Safiya pun hanya mengikuti. Gadis itu berjalan di belakang Alana.
Wina yang baru saja diabaikan langsung mendengus sembari membuang wajahnya. Ketika ia kembali menatap ke depan, dirinya melihat dua gadis itu tengah menaiki anak tangga. Gadis itu benar-benar menguji kesabarannya.
"Bukankah seharusnya kamu menoleh terlebih dahulu kemudian menjawab pertanyaan dari orang tua, Alana?" Suara Wina kali ini terdengar kesal.
Safiya yang mendengar pun sontak menghentikan langkah, kemudian membalikkan tubuh. Dirinya sedikit menunduk, ia takut untuk menatap ibu tiri sahabatnya itu. Sementara Alana, gadis itu pun menghentikan langkah. Hela nafas keluar dari mulutnya dengan keras.
"Siapa yang Anda maksud dengan orang tua?" Alana membalikkan tubuh. Matanya menatap lurus ke arah Wina. Wanita itu tengah berkacak pinggang sembari menatapnya kesal.
"Apakah yang Anda maksud adalah diri Anda sendiri?" tanya Alana sembari menaikkan sebelah alisnya.
Penuturan Alana berhasil memantik emosi Wina. Matanya yang besar menatap tajam Alana. Tangannya bahkan telah mengepal dengan sangat erat.
Alana pun menatap Wina dari atas sampai bawah. Matanya mengamati lekuk tubuh wanita itu. Tubuh wanita itu sangat kurus, bahkan tulang-tulang di pundaknya saja terlihat. Pandangannya kemudian teralihkan pada wajah Wina. Sudut bibirnya membentuk senyuman sinis ketika menyadari bahwa wajah itu sangat tirus.
"Aku heran mengapa Ayah dapat tertarik dengan Anda. Anda bahkan seperti seseorang yang kekurangan gizi," cibir Alana dengan tatapan mengejeknya.
"Alana, kamu..." Mata hitam Wina membesar. Kepalan tangannya pun semakin erat. Gadis itu benar-benar menyebalkan.
"Apa? Apakah Anda ingin menampar saya? Silakan pipi saya siap untuk menerima tamparan Anda." Alana menunjukkan pipinya pada Wina sembari menepuknya pelan. Ia seolah menantang ibu tirinya itu.
"Alana, hentikanlah." Safiya berbisik padanya dengan raut wajah khawatir. Biar bagaimana pun sahabatnya ini baru saja sembuh, tidak bisakah gadis itu menahan diri untuk sejenak?
"Biar saja Sa, wanita murahan itu sangat menyebalkan," jawab Alana dengan pelan. Matanya masih menatap sinis Wina. Sudut bibirnya pun telah membentuk seringaian. Sementara Wina, wanita itu tengah berusaha menahan diri.
"Sebaiknya mata Anda jangan melotot seperti itu. Saya takut, bola mata Anda akan keluar begitu saja," ejek Alana.
"Alana, sudahlah!" Safiya langsung menegurnya. Mata hitamnya menatap kesal Alana.
Alana menoleh menatap Safiya. "Biarkan saja Sa, wanita murahan itu memang pantas—"
"Apakah kamu lupa Alana mengenai ucapan Ayah beberapa hari lalu?"
Gadis itu menoleh. Tidak jauh dari wanita itu, terdapat seorang pria tinggi bertubuh tegap dengan rambut cokelatnya. Pria itu berjalan menghampiri Wina yang tengah menundukkan kepala.
"Kamu tidak apa-apa, Win?" tanya Erik dengan suara lembutnya.
"Aku sedikit baik, Mas. Namun, perkataan Alana tentu saja menyakiti hatiku. Dia telah menghina fisikku, padahal aku hanya bertanya mengapa dia sudah pulang," jawab Wina dengan suara lirihnya.
Sorot sedih terlihat pada netra Erik. Sebelah tangannya merangkul tubuh Wina, membuat kepala wanita itu bersandar pada dadanya.
"Aku tidak mengerti Mas, mengapa Alana begitu membenciku, padahal aku hanya berusaha menjadi Ibu yang baik untuknya." Suara Wina sedikit begetar. Dirinya pun sengaja mengatakan itu sedikit keras agar gadis menyebalkan itu mendengar. Erik pun mengelus pelan punggung istrinya dengan sebelah tangannya yang bebas.
Alana yang mendengar dan melihatnya kembali mendengus sembari memutar bola matanya malas. Wanita murahan itu pandai berlakon. Merasa muak dengan adegan romantis itu, Alana kembali memutar tubuhnya. Baru saja kakinya menaiki satu anak tangga di atasnya, suara Erik kembali terdengar.
"Cepat minta maaf pada Ibumu!" Suara itu terdengar seperti sebuah perintah.
Alana sedikit menoleh ke belakang. "Ibuku sudah tiada," jawabnya sembari berlalu menaiki anak tangga.
"ALANA!" Teriakan itu kembali terdengar. Suaranya tentu saja membuat ketiga perempuan di sana tersentak. Teriakan Erik berhasil membuat langkah Alana terhenti. Tanpa membalikkan tubuhnya, gadis itu bergeming di tempat. Sebelah tangannya menyentuh dada bagian kiri, ia bahkan dapat merasakan degup jantungnya berpacu sedikit lebih cepat.
"Apakah kamu akan terus bersikap kurang ajar seperti ini, hah?" seru Erik sembari menatap nyalang anaknya. Pria berambut cokelat itu tidak dapat menahan emosi. Ia sudah cukup sabar untuk menghadapi sikap keras kepala anaknya itu.
Gadis itu tetap diam. Mulutnya seolah lelah untuk mengatakan sepatah kata. Sia-sia. Bahkan jika ia berbicara hingga mulutnya berbusa, ayahnya tidak akan mendengar. Alana pun hanya menghela nafas secara perlahan. Matanya terasa sedikit memanas. Ia menggenggam kedua tangannya dengan erat, dirinya tidak ingin bulir bening itu jatuh saat ini.
Sudah lelah secara fisik dan batin, Alana memutuskan kembali menaiki anak tangga dengan langkah pelan. Kakinya bahkan terasa lemas untuk digerakkan, butuh tenaga lebih untuk menggeret kakinya itu.
"Alana!" Erik kembali berteriak. Urat-urat itu terlihat jelas di leher putihnya. Wajahnya merah padam. Alana benar-benar membuatnya marah.
Erik pun hendak melangkahkan kaki untuk menaiki tangga, tetapi belum sempat kakinya ini bergerak, sebuah tangan menyentuh pergelangan tangannya. Ia pun sedikit menoleh, terlihat Wina tengah menatapnya sembari menggeleng pelan.
"Jangan kamu marahi dia, Mas. Biar bagaimana pun dia baru pulang dari rumah sakit," ujar Wina lirih.
"Tapi Win—"
Wina menggeleng sembari tersenyum simpul. "Tolong dengarkan aku, Mas."
Pria itu menghela nafas. "Bagaimana bisa kamu memiliki hati sebaik dan sesabar ini, Wina?" Erik menatap Wina dengan lekat. Sementara Wina, wanita itu hanya tersenyum mendengarnya.
'Kamu hanya tidak tahu saja sifat asliku, Erik.'
***