Tak selang lama setelah pertemuanku dengan Niko, aku menghubunginya lagi. Menghapus tanda block dari semua sosial media yang kupunya. Tak banyak pesan yang kukirimkan, hanya say hello sewajarnya. Berharap dia akan segera menanggapi dan membalas pesan dariku.
"Hai, ini nomor baruku ya. – Rena," isi pesanku kala itu.
Tak lama setelah itu, Niko mencoba meneleponku. Kami pun bercerita panjang lebar, menanyakan kabar satu sama lain dan dia mengajakku bertemu kembali.
Aku pun menerima ajakannya dan kami mencoba mengatur jadwal pertemuan. Rumah orang tuaku tak begitu jauh dari Monumen Nasional (Monas). Sehingga, tak butuh waktu lama untuk aku berada di Monas. Aku sering berolahraga di kawasan Monas, meskipun hanya sekedar berlari ataupun bersepeda. Setiap hari Sabtu dan Minggu, kantorku libur. Jadi untuk menjaga kesehatanku, aku sering kali meluangkan waktu khir pekanku untuk rajin berolahraga, dan Niko tahu itu. Akhirnya, kami pun berencana untuk berolahraga bersama.
Minggu pagi itu kami bertemu di tempat biasa kami bertemu, ketika masih berpacaran dulu. Kami berolahraga bersama, berlari, bersepeda dan bermain bulu tangkis adalah olahraga yang biasa kami lakukan bersama. Kali ini kami memilih olahraga lari. Kami mengitari Monas sebanyak 1 kali, kemudian beristirahat sejenak menghilangkan dahaga dengan meminum air putih yang telah kami bawa.
Sambil istirahat kami mengobrol dan saling mengutarakan isi hati satu sama lain, setelah sekian lama terpendam dan terkubur dalam-dalam. Niko menjelaskan tentang hubungan dia dengan mantan calon pengantinnya. Aku tak banyak berkata, lebih banyak diam dan mendengarkan dia berbicara. Meskipun aku sudah sedikit banyak mengetahuinya dari Kinan, aku mencoba menyamakan kebenaran cerita Kinan dengan apa yang Niko ceritakan. Dan setelah Niko bercerita panjang lebar, ternyata apa yang telah dikatakan Kinan sesuai dengan apa yang Niko katakan.
Aku sudah tak lagi terkejut dan terkesan, hanya menanggapi biasa saja. Sehingga, Niko pun bertanya-tanya mengapa aku bersikap demikian. Luapan perasaan dariku tidak sama dengan apa yang Niko harapkan. Akhirnya, aku menjelaskan kepada Niko bahwa sebenarnya tak lama sebelum bertemu dengannya, aku telah bertemu Kinan dan mendengarkan semua cerita tentangnya dari Kinan. Namun, yang membuatku kaget, Niko seakan marah kepada Kinan karena selama ini menyembunyikan kenyataan bahwa Kinan telah bertemu denganku, gadis yang selama ini ingin ditemuinya.
"Kapan kamu bertemu dengannya?" tanya Niko penasaran dengan kapan Aku bertemu dengan Kinan.
"Hm … belum lama sih, sekitar 2 bulanan yang lalu. Soalnya kan dia rekan bisnisku" jelasku.
"Ya … seenggaknya dia ngomong ke Aku kan bisa. Dia kan tahu kalo selama ini Aku lagi berusah nyariin Kamu. Ngakunya sahabat tapi kok kayak gitu." Niko tampak tersinggung dengan sikap Kinan.
"Ya … enggak usah marah-marah juga ke Kinan, kan memang Aku yang enggak ingin dia cerita ke Kamu," jelasku.
"Seharusnya enggak gitu dong, udah berapa tahun coba Aku ingin menghubungi Kamu, tapi enggak bisa-bisanya? Jangan-jangan benar kata anak-anak kalau selama ini dia mau menikung Aku." Niko curiga terhadap niat Kinan di balik sikapnya.
"Apa Kamu bilang? Maksudnya apa nih, kok pakai ngomong tikung menikung segala?" tanyaku agak tersinggung.
Jadi, ternyata selama ini Kinan menyimpan perasaan juga untukku. Kalau bukan Niko yang keceplosan, aku pun tidak akan pernah tahu tentang kenyataan itu. Kecuali, Kinan yang mengatakannya sendiri. Tapi, selama ini Kinan tidak pernah berniat untuk menikung atau mendekatiku seperti apa yang dituduhkan Niko kepadanya. Malah sebaliknya, Kinan selalu berusaha untuk membuatku kembali dekat dengan Niko. Jadi, mendengar tuduhan itu dari Niko, entah kenapa aku menjadi sedikit marah kepadanya.
"Ya begitulah … oh iya, Ayah Bunda sehat?" Niko mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Sehat, Alhamdulillah. Gini ya, kita baru saja bertemu lagi setelah sekian lama. Cuma, kenapa malah Kamu marah-marah begini sih? Baiklah, kalaupun Kinan enggak cerita soal dia bertemu denganku, tapi kan dia melakukan itu atas permintaan dariku. Jadi, enggak usah lagi sok nyalah-nyalahin Kinan. Lagian selama ini dia enggak ada tuh mencoba ngedeketin Aku ataupun apa seperti yang tadi Kamu bilang? Menikung? Ah elah … menikung dari mana, coba?
Yang ada … selama ini dia berusaha buat Aku mau memaafkanmu, bahkan berusaha untuk mendekatkan kita lagi. Aku enggak suka ya Kamu jelek-jelekin Kinan kayak gitu. Padahal, dia tulus gitu mau bantuin Kamu. Yang ada Kamu tuh yang harusnya terima kasih ke dia. Secara … berkat dia, Aku tahu kebenaran semua kisahmu dengan mantan calon pengantinmu dulu itu. Bukannya Aku dengar dari mulut Kamu sendiri, tapi malah Aku mendenger semua itu dari Kinan. Mana usaha kamu, hah?" tekanku pada Niko.
"Iya deh … aku minta maaf, karena sudah marah-marah dan berpikir yang enggak-enggak soal Kinan. Aku takut aja kalo sekarang dia malah lebih dekat dengan Kamu daripada Aku. Dan bukannya Aku enggak berusaha, tapi nomor Kamu kan ganti, terus semua sosial media Aku, Kamu block."
"Kamu kan tahu rumahku, kenapa enggak datang aja ke rumah? Kan kita bukan anak kecil lagi yang enggak boleh dekat sama lawan jenis, pacaran dan lain sebagainya. Ayah Bunda juga pasti mengerti kalau ada teman yang datang ke rumah pengin ketemu anaknya. Sekali pun itu anak laki-laki yang datang. Masih enggak punya nyali, ya? Itu yang Kamu bilang berusaha?" tandasku pada Niko.
Aku pun berdiri dan berlari menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI) untuk melanjutkan langkah kakiku yang terasa semakin kuat karena amarahku. Indra pun ikut berlari menyusulku dan mencoba menenangkanku. Entahlah … mungkin karena perasaanku sudah kukubur dalam-dalam, sehingga aku pun bersikap seolah biasa saja kepada Niko. Otakku mulai berpikir rasional, meskipun harapanku bertemu dengan Niko awalnya adalah agar kita bisa dekat kembali. Namun, karena sikap Niko cenderung membuatku kecewa, aku pun mengurungkan niat itu. Bahkan, aku menolak ajakan Niko untuk minggu depan kami bertemu lagi. Walaupun memang minggu depan aku punya agenda dengan Lukas dan Irene untuk hunting lokasi event kantor.
Setelah kami berlari bersama menuju Bundaran HI, kami mencoba mencari jajanan kesukaanku. Susu murni dan sosis bakar adalah jajanan favorit car free day-ku selama ini. Meskipun suasana hati sudah tak berbunga-bunga lagi seperti waktu kami berpacaran dulu, ditambah dengan sedikit cekcok soal Kinan sebelumnya, setidaknya perutku bisa terisi tanpa harus mengeluarkan biaya alias gratisan.
Kalau jaman kuliah dulu, kami biasanya bayar bergantian. Kalau hari ini Niko yang mentraktirku, besoknya aku yang mentraktirnya, begitu seterusnya. Awalnya, Niko ingin dia yang selalu membayarkan, hanya aku yang menolak. Karena, meskipun pada umumnya laki-laki yang seharusnya mentraktir perempuan, namun saat itu kami sama-sama belum bekerja. Jadi, apa yang kami pakai, uang yang kami keluarkan tidak lebih adalah uang dari orang tua kami masing-masing, bukan hasil bekerja sendiri.
Pagi itu berlalu begitu saja, ketika Indra meminta izin untuk mengantarku sampai ke rumah, aku memilih untuk menolaknya. Karena untuk pulang ke rumah, aku cukup berlari saja, tak perlu kendaraan lain. Saking dekatnya rumah dengan Monas. Aku hanya ingin mengetes Indra, apakah dia berani ke rumah dengan tekadnya sendiri. Bukan karena terpaksa agar aku tidak lagi marah kepadanya.
Dan ternyata benar, ketika aku menolak niatnya untuk mengantarku pulang, dia langsung menyetujuinya, kemudian pergi menuju parkiran untuk pulang kembali ke rumahnya.