Sophia menggigit bibir bawahnya ketika mendapatkan sebuah kiriman paket yang terlihat aneh. Jelas dia tak memesan barang apapun. Namun kurir menyatakan dengan jelas bahwa alamat dan penerima memang atas data dirinya.
Perlahan dia mulai membuka balutan plastik hitam itu. Seketika dahinya mengernyit heran. Sebuah kardus berwarna coklat berhasil menarik perhatiannya.
Degup jantungnya berdetak kencang kala melihat isi dari kardus tersebut. Ada banyak guntingan kertas kecil, namun perhatiannya justru tertuju pada sebuah surat berisi ancaman.
'Wanita murahan! Jangan pernah berpikir bahwa hidupmu kini aman. Aku akan memastikan bahwa suamimu sendiri yang akan datang membawa surat cerai dengan kekecewaan setelah mengetahui istrinya tidur dengan pria lain.'
Tubuh Sophia luruh ke lantai. Bahkan hanya dengan kalimat sederhana itu saja telah berhasil membuat jiwanya terancam.
Siapa orang ini?
Kenapa dia mengirimkan surat yang aneh?
Apa dia mengetahui semuanya?
Rentetan pertanyaan mulai hinggap di kepala Sophia. Bahkan kini terdengar bisikan-bisikan aneh yang membuatnya frustasi. Sophia menjambak rambutnya sendiri. Ini gila!
Sophia pikir semuanya telah usai bersamaan dengan dirinya yang meninggalkan lobi hotel. Tapi ternyata itu semua salah besar. Bahkan mungkin kini pernikahannya berada dalam bahaya.
"Sialan! Bagaimana jika orang gila ini mengirimkan hal aneh lagi?" Sophia menggigit ujung jarinya. "Radit ... bagaimana jika dia tau?"
Entah dimulai dari mana namun kini wajahnya dipenuhi dengan bulir bening yang hangat. Pikirannya kosong kala mengingat kesalahan besar yang sempat dia lakukan dengan seorang pria asing.
Jika Radit tahu akan hal ini, bukan hanya murka yang akan dia terima. Namun sebuah perceraian bisa saja terjadi. Sebab pria yang telah menjadi suaminya itu tak segan untuk memutuskan hubungan.
"Hah," Sophia berdiri dengan tertatih. "Aku tidak akan membiarkan pernikahan ini hancur. Bagaimanapun juga, aku tidak akan membiarkan Radit--"
"Kenapa kamu menyebut namaku?"
Belum juga rasa cemas reda. Radit kini berdiri tepat dihadapannya dengan raut wajah kebingungan. Sophia berdiri mematung beberapa saat.
Sejak kapan suaminya ada di sini?
Apa dia mendengar semuanya?
Bagaimana jika dia curiga?
Radit berjalan mendekat ke arah Sophia yang masih mematung. Radit yakin dia tak salah dengar barusan. Sophia memang menyebut namanya dengan cukup jelas.
"Sayang?"
"Se-sejak kapan kamu di sini?" tanya Sophia dengan nada bicara yang terdengar bergetar.
"Barusan," ujar Radit sambil mengangkat wajahnya.
"Kenapa kamu terkejut seperti itu? Memangnya aku hantu?"
Sophia menggelengkan kepalanya perlahan, dia langsung menundukkan kepala agar bisa menyembunyikan wajahnya yang kini tampak cemas. Dia juga langsung menyembunyikan surat ancaman yang baru saja diterima. Bagaimanapun juga dia tak ingin suaminya merasa curiga.
Radit menghela napas panjang. "Aku lapar, Sayang."
"A-aku akan memasak sekarang," balas Sophia dengan cepat. Dia bergegas menuju ke dapur. Ini salah satu celah agar bisa menghindari Radit.
Namun sebelum langkahnya menjauh. Radit mencengkram erat tangan Sophia hingga membuat tubuh istrinya itu langsung membeku.
'Hah! Apa dia curiga dengan sikapku?!' pikir Sophia dalam hati. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Belum usai rasa terkejutnya. Radit menarik tubuh istrinya itu ke dalam pelukan. Dagu Radit berada tepat di tengkuk Sophia. Pria itu bisa menghirup aroma khas yang menguar dari tubuh istrinya. Seperti biasa, Sophia memang selalu bisa memancing gairahnya.
"Aku lapar tapi ... sepertinya memakanmu akan jauh lebih menyenangkan." Radit berbisik dengan suara yang terdengar menggoda. Sophia bahkan sampai memejamkan matanya. Menikmati tiap kecupan serta sentuhan yang membuatnya terbuai dengan dunia.
DEGH!
Sophia mendorong tubuh Radit dengan kasar. Entah mengapa hatinya terasa tak karuan. Sontak tatapan tajam langsung tertuju pada Sophia. Ini bukan kali pertamanya dia menolak Radit. Dan sepertinya pria itu sekarang telah kehilangan rasa sabarnya.
"Apa ada yang salah?"
Sophia hanya bisa diam sambil meremas ujung jarinya. Tangannya kini diselimuti dengan keringat dingin. Dia tahu betul perbuatannya salah karena telah menolak. Tapi ini juga bukan keinginannya. Sophia juga ingin berbakti, tapi hatinya justru berkata lain.
Sophia bahkan merasa jijik dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia membiarkan pria sebaik Radit menyentuh tubuhnya yang telah kotor?
Radit mengangkat wajah istrinya. Sophia hanya bisa menurut saat bola matanya bertemu. Andai bisa memilih, Sophia pasti akan pergi sejauh mungkin. Dan akan kembali saat siap menghadapi kenyataan ini.
"Aku tidak ingin mengulang pertanyaan yang sama dan kamu juga tau tentang hal itu. Tapi kenapa kamu diam saja?"
Radit seolah berubah menjadi sosok yang berbeda. Tak lagi lembut seperti biasanya.
Sophia mencoba untuk mengalihkan pandangannya. Namun secepat kilat langsung ditahan Radit. Pria itu tak ingin memberikan kesempatan.
"Jawab Sophia Vergara!"
Mendengar suara lantang itu membuat Sophia memejamkan matanya. Dia benar-benar berada di dalam masalah sekarang.
"A-aku hanya lelah," kilah wanita itu secepat mungkin.
Radit memicingkan matanya dan menatap ke arah istrinya dengan tatapan tajam. Lelah?
Pria itu melepaskan cengkraman tangannya di dagu pipi istrinya. Radit mengusap wajahnya dengan cukup kasar. Sesekali terdengar suara helaan napas dari bibirnya.
"Maaf. Apa aku menyakitimu?"
Sophia menggelengkan kepalanya perlahan. Bahkan dalam waktu kurang dari lima menit, Radit kembali berubah. Seolah-olah pria ini memiliki banyak topeng.
"Aku yang salah karena tidak memahami perasaanmu. Maaf, ya?" Radit kembali mengiba dengan mata yang berbinar seolah meminta belas kasihan.
Lagi-lagi dengan bodohnya, Sophia kembali hanyut hanya dengan sebuah permintaan maaf. Wanita ini seolah lupa dengan sikap suaminya kasar.
Disisi lain,
Seorang pria muda yang cukup tampan tengah memikirkan banyak hal. Dia menopang dagunya dengan kedua tangan. Adrian menghela napas panjang. Lalu menoleh ke arah asisten serta sahabatnya dengan tatapan tajam.
"Apa?" tanya Frans dengan raut wajah kebingungan.
"Bagaimana dengan informasi wanita itu?" tanya Adrian tanpa basa-basi sedikitpun. Jujur saja, dia begitu menginginkan informasi secepatnya. Wanita itu ... dia telah berhasil menarik perhatiannya.
Frans memicingkan matanya, "Apakah wanita itu sangat penting bagimu?"
"Tck! Apa aku harus mencarinya sendiri karena memiliki asisten yang tidak berguna?" cibir Adrian. Dia tak suka mendapatkan banyak pertanyaan.
Frans melotot tak percaya. "Hei! Aku juga sudah berusaha untuk mencarinya. Jadi jangan mengancamku terus seperti ini brengsek!"
Kesal. Itulah yang dirasakan Frans. Adrian memang selalu bertindak dengan seenaknya. Dia bersikap dingin pada semua orang tanpa terkecuali.
Frans sangat yakin kalau sosok wanita yang tengah dicari oleh bosnya itu bukanlah wanita sembarangan. Buktinya seorang pria dingin seperti Adrian mau bersusah payah untuk sekedar mencari informasi. Padahal, Frans tahu dengan jelas sifat Adrian yang keras seperti batu.
"Cepat cari informasi tentang wanita itu atau aku akan memotong upahmu."
Frans kalah telak. Sekarang dia harus memutar otak agar bisa segera mendapatkan informasi tentang wanita itu supaya upahnya tetap utuh. Adrian bukanlah tipe orang yang akan menarik kembali ucapannya.