Kini, ruangan hanya diisi dengan denting sendok yang beradu dengan piring. Bunda Ais sesekali melirik ke arah dua putranya yang masih saja terlihat bersitegang. Meskipun segala cara sudah diperbuat untuk membuat hubungan mereka menjadi lebih mencair, nyatanya kedua pria itu layaknya es beku.
Bunda Ais menatap dua putranya secara bergantian. Max yang paling dewasa sekalipun tetap saja bersikap kekanakan. Apalagi Adrian yang sifatnya seperti gunung es.
"Adrian,"
Pria dingin itu menoleh, "Iya, Bunda?"
"Setelah selesai makan, jangan langsung pergi. Bunda ingin bicara empat mata denganmu,"
Adrian hanya mengangguk perlahan. bahkan sebelum datang ke tempat ini dia sudah mempersiapkan diri dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Lagipula dia juga memiliki banyak pertanyaan.
Tapi di sisi lain, Max melayangkan tatapan tak suka. Dia benci melihat ibu kandungnya sendiri memperlakukan Adrian dengan baik. Tapi menentang keputusan Bunda Ais sama saja melakukan kesalahan besar.
Tak!
Semua orang yang berada di ruang makan sontak melirik ke arah sumber suara yang berhasil menarik perhatian. Max berdiri setelah membersihkan mulutnya.
"Aku sudah kenyang," Tanpa perlu mengucapkan permisi, dia sudah lebih dulu meninggalkan ruang makan yang terasa hampa.
Dua orang tua itu hanya bisa menghela napas berat. Namun tak lama, Bunda Ais kembali mendaratkan tatapan lembut yang senantiasa membuat Adrian luluh.
"Hah, biarkan saja dia." Abraham kini mulai berbicara agar bisa mencairkan suasana yang terasa canggung.
Tapi di sisi lain, Adrian hanya memilih untuk diam karena bagaimanapun juga ia telah terbiasa mendapatkan sikap yang cukup dingin dari kakak tirinya.
"Pa, sebaiknya sekarang kamu bicara dengan Max."
Tanpa menunggu aba-aba lagi dari istrinya, Abraham beranjak dari ruang makan untuk menghampiri putra sulungnya yang kini sedang dilanda dengan amarah dan juga cemburu buta.
Tak lama Bunda Ais melirik ke arah putra bungsunya yang ternyata juga sedang memperhatikannya.
"Apa saja yang selama ini kau lakukan di dalam penjara?"
Andrian memilih untuk diam sebelum menjawab pertanyaan konyol yang baru saja dia dengar. Memangnya apalagi yang bisa dilakukan oleh seorang napi selain merenungi nasib di dalam jeruji besi?
Adrian juga ingin bertanya tentang banyak hal. Tapi sepertinya dia harus lebih dulu menjawab pertanyaan dari wanita baya di hadapannya.
"Bun, apa tidak ada pertanyaan yang lain yang lebih penting?"
Wanita baya itu menghela nafas panjang. Tatapannya yang tadi tampak begitu anggun kini berubah drastis seolah menjadi orang lain.
"Adrian, sejak kapan kau mulai berani untuk menentangku seperti ini?"
Adrian hanya bisa diam membeku seolah kesadarannya lenyap begitu saja. Dia tidak bermaksud untuk menentang siapapun. Tapi pertanyaan konyol itu telah membuatnya merasa jengah dan sedikit dilanda amarah. Ada berbagai pertanyaan yang jauh lebih penting tapi kenapa justru pertanyaan itu yang dipilih?
"Bunda, aku--"
Namun sebelum kalimat Adrian selesai diucapkan, Bunda Ais sudah memotongnya terlebih dahulu. "Apa kau pikir aku membesarkanmu selama ini hanya untuk menjadi pribadi yang berani menentang seperti ini, heh?"
Kini tatapan tajam bak sebuah belati pedang menghunus keberanian Adrian. Salah satu alasan mengapa dia tidak ingin pergi ke tempat ini tentu saja karena Bunda Aisha. Meski wanita itu telah menempati posisi tertinggi di dalam hidupnya setelah mendiang ibunya tiada, namun tetap saja dia benci harus datang ke tempat para manusia munafik berkumpul.
"Maaf, Bunda. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu marah--"
"Ah, tidak! Tidak Adrian." Bunda Ais menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku tidak marah sama sekali kepadamu. Bukankah wajar apabila seseorang binatang peliharaan membuat majikan kecewa?"
DEGH!
Adrian meremas jarinya agar bisa menahan rasa marah dan juga malu akibat dihina. Mungkin selama ini orang-orang selalu merasa iri dengan perlakuan dari ibu tiri yang tampak baik. Tapi apakah mereka tahu bahwa selama ini itu hanyalah kepalsuan?
Bahkan Abraham sendiri mungkin juga tidak tahu tentang tabiat asli dari istrinya.
"Seharusnya kau bersikap patuh, Adrian."
Ya. Adrian juga tahu dengan jelas bahwa dia seharusnya bersikap patuh. Tapi apakah dia akan tetap diam saja saat menerima penghinaan seperti ini?
Mungkin, ibu kandungnya di masa lalu telah membuat kesalahan besar kepada Bunda Aisha. Tapi kenapa dia yang harus menanggung segalanya?
Pikiran aneh itu tak jarang berkelahi di dalam kepala Adrian. Semakin lama dibiarkan maka rasa sakitnya akan semakin tak tertahan.
"Jangan lupa dengan rasa sakit yang telah aku terima," Bunda Ais kembali bersuara. Namun ini nada bicaranya terdengar bergetar seolah sedang menahan rasa amarah yang menggelegar.
Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa Max begitu membenci Adrian. Max pasti juga tahu bahwa kehadiran adik tirinya ini seumpama sebuah benalu.
Adrian tidak ingin menyalahkan siapapun atas ketidakadilan yang diterima di dalam keluarga ini. Meskipun ingin pergi sejauh mungkin, dia tetap tidak bisa menghilangkan tetesan darah kental keluarga Aditama yang mengalir di dalam tubuhnya.
"Hah, sebaiknya mulai sekarang kau harus menjaga sikapmu. Aku tidak ingin mendengar gosip di luar sana bahwa putra dari kediaman Adhitama memiliki tabiat yang buruk." Bunda Ais menjada kalimatnya sesaat sebelum kembali mengucapkan sepatah kata yang menyakitkan. "Ya, meskipun gosip tentang mantan narapidana telah tersiar."
Setelah selesai mengucapkan kalimat yang cukup menyakitkan itu. Bunda Ais berlalu pergi meninggalkan Adrian yang kini hanya bisa termenung.
Selama ini dia selalu bersikap patuh. Bahkan tetap diam saat mendengar hinaan dari orang di luar sana. Tapi saat mendengar kalimat itu keluar langsung dari keluarganya sendiri rasanya jauh lebih menyakitkan berkali-kali lipat.
Disisi lain,
Frans menunggu sang majikan dengan perasaan gusar. Dia sendiri tahu dengan jelas bahwa hubungan Adrian dengan keluarganya tidak harmonis. Dia tak ingin ikut campur lebih jauh tapi entah mengapa membiarkan sahabatnya pergi ke tempat yang mengerikan justru membuatnya merasa ketakutan.
Frans tidak ingin kejadian mengerikan 2 tahun lalu kembali terjadi. Dia tidak ingin melihat kemarahan yang membara di mata Adrian. Bahkan akan jauh lebih baik rasanya jika ia melihat pembantaian.
Namun kegelisahannya tertunda setelah melihat sang majikan tampak keluar dari mansion yang tampak megah dengan raut wajah yang tegang.
"Apa makan malamnya sudah selesai?" tanya Frans basa-basi sambil membuka pintu mobil.
Tapi sepertinya pertanyaan barusan dilayangkan di waktu yang salah. Buktinya, dia tidak mendapatkan jawaban apapun selain sikap dingin yang telah mendarah daging pada Adrian.
"Kita mau kemana?" tanya Frans lagi.
Adrian melirik sekilas, tatapannya yang dingin itu berhasil membuat sahabatnya kesulitan meneguk ludah.
Tanpa perlu bertanya lagi, Frans sudah tahu kalau dia harus pergi secepatnya dari tempat ini. Bertanya lagi hanya akan membuat kepalanya terpisah dari tubuhnya.