Lautan awan adalah negeri impian. Sebagai pendaki pemula, dapat menyaksikan keindahan lautan awan secara langsung adalah tujuan utamaku. Pun dengan sabana yang luas nan hijau dan dapat mendamaikan hatiku.
Sudah sejak lama aku punya keinginan untuk dapat mendaki gunung, tepatnya sejak aku melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Mungkin itu juga karena tidak sedikit dari rekan organisasi yang pernah menaklukkan beberapa gunung di Pulau Jawa. Meskipun keinginan itu sudah muncul sejak lama, namun kenyataan bahwa terhalang restu orang tua adalah alasanku untuk mengurungkan niat mendakiku tersebut.
Berbagai cara telah kulakukan dan sudah berbagai alasanku sampaikan kepada kedua orang tuaku tercinta, mulai dari kepenatan yang kurasakan, memastikan bahwa semua akan aman dan baik-baik saja, hingga kusebutkan 1 (satu) nama yang mereka kenal untuk menemaniku mendaki agar mereka merasa tenang. Indra adalah nama orang yang kumaksud.
Indra adalah tetangga, kakak kelas dari zaman sekolah, sekaligus anak dari teman ayahku. Karena sosoknya yang dewasa, ramah, penyayang dan ngemong, membuat orang tuaku yang selama ini sering cemas ketika aku pergi-pergi sendirian, mengizinkanku ke mana saja asalkan bersamanya.
Akhirnya Minggu pagi kala itu, aku memohon kepada Indra untuk memintakan izin kepada kedua orang tuaku untuk mendaki gunung bersama. Sebenarnya, bukan Indra yang mengajakku mendaki, tapi akulah yang merengek memohon padanya untuk diajak. Yah itulah aku, tak pernah menjadi dewasa dan selalu kekanak-kanakan di depan Indra.
Sebagai seorang pecinta alam sejak berada di bangku SMA, mendaki gunung adalah hal yang biasa dia lakukan. Bahkan, dia telah berhasil mendaki 10 (sepuluh) gunung yang ada di Pulau Jawa. Mulai dari Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Merbabu, Gunung Arjuno, Gunung Slamet, Gunung Ciremai, Gunung Gede, Gunung Pangrango, Gunung Guntur dan Gunung Semeru.
Karena kini dia sibuk dengan usaha sewa perlengkapan outdoor-nya yang dia dirikan bersama teman-temannya diluar pekerjaan tetap di perusahaan tempatnya bekerja, Indra sudah jarang melakukan pendakian lagi. Namun, karena permintaanku untuk menemaniku mendaki, dia pun terpaksa menemaniku mendaki.
Gunung pertama yang ingin kudaki sebenarnya Gunung Merbabu, karena dari foto yang selama ku lihat, lautan awan dan sabana di sana sangat indah. Namun Indra berpendapat lain. Terlalu sulit medan yang harus ditempuh untuk pendaki pemula sepertiku, terlebih itu adalah kali pertama.
Akhirnya, Indra merekomendasikan Gunung Gede sebagai gunung pertama yang akan kudaki bersamanya. Selain ada hamparan Surya Kencana yang sangat menawan, lautan awan di Gunung Gede pun tak kalah mempesona. Dan yang paling penting adalah jalur pendakian atau jalan menuju ke Puncak Gunung Gede yang relatif landai dan tidak begitu berat bagi pemula sepertiku.
Aku pun menyetujui pendapatnya. Aku yakin, Indra lebih tahu dan dia pun mengenalku dengan baik. Sehingga, dia paling tahu mana yang paling pas dan cocok untukku. Indra pun setujui untuk mencoba membantu merayu dan meminta restu dari kedua orang tuaku untuk mengajak anak semata wayangnya ini mendaki Gunung Gede berasamanya.
Dan trikku pun berhasil. Ayah dan bunda akhirnya mengizinkanku pergi bersama Indra untuk mendaki Gunung Gede. Yang pasti, kami tidak hanya pergi berdua, ada teman-teman Indra yang ikut bergabung pula sembari temu kangen, karena sudah lama tak bertemu dan mendaki gunung bersama kami.
Indra memang orang yang sangat ramah dan bisa dibilang mudah bergaul. Hampir setiap pergi bersamanya, kami bertemu dengan orang yang mengenal dirinya. Bahkan, tak jarang dia lupa dan tak mengenali orang yang mengenalinya. Begitulah gambaran tentang sosok Indra, idola para gadis di SMA.
Saking banyaknya orang yang naksir Indra, seringkali aku yang sering pulang pergi bersamanya di sekolah menjadi kurir paket hadiah dan bingkisan ataupun sekedar surat untuknya. Awalnya banyak gadis di sekolah yang mengira aku adalah kekasih Indra, sampai-sampai banyak dari mereka yang tiba-tiba memusuhiku, menyudutkan, bahkan cenderung merundungkung. Namun, setelah tahu bahwa aku tidak lebih dari tetangganya dan bukan kekasihnya, mereka berbondong-bondong mencoba mendekatiku dengan harapan bisa dekat pula dengan Indra.
Aku pun tak keberatan akan hal itu, karena kado dan hadiah yang dititipkan kepadaku untuk Indra seringkali diberikan untukku oleh Indra sendiri. Karena sudah menjadi hak milikku, jadi bukan salahku jika kadang aku membaca dulu pesan-pesan yang ada di dalam bingkisan kado itu sebelum kukumpulkan dan kuberikan kepada Indra yang sebenarnya tak menginginkannya.
Indra bahkan tak membuka pesan-pesan itu dan langsung membuangnya, sehingga aku sering menyampaikan isi dari pesan-pesan tersebut kepadanya. Terkadang, aku merasa bahwa dia bosku dan aku adalah sekretaris pribadinya. Aku ikhlas, karna bisa dibilang kami memiliki hubungan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Tapi, sepertinya aku yang lebih banyak diuntung daripada dia.
Setelah mendapatkan restu dari kedua orang tuaku, aku pun meminta Indra untuk menemaniku mencari perlengkapan yang kubutuhkan nanti. Dia memang menyewakan perlengkapan outdoor, tapi untuk tas dan sepatu, sepertinya aku ingin membelinya sendiri. Terlebih memang tidak ada sepatu yang pas untukku yang dia sewakan. Maklum saja, kakiku relatif mungil dan cukup sulit untuk menemukan ukuran sepatu gunung yang pas untukku.
Tanpa restu orang tuaku, keinginanku untuk mendaki gunung tidak akan mungkin terealisasi. Mungkin tak sedikit dari teman-temanku yang tetap melakukan pendakian meskipun orang tua mereka melarang. Selain karena kebanyakan dari mereka yang merantau dan jauh dari keluarga, mereka memang terlalu menyepelekan hal itu. Mereka lebih mengutaman ego dan keinginan mereka untuk menaklukkan sebuah puncak gunung. Kalau aku, mana mungkin bisa. Selain memang aku bukan seorang perantau dan harus selalu pulang ke rumah setiap hari, izin dan restu orang tua sangatlah penting bagiku.
Aku tak ingin membuat mereka merasa cemas dan tak tenang selama aku tak berada di sisi mereka. Selain itu, jika suatu hal yang tak diinginkan terjadi, mereka akan tahu tanpa harus bingung akan mencariku ke mana. Doa mereka pun akan membantuku menjaga keselamatanku selama di perjalanan ataupun di jalan kembali pulang ke pelukan ayah dan bunda.
Sepatu dan tas yang sesuai, nyaman dan pas denganku sudah berhasil kudapatkan. Kini saatnya menentukan hari dan tanggal keberangkatan yang bisa kami semua ikuti. Dan jatuhlah pilihannya pada hari Jumat minggu depan.
Berhubung kami semua bekerja di bidang dan perusahaan berbeda, kami berangkat di hari Jumat sepulang kerja. Sehingga, rencananya maksimal di hari Minggu malam kami sudah tiba kembali di Jakarta dan Senin bisa kembali bekerja.
Saking aku menantikan hari pendakian pertamaku itu tiba, aku sulit tidur akhir-akhir ini. Aku tak begitu khawatir akan fisikku, karena setidaknya hampir setiap akhir pekan aku berolahraga. Namun, aku salah satu orang yang tidak begitu tahan udara dingin jika tubuhku kurang fit. Sehingga, tidak menutup kemungkinan, nanti aku akan mengalami hipotermia selama pendakian. Aku terus berharap, semoga itu hanya kekhawatiranku saja. Indra sudah mengenalku dengan baik. Karenanya, dia memintaku untuk membeli juga penghangat khusus kalau-kalau hal yang tidak diinginkan terjadi. Untuk antisipasi saja, karena menyangkut keselamatan juga. Jadi, aku harus lebih ekstra berusaha dalam pendakian pertama ini, tapi tanpa memaksakan diri sendiri.