Gadis berambut cokelat terang itu tengah melipat beberapa pakaian kemudian memasukannya ke dalam sebuah tas. Sementara gadis lain yang tengah bersandar pada bantal di belakang punggungnya hanya menatap lekat seseorang di hadapannya. Senandung yang terdengar di telinga membuatnya tersenyum tipis.
"Apakah aku tidak dapat tinggal denganmu saja, Safiya?" Suara itu menghentikan pergerakan gadis berambut cokelat terang. Ia sedikit menoleh dan menatap sahabatnya. Mata cokelat kehitaman itu menatapnya dengan sendu.
"Apakah Ayahmu akan mengizinkannya?" Safiya balas bertanya.
Hela nafas terdengar di telinga Safiya. Raut wajah gadis itu semakin murung. "Tapi, aku sungguh tidak ingin kembali ke rumah itu," bisiknya sembari menunduk.
Safiya yang melihatnya lantas meletakkan kembali pakaian gadis itu di atas sofa yang terletak di sisi ruangan. Kakinya melangkah ke arah ranjang.
"Alana."
Suara lembut Safiya membuat kepala Alana sedikit terangkat. Ia menatap Safiya dengan sedih. Sementara Safiya, mata hitamnya menatap Alana dengan teduh. "Aku tahu jika kamu tidak ingin kembali ke rumah," tuturnya dengan penuh pengertian.
"Tapi—"
"Jika kamu mengetahuinya, mengapa kamu tidak membiarkanku tinggal di rumahmu?" Alana memotong ucapan Safiya dengan sedikit berseru. Matanya telah berkaca-kaca. Ia menatap Safiya dengan mata merahnya.
Safiya menghela nafas secara perlahan. Ia dapat mengerti mengapa gadis di hadapannya tidak ingin kembali. Namun, jika gadis itu pergi begitu saja, bukankah itu akan menimbulkan masalah baru? Orang tuanya memang tidak akan mempermasalahkan Alana untuk tinggal di rumahnya, tetapi Erik? Pria itu sangat tempramental. Ketika ia melihat bagaimana emosi pria itu saja seluruh tubuhnya bergidik ngeri.
Gadis bermata bulat itu menggeleng secara perlahan. Alana pun mendengus sembari menundukkan kembali kepalanya.
"Alana, aku hanya tidak ingin menambah masalah baru," ujar Safiya seraya menyentuh punggung tangan gadis itu. Alana hanya mengangguk pelan. Mungkin ia dapat sedikit paham mengapa sahabatnya itu tidak menyetujui permintaannya.
"Jika suatu saat kamu memiliki masalah besar dan kamu harus pergi dari rumah itu, rumahku siap untuk menerimamu." Penuturan Safiya membuat Alana mendongak kemudian menatap gadis di sampingnya.
"Janji?" tanya Alana dengan suara pelan.
Safiya mengangguk seraya menunjukkan senyumannya. "Aku janji."
Alana tersenyum simpul. "Perkataanmu itu seolah menandakan akan ada hal besar yang menimpa hidupku," tuturnya sembari menatap kosong lantai kamarnya.
Safiya menggeleng. "Aku tetap berharap hidupmu akan kembali bahagia, Alana." Gadis itu mengatakannya dengan tulus.
"Ya, aku pun berharap begitu," gumam Alana sangat pelan.
Mata bulat Safiya terbelalak seraya menepuk tangannya cukup keras. "Ah iya, Alana!" Seruannya itu membuat Alana kembali menoleh menatapnya. Mata cokelat kehitaman Alana menatap bingung sahabatnya. "Kenapa?" Suaranya masih terdengar lemah.
"Apakah kamu telah memberitahu Ayahmu bahwa hari ini kamu akan pulang?" Safiya menatap Alana dengan mata besarnya.
"Aku pikir apa," ejek Alana sembari tersenyum tipis. "Aku telah mengatakannya beberapa hari lalu, jika pagi ini dia tidak datang maka aku akan pulang denganmu saja." Raut wajah Alana berubah menjadi datar. Pandangannya mengarah pada pintu kamarnya.
Safiya sedikit mengerutkan dahi. Sepertinya itu bukan hal yang baik, bukankah Alana tetap harus memberitahukan ayahnya? Ketika mulutnya akan kembali mengatakan sesuatu, mata hitamnya menangkap sorot kesedihan dari mata cokelat kehitaman Alana. Gadis itu hanya menatap lurus pintu kamarnya. Jika dilihat sekilas tatapan itu memang terlihat datar, tetapi jika dilihat lebih dekat, sorot kesedihan itu terpancar dari manik matanya.
Safiya pun kembali mengatupkan bibirnya. Saat ini ia tahu, lubuk hati gadis itu menginginkan kedatangan ayahnya.
***
Wanita berambut gelombang itu terlihat sibuk dengan sebungkus roti dan beberapa kaleng selai. Secara cekatan tangannya mengambil dua lembar roti kemudian diletakkan pada sebuah piring putih. Setelah meletakkan roti, kakinya melangkah ke arah kompor berada. Sebelah tangannya mengangkat sebuah telur dengan menggunakan spatula. Secara perlahan ia melangkah ke arah piringnya berada dengan spatula dalam genggamannya. Ketika berada di hadapan piring itu, tangannya meletakkan telur tersebut secara perlahan di atas selembar roti.
Senyumnya sedikit mengembang ketika melihat telur yang dibuatnya sangat sempurna, kuning telur itu tidak hancur. Hatinya bergumam, 'Dia pasti akan memujiku.' Kepalanya sedikit menoleh, tangannya mengambil sebuah botol saos kemudian membentuk sebuah gambar love di atas telur tersebut. Mata hitamnya sejenak menatap hasil karyanya. Tawa kecil seketika keluar dari mulutnya ketika mengingat masa lalu.
"Aku merasa seperti kembali ke masa muda," gumamnya sembari tersenyum.
Tangannya kembali terulur mengambil sebuah mangkuk yang didalamnya terdapat sayuran segar. Dengan menggunakan penjepit makanan ia mengambil beberapa sayuran itu kemudian meletakkannya diatas telur. Merasa semuanya sudah lengkap, ia menutupnya dengan selembar roti yang lain.
Setelah selesai dengan roti isi, tangannya kembali mengambil dua lembar roti. Kali ini ia hanya mengoleskan mentega pada dua roti tersebut kemudian mengoleskan selai strawberry dan nanas pada masing-masing roti itu. Setelah selesai, ia meletakkan roti selai tersebut di atas sebuah piring lainnya.
"Akhirnya selesai juga." Ia membawa dua buah piring sembari berjalan ke arah meja makan. Ketika dirinya berada di ambang dapur, matanya menangkap seorang pria tinggi tegap dengan dada bidangnya tengah berjalan ke arahnya. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman.
Pria itu mengambil sebuah piring dari tangannya. Tanpa mengatakan apa pun, pria itu berjalan ke arah meja makan sembari meletakkan piring tersebut. Wanita itu pun tidak dapat menyembunyikan raut bahagianya. Ia melangkah dengan cepat untuk menghampiri pria itu.
"Selamat pagi, Mas," sapanya dengan riang. Mata hitamnya menatap pria di sampingnya dengan berbinar-binar.
"Ya selamat pagi juga, Win." Pria itu hanya membalas dengan seadanya. Bahkan wajahnya tidak menoleh ke arah wanita itu.
Wina mengerucutkan bibirnya. Ia memutar bola matanya malas sembari mendengus secara perlahan. Biar bagaimana pun pria di sampingnya tidak boleh menyadari kekesalannya. Ia menatap pria di sampingnya dengan sebal. Bagaimana bisa pria itu menjawabnya dengan datar seperti itu.
Wanita itu menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan. Sudut bibirnya dipaksa terangkat untuk membentuk sebuah senyuman. "Apakah kamu masih kesal denganku, Mas?" Suara Wina sengaja dilembutkan.
"Tidak," jawab Erik datar sembari mengambil roti yang berada di hadapannya.
Wina kembali menghela nafas secara perlahan. Pria itu bahkan tidak menatapnya. "Kalau begitu, bisakah kamu membuka terlebih dahulu roti itu sebelum memakannya?" Wina bertanya dengan mata berbinar-binar.
Erik tidak menggubrisnya. Namun, ia menuruti permintaan istrinya. Ia membuka terlebih dahulu roti tersebut. Dahinya sedikit berkerut ketika melihat sesuatu pada isi roti itu. "Apa maksudnya ini?" tanyanya heran sembari menatap lekat roti isi dalam genggamannya.
"Aku sengaja membentuk sebuah love di atas telurmu, Mas. Apakah kamu menyukainya?" tanya Wina dengan penuh harap.
Erik pun kembali menutup roti tersebut kemudian mengunyahnya. "Ya," jawabnya singkat.
Mata hitam Wina terbelalak ketika melihat reaksi pria itu. Suaminya itu hanya mengatakan "ya" dan tidak menatapnya. Wina pun menoleh ke sampingnya. Amarah sudah berada di puncak kepalanya, tetapi ia menahannya. Kedua tangannya mengepal dengan erat.
"Semalam jam berapa Astrid pulang?" Suara Erik itu membuat Wina sedikit terkejut. Ia langsung menoleh dan menatap suaminya. Pria itu pun mengangkat kepalanya. Manik cokelat kehitaman itu menatapnya lekat. "Apakah gadis itu tidak langsung pulang setelah kamu telfon?" Erik kembali bertanya.
Wina meneguk ludah. Jantungnya mulai berdegup cepat. "Dia langsung pulang ketika aku telfon," jawab Wina pelan. Kepalanya sedikit menunduk.
"Ke mana dia semalam?" Erik mulai mengintrogasinya.
Wina merasa tenggorokannya tercekat. Aura mencekam suaminya menyeruak. Tidak bisakah pria itu tidak kembali membahas hal ini? Sial sekali rasanya.
Wina membuka mulutnya. "Dia pergi ke rumah temannya, Mas." Suaranya terdengar seperti sebuah bisikan.
Erik menyipitkan mata. "Bukankah dia baru beberapa hari di Bandung? Bagaimana bisa dia memiliki teman seakrab itu dalam waktu singkat?" cecar Erik. Pria itu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Wina.
Sial. Bagaimana ini? Pria itu pasti merasa curiga. Wina mulai memutar otaknya. Ia tidak mungkin mengatakan yang sesungguhnya, itu sama saja dengan menggali kuburannya sendiri.
"Katanya ada satu teman sekolahnya di Cirebon tengah berkunjung ke rumah keluarganya yang di sini, oleh sebab itu Astrid berkunjung," jawab Wina bohong.
"Temannya yang mana?" Erik kembali bertanya.
"Teman SMP, Mas," jawab Wina pelan.
"Tapi—"
"Mas." Wina langsung menyela sembari mengangkat kepalanya. Mata hitamnya menatap Erik. Pria itu menatapnya sembari menaikkan sebelah alisnya. Wina pun mulai memberanikan diri. "Kapan Alana akan pulang ke rumah? Ini sudah seminggu lamanya dia di rumah sakit." Wina sengaja mengalihkan pembicaraan. Biar bagaimana pun ia tidak dapat mengelak secara terus-menerus.
"Sekarang hari apa?" tanya Erik.
"Sekarang hari Senin, Mas," jawab Wina.
Erik membelakkan mata. "Astaga, aku lupa!" Ia langsung beranjak dari kursi makannya. Kakinya melangkah cepat ke arah tangga. Wina pun mengerutkan dahinya. Ia mengikuti langkah Erik.
"Mengapa kamu terkejut seperti itu, Mas?" tanya Wina dengan heran. Dirinya bahkan mengikuti langkah cepat Erik ketika menaiki tangga.
"Hari ini Alana pulang," jawab Erik sembari membuka pintu kamarnya dengan sedikit kasar. Tangannya langsung menyambar kunci mobil yang berada di nakas tempat tidurnya. Ketika ia membalikkan tubuh, terlihat Wina tengah menatapnya dengan bingung. "Maafkan aku Wina, tapi aku tengah buru-buru saat ini." Erik menepuk pelan pundak istrinya kemudian melewatinya begitu saja.
Langkahnya sangat cepat ketika menuruni anak tangga. Pikirannya mulai berkecamuk. Bagaimana bisa ia lupa? Erik mulai merutuki dirinya. Ketika ia berada di ambang pintu, tangannya telah siap untuk menyentuh gagang pintu. Namun, pintu itu telah terbuka terlebih dahulu.
Mata cokelat kehitaman Erik terbelalak ketika melihat dua gadis di hadapannya. Salah seorang diantara mereka sedikit menundukkan kepala ketika berpapasan dengannya, tetapi gadis di sampingnya itu telah menatap dirinya tajam.
"Apakah Ayah baru akan menjemputku?" tanya Alana sembari tersenyum kecut.
***