"Sial, mengapa juga Ayah mencariku!" Gadis itu menggerutu sembari memasukkan ponsel dan dompet ke dalam sling bag putihnya. Ketika ia ingin beranjak dari tempatnya, ia menoleh ke belakang sembari berseru memanggil seseorang.
"Hei Manda!"
Gadis berambut cokelat itu seketika menoleh. Kepalanya sedikit mendongak seraya menatap gadis itu sembari menangkat gelas kecil berisikan cairan bening.
"Kemari!" seru gadis itu seraya melambaikan tangan.
"Aish!" Gadis berambut cokelat itu menggerutu. Ia beranjak dari tempatnya. Tubuhnya sedikit sempoyongan ketika berjalan menghampiri gadis itu.
"Ada apa?" serunya sembari berpegangan pada kursi yang diduduki oleh gadis itu.
"Cepatlah cium aku," ujar gadis itu tanpa menatap temannya.
"Hah?" Dahinya sedikit berkerut. Ia menatap aneh gadis di hadapannya."Apakah kamu memiliki kelainan seks, Astrid?" tanya Manda sembari tersenyum sinis.
Astrid berdecak. "Bukan itu maksudku! Cepat kamu dekatkan hidungmu itu pada tubuhku, apakah aku bau alkohol atau tidak," gumam Astrid dengan wajah kesal.
"Ah itu maksudnya," ujar Manda sembari mengangguk. "Memangnya mengapa kamu ingin mencium bau tubuhmu? Apakah kamu ingin pulang?" tanyanya.
"Ya, orang tuaku telah mencariku," jawab Astrid dingin sembari memutar bola matanya malas.
"Kamu tidak ingin minum untuk segelas terlebih dahulu?" Manda menyodorkan gelas berisikan wiski ke hadapan wajah Astrid.
Astrid menggeleng pelan. "Aku tidak ingin menambah masalah. Cepatlah cium pakaianku ini!" seru Astrid sembari menatap kesal temannya itu.
"Baiklah-baiklah." Manda pun mendekatkan wajahnya ke tubuh Astrid. Hidungnya sedikit kembang kempis sembari menjalari beberapa bagian tubuh gadis bermata besar itu. "Pakaianmu tidak bau," ujar Manda sembari menjauhkan wajahnya.
"Apakah kamu yakin?" tanya Astrid sembari menatap Manda lekat. Ia harus benar-benar memastikan bahwa bau alkohol itu tidak menempel pada pakaiannya
Gadis berambut cokelat itu mengangguk sembari memejamkan matanya.
"Baiklah kalau begitu, terima kasih," ujar Astrid sembari beranjak dari tempatnya. Ketika kakinya hendak melangkah, ia sedikit menoleh ke belakang. Terlihat Manda tengah memejamkan mata sembari berpegangan pada kursi yang didudukinya. Melihat hal itu membuat Astrid mendengus seraya melukiskan senyum tipis.
"Berhentilah minum, kamu sudah terlalu mabuk," tegur Astrid.
Manda yang mendengar pun hanya mengangguk sembari tertawa kecil. Astrid yang melihat hanya menggeleng. Kepalanya kembali menoleh ke depan, terlihat beberapa orang tengah menari sembari sesekali tertawa dengan ditemani suara musik yang sangat keras. Hela nafas pun lolos dari mulutnya.
"Sial sekali hari ini!" gerutunya sembari melangkah keluar.
***
Getaran singkat dari ponselnya membuat Astrid merogoh sling bag yang dikenakan. Digenggamnya alat komunikasi itu, terlihat sebuah pesan masuk dari sang ibu.
Ibu : [Jika kamu sudah berada di depan rumah, sms Ibu.]
Astrid menghela nafas sembari menyandarkan kepala pada sandaran kursi taksi yang ditumpanginya. Ibunya pasti akan mencecari dengan beragam pertanyaan. Memikirkan hal itu membuat kepalanya sedikit pening. Ia pun memejamkan mata untuk sejenak.
"Permisi Teh, ini kita sudah sampai di tujuan." Suara lembut dari seorang supir taksi membangunkan Astrid. Gadis itu membuka mata secara perlahan, kemudian menoleh ke samping. Terlihat sebuah rumah yang cukup besar dengan pagar berwarna hitam dan tembok berwarna putih. Benar, dirinya telah sampai di tujuan.
Astrid pun mencodongkan tubuhnya untuk melihat argometer. Setelah melihat harga yang tertera, gadis itu merogoh tas kecilnya, dikeluarkan sebuah dompet kecil berwarna putih dan diambilnya selembar uang berwarna biru.
"Punten ini uangnya, Pak." Astrid mengulurkan tangan ke depan sembari menyerahkan uang tersebut.
Supir taksi sedikit menoleh ke belakang, sebelah tangannya menerima uang tersebut. "Terima kasih, Teh," ujarnya sembari tersenyum.
"Sama-sama, Pak," jawab Astrid sembari mengulas senyum kecil.
Sebelum ia membuka pintu mobil, jari-jarinya sempat mengetik dengan cepat di atas ponsel. Setelah pesan itu terkirim barulah ia membuka pintu mobil. Ketika ia akan menutup kembali pintu tersebut, sebuah suara menginterupsi dirinya.
"Dari mana saja kamu, hah?"
Mendengar suara itu, hela nafas pun kembali lolos dari mulutnya. Ia menutup pintu mobil secara perlahan, kemudian membalikkan tubuhnya. Terlihat seorang wanita dengan pakaian tidur tengah menatapnya tajam.
"Aku habis dari diskotik," gumam Astrid sembari melangkah. Ia hendak masuk ke dalam, tetapi langkahnya terhenti ketika sebuah tangan mencekalnya.
"Coba ulangi perkataanmu barusan," ujar Wina dingin.
Astrid sedikit menoleh. Mata hitamnya menatap datar sepasang mata hitam lain yang tengah menatapnya. "Apakah telinga Ibu sudah tuli saat ini?" tanyanya.
Tamparan pun mendarat di pipinya. Wina menatap nyalang anak gadisnya. "Sepertinya Ibu terlalu lembut padamu akhir-akhir ini," gumam Wina.
Rasa perih dan panas itu sangat terasa oleh Astrid. Ia hanya membiarkan kepalanya menunduk hingga rambut hitamnya menutupi wajah. Ini bukanlah hal baru. Sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyuman tipis. "Lantas apakah Ibu akan memperlakukanku seperti dulu lagi?" tanya Astrid sembari mendongak menatap mata hitam Wina.
Penuturannya itu membuat Wina menatapnya tajam. Wajah wanita itu sedikit merah. Astrid yang mendapati raut wajah ibunya hanya mendengus sembari membuang wajah. "Sepertinya Ibu takut jika Ayah mengetahui sifat Ibu yang sesungguhnya," gumam Astrid sembari menyeringai.
"Jaga bicaramu itu, Astrid," gumam Wina sembari mengepalkan kedua tangannya.
"Mengapa Bu? Apakah perkataanku itu benar?" Astrid menoleh menatap Wina, kepalanya sedikit dimiringkan. Ia menatap sang ibu dengan sebelah alisnya yang terangkat. Dirinya seolah tidak peduli jika tamparan Wina akan kembali mengenai pipinya.
Wina mengepalkan kedua tangannya dengan kuat hingga buku-buku tangannya memutih. Wajahnya telah merah padam, tetapi bibirnya masih terkunci.
"Apa yang akan terjadi jika Ayah mengetahui sifat Ibu yang seperti ini? Bukankah Ayah akan meninggalkan Ibu juga?" tanyanya sembari menyeringai.
"Jika Ayahmu meninggalkan Ibu, maka Ibu juga akan membuatnya untuk meninggalkanmu." Sudut bibir Wina terangkat membentuk seringaian.
Astrid mengerutkan dahi. Sudut bibirnya mengendur. Ia tidak paham dengan maksud perkataan ibunya itu. "Maksud Ibu?" tanyanya bingung.
Wina tertawa pelan sembari memalingkan wajahnya ke arah lain. "Apakah kamu pikir, Ibu melahirkanmu karena Ibu ingin memiliki anak?" Wina kembali menoleh menatap anaknya, gadis itu hanya terdiam.
Wina mendekatkan bibirnya ke telinga Astrid. "Tentu saja tidak. Ibu melahirkanmu hanya karena ingin mendapatkan ayahmu, tidak lebih dari itu," bisik Wina. Wanita itu sedikit memundurkan wajahnya untuk menatap anak gadisnya. Terlihat Astrid tengah menatapnya tajam dengan mata berkaca-kaca.
Wanita itu mengulurkan tangan untuk menyentuh puncak kepala Astrid. Dielus rambut anaknya itu secara perlahan. "Oleh sebab itu, kamu harus menjadi anak yang baik, Astrid. Kamu tidak boleh mengecewakan Ayahmu," tutur Wina dengan suara lembut yang dibuat-buat.
Gadis bermata hitam itu masih menatap tajam Wina sembari menggigit bibir bawahnya.
"Jika kamu memberi tahukan segalanya pada Ayah, maka Ibu juga akan membuatmu pergi dari rumah ini," gumam Wina sembari membelai lembut rambut hitam anaknya. "Apakah kamu mengerti, sayang?" tanyanya sembari menatap Astrid.
Gadis itu hanya terdiam. Mata hitamnya masih menatap lekat sang ibu. Lidahnya kelu untuk mengatakan sepatah kata.
Wina mengulas senyum tipis. "Ibu anggap kamu setuju, sayang." Ia menarik tangannya dari kepala Astrid.
Wanita itu kembali mendekatkan bibirnya pada telinga Astrid. "Jangan lupa, ketika kamu masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan Ayah, maka kamu harus tetap diam seperti ini. Jangan katakan sepatah kata pun dan jangan buka mulutmu itu. Ibu yang akan menjawab segala pertanyaan Ayahmu, apakah kamu mengerti?" tanyanya.
Lagi-lagi Astrid hanya bergeming sembari menatapnya lekat.
"Cepat anggukan kepalamu itu, Astrid Rahdian Amanda." Suara dingin Wina kembali mencekam di telinga Astrid. Gadis itu pun mengangguk secara terpaksa.
"Gadis pintar," puji Wina sembari mengacak-ngacak pelan rambut Astrid. Setelah mendapatkan jawaban dari sang anak, ia membalikkan tubuhnya. Kakinya melangkah masuk ke dalam.
Sementara Astrid, gadis itu tetap bergeming. Dirinya menatap punggung Wina yang semakin menjauh. Pandangannya mulai sedikit kabur. Bulir bening itu keluar dari pelupuk matanya. Pertahanannya runtuh. Rasa sakit itu kembali menyapa. Salah satu tangannya menekan dada dengan kuat. Isak tangis mulai keluar dari bibirnya.
'Tidak ada siapa pun yang dapat memahamiku.'
***