Chereads / Gadis Pendaki / Chapter 6 - Bab 6 Alun-alun Surya Kencana

Chapter 6 - Bab 6 Alun-alun Surya Kencana

Setelah melakukan pendaftaran yang sekarang bisa juga dilakukan secara online, kami pun melanjutkan perjalanan. Kami melewati perkebunan sayuran warga dan mulai memasuki hutan pinus. Selama pendakian sejuknya hutan menjadi kenikmatan tersendiri di sela-sela langkah kaki yang mulai lelah dan nafas yang terengah-engah. Demi summit esok pagi, aku harus semangat dan pasti bisa menaklukkan jalur pendakian kali ini.

Sesekali kami harus melewati jalur yang cukup curam dan terjal yang membuatku sedikit ragu untuk melanjutkan langkah. Namun, betapa beruntungnya aku karena pendakian pertama ini ditemani oleh orang-orang yang memang sudah terbiasa dan mengetahui betul bagaimana jalur pendakian ini. Jadi, aku pun tinggal mengikuti cara mereka melangkah melalui medan yang cukup menantang itu bagiku.

Akhirnya setelah sekitar 6 jam kami mendaki, tibalah kami di Alun-alun Surya Kencana. Hamparan bunga edelweis menyambutku dengan warnanya yang bersih dan murni. Semua rasa lelah selama pendakian yang awalnya kurasakan seakan memudarkan. Kala itu, aku merasa bagaikan di surga. Walaupun aku yakin, keindahan Surya Kencana tak ada secuil pun dari keindahan surge yang sebenarnya. Karena aku tahu bahwa bunga edelweis tak boleh dipetik, aku pun hanya mengambil fotoku bersama bunga-bunga abadi itu untuk kukenang dan memungut beberapa tangkai bunga yang sudah berjatuhan di tanah untuk kusimpan.

Sebelum mendirikan tenda, kami menikmati santapan sarapan di Alun-alun Surya Kencana. Dekat pintu masuk Surya Kencana ada warung abang-abang yang jualan nasi uduk. Aku pun terheran-heran awalnya, kok banyak pendaki yang sarapan di sekitar pintu masuk dengan nasi bungkus. Setelah aku bertanya kepada Indra, ternyata nasi bungkus itu hasil beli dari abang-abang warung yang semula tak terlihat olehku karena saking takjubnya menikmati hamparan bunga edelweis di Alun-alun Surya Kencana.

Kupikir setelah sarapan, kami bisa langsung mendirikan tenda, tapi ternyata aku salah. Kami masih harus berjalan menyusuri Surya Kencana untuk memilih lokasi pendirian tenda yang pas. Kami memilih lokasi yang dekat dengan mata air dan tak jauh dari lokasi summit (puncak). Hari itu adalah hari Sabtu, kami akan melakukan summit di hari Minggu sebelum harus turun dan kembali ke Jakarta untuk bekerja.

Setelah cukup lama kami melangkah, kami pun menemukan lokasi yang tepat untuk mendirikan tenda kami. Di dekat jalur menuju puncak gunung (lokasi summit) ada semak-semak dan pepohonan yang tumbuh. Kami memilihnya sebagai lokasi pendirian tenda. Kupikir kami akan mendirikan tenda di dekat mata air, tapi Indra memiliki pemikiran yang berbeda.

Sebelumnya, saat memaskui area Surya Kencana, kami bisa langsung mendirikan tenda. Namun, ternyata Alun-alun Surya Kencana yang sangat luas dan puncak masih cukup jauh jika kami mendirikan tenda di dekat pintu masuk. Mungkin ini juga alasan kenapa orang yang baru pertama kali naik gunung ketika bertanya kepada orang yang sudah pernah naik gunung tentang apakah puncak sudah dekat, jawabannya selalu sama. "Sebentar lagi sampai. Itu puncaknya di sana." Jawaban itu membuat pemula bisa membangkitkan semangat dan tenaganya yang sebelumnya sudah terasa hampir habis.

Malam minggu kala itu kami habiskan untuk menikmati malam yang dingin dengan berselimutkan cahaya bintang. Betapa indahnya langit malam itu. Aku belum pernah melihat lautan bintang yang seindah itu. Sementara, Andre dan Nindi tengah sibuk berburu Milky Way dan beromantis ria menikmati kebersamaan mereka. Andre dan Nindi adalah sepasang kekasih yang telah terikat dalam ikatan pertunangan.

Kami mendirikan dua tenda. Satu tenda untuk para lelaki dan satu tenda lagi untuk kami para gadis. Aku tak mengira, malam itu akan terasa sangat dingin, jauh dari perkiraan. Angin yang berhembus sangat kencang, hingga aku tak mampu bertahan terlalu lama di luar tenda.

Akhirnya, setelah membuat kopi dari dalam tenda, kami memutuskan untuk bermain kartu untuk melengkapi keseruan malam itu. Siapa yang kalah harus memilih antara truth or dare. Apesnya, saat itu aku kalah. Jadi, aku harus memilih truth yang artinya aku harus berkata jujur atau dare yang artinya aku harus melakukan tantangan yang diminta oleh mereka. Dan aku pun memilih truth.

Setelah memilih truth, Nindi memintaku untuk mengambil air dari mata air di dekat tenda atau mengambil setangkai bunga edelweis yang telah jatuh dari pohonnya. Memang ketika cahaya matahari masih menampakkan sinarnya, itu semua perkara mudah. Namun, aku tak berani pergi sendiri ketika sudah gelap gulita seperti saat ini.

Indra pun menentang permintaan Nindi, karena dinilai berbahaya. Namun, karena gengsi, aku pun menyetujui permintaan Nindi dan meminta Indra untuk menemaniku. Indra bersiap membawa senter, pun denganku. Tanpa kuminta, tiba-tiba Indra memegang tanganku dan menarikku untuk segera keluar dari tenda.

Aku tak merasa canggung dan berpikir macam-macam saat itu. Karena Indra memang sudah biasa menjaga dan selalu menjadi garda terdepan ketika aku mengalami kesulitan selama ini. Setelah agak jauh dari tenda, aku menarik tangan Indra dengan maksud agar dia menghentikan langkahnya.

Aku tak mau melanjutkan langkah lagi karena paham benar akan berbahaya bagi kami, jika tidak segera kembali ke tenda. Risiko hipotermia dan tersesat tak bisa kembali ke tenda adalah hal yang paling kami takutkan. Aku mengeluarkan dompet dan mengambil tangkai bunga edelweis yang siang itu telah kupungut.

Indra pun tersenyum, lalu mengusap kepalaku dan membuat rambutku berantakan, seakan gemas melihat tingkahku. Dan kami pun langsung kembali ke tenda dengan tetap bergandengan tangan. Nindi heran melihat kami kembali dengan bunga edelweis yang ku genggam di tangan. Dia takjub melihat aku seberani itu. Aku dan Indra pun hanya saling memandang dan tersenyum bersama.

Akhirnya, malam itu terlewat dengan penuh canda tawa dan kebahagiaan. Kami tak ingin berlama-lama bercengkrama, mengingat esok hari harus melakukan summit. Kami berharap besok cuaca akan bersahabat, tak berkabut dan cerah. Sebelum aku kembali ke tenda satunya, Indra menarik tanganku dan menggenggamkan secarik kertas yang entah dia dapat dari mana sambil berbisik, "Good Night!"

Melihatnya bersikap manis tak seperti biasanya, membuat jantung sedikit berdebar-debar. Namun, aku masih mencoba mengabaikan perasaanku, takut bahwa aku terlalu percaya diri mengartikan kebaikan dan perhatian darinya. Aku melihat Indra semakin banyak memberiku perhatian, tapi sepertinya karena memang Ayah mempercayakan aku padanya. Sehingga, dia harus bisa melindungiku dengan baik.

Aku sudah menganggapnya sebagai seorang kakak, begitu pun dengan dia yang menganggapku sebagai seorang adik. Sehingga, jangan sampai aku terbawa perasaan da berharap lebih padanya. Aku hanya cukup berpikiran lurus dan logis untuk tetap bersikap seperti biasa.

"Ayo!" ajakan Nindi untuk segera kembali ke tenda kami memecahkan lamunanku. Aku pun kembali dengan secarik kertas dalam genggamanku yang diberikan oleh Indra tersebut. Aku penasaran, sebenarnya apa isi dari kertas yang dia sampaikan tersebut. Sebenarnya aku ingin segera membukanya, tapi aku akan menahan sampai Nindi sudah tertidur duluan.