Chereads / Our Mistake / Chapter 4 - Khawatir?

Chapter 4 - Khawatir?

Guyuran air shower menjadi saksi bisu tentang tangisannya yang menyayat hati. Sophia tahu, meskipun merasa menyesal sekalipun tak akan pernah bisa mengembalikan sesuatu yang telah hilang. Meskipun kesalahan yang ia lakukan malam tadi termasuk tidak disengaja namun tak bisa dipungkiri bahwa dia justru malah menikmatinya.

"Ya Tuhan, aku hanya ingin mengubur segala kenangan pahit agar tak ada seorangpun yang bisa mengetahuinya. Mungkin aku tidak pantas untuk meminta karena kini seluruh tubuhku telah berlumur dosa. Tapi … bukankah setiap manusia pernah melakukan kesalahan?"

Bulir bening yang bercampur dengan air dingin terus meluncur dengan mulus dan membasahi seluruh pipinya. Untung saja, suara isak tangisnya yang memilukkan bisa diredam.

"Meskipun tanpa sengaja malah menikmatinya, aku harap tak akan pernah lagi bertemu dengan pria asing yang telah mencicipi tubuhku."

Sophia menggigit bibir bawahnya. Ia jatuh luruh di lantai yang basah. Tak pernah terbersit sekalipun di dalam otaknya untuk berkhianat. Sekalipun merasa jenuh dengan sikap Radit, namun tetap saja memilih untuk setia. Selama lebih dari 1 tahun menikah, kehidupan di atas ranjang memang terasa cukup menyakitkan. Radit seringkali bermain hanya demi mencapai titik kepuasannya sendiri tanpa memperdulikan perasaannya. Pria itu tak pernah bisa menuntaskan hasrat seksual istrinya. Setelah berhasil mencapai puncak kenikmatan, Radit langsung terlelap tanpa peduli dengan hasrat seseorang yang masih tertunda.

Meskipun berusaha untuk menepisnya. Sophia tak bisa memungkiri rasa nikmat yang didapatkan dari sentuhan oleh pria asing. Untuk pertama kalinya dia bisa mengekspresikan diri di atas ranjang tanpa perlu merasa takut ataupun canggung. Dia terus bergerilya dengan manja seolah begitu menikmatinya.

Disisi lain,

Radit duduk di sofa dengan perasaan gelisah. Beberapa kali mengusap layar ponsel sambil menunggu kabar dari seseorang. Raut wajahnya menampakkan kegelisahan yang cukup kentara.

Dia menopang dagu dengan kedua tangan. Lalu tak lama terdengar suara helaan nafasnya yang memburu. "Sialan!"

Radit melempar ponselnya dengan kasar ke atas sofa. Seseorang yang sejak tadi ditunggu kabarnya tak juga menghubungi. Selain memiliki sikap yang cukup temperamen namun dia juga sulit untuk bersabar. Menunggu merupakan sesuatu yang sangat dibencinya.

Dia menempelkan pundak ke sofa lalu merentangkan kedua tangannya. Pandangannya kini justru jatuh pada bola lampu kristal yang tampak berkilauan. Sejak semalam dia tidak bisa merasakan ketenangan. Istri yang tak pulang semalaman membuatnya tak bisa memejamkan mata meskipun kantuk terus menyerang.

Radit mengusap wajahnya dengan cukup kasar. Dia menghela nafas berat. "Aku sangat yakin kalau dia tidak akan membohongiku tapi kenapa justru rasanya sangat janggal?"

Dia memijat kening yang terasa pening. Pikirannya terus berkecamuk seolah insting sedang mengatakan bahwa ada sesuatu yang telah disembunyikan oleh istrinya. Perlahan dia mulai beranjak dari sofa dan beralih naik ke lantai atas menuju ke kamar.

Namun baru saja sampai di anak tangga pertama, ponselnya berbunyi. Matanya menyipit dan menatap layar ponsel yang kini menyala. Akhirnya seseorang yang sejak tadi ditunggu kabarnya muncul. Senyum sumringah langsung tercetak jelas.

"Kenapa kamu tidak menghubungiku sejak semalam?"

"Apa ada sesuatu yang terjadi padamu?"

"Jangan berusaha untuk menghindar seperti ini, aku mohon."

"Aku baik-baik saja," suara di ujung telepon akhirnya terdengar.

Radit menghela nafas panjang. "Kalau tidak ada masalah yang terjadi lalu kenapa kau tidak menghubungiku sama sekali sejak semalam? Apa kau tidak berpikir kalau ada seseorang yang mengkhawatirkan keadaanmu seperti ini, heh?"

"Khawatir?" Suara lembut yang mendayu kembali terdengar. Namun entah mengapa kali ini terdengar cukup mengejek.

Radit mengernyitkan dahi, "Tentu saja!"

"Jangan repot begini, Radit. Aku bukanlah seseorang yang penting didalam hidupmu. Jadi--"

"Siapa bilang kamu tidak penting di dalam hidupku?!" Sebelum kalimat seseorang di ujung telepon sana selesai diucapkan, Radit sudah lebih dulu memotongnya.

Tut!

"Sialan!" Radit kembali menggerutu kesal saat telponnya dimatikan.

Padahal dia belum menjelaskannya secara rinci namun telepon sudah dimatikan lebih dulu. Sekarang dia harus memastikan bahwa seseorang yang baru saja berbincang via telepon di seberang sana tidak salah paham. Namun sebelum itu, dia harus lebih dulu menuntaskan hasratnya yang tertunda karena semalam tidak disalurkan.

"Pantas saja otak tak bisa berpikir dengan jernih. Ada hasrat yang belum tuntas," Radit mengusap wajahnya yang kini bersemu kemerahan.

Dia kembali berjalan menuju ke lantai atas. Tujuannya saat ini tentu saja untuk menemui sang istri. Namun begitu masuk ke dalam kamar, Sophia tak tampak disana. Dia mulai mengedarkan pandangan ke sekitar, matanya tertuju ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat.

Suara shower air yang menyala membuatnya mendekat. Lalu mengetuk pintu kamar mandi secara perlahan.

"Sayang?" Tak ada balasan apapun yang terdengar.

Radit mengernyitkan dahi hingga kedua alis saling berkaitan satu sama lain. "Sayang?!" Kali ini dia menaikkan nada bicaranya sedikit. Barangkali sang istri memang tak mendengar panggilannya.

Sophia berjingkat kaget, sejak tadi ia sibuk terjun ke dalam kubangan ingatan yang cukup menyakitkan. Ingatan itu terus saja memaksanya untuk kembali merasakan rasa bimbang.

"I-iya?" Sophia tergagap. Perlahan mulai bangkit mematikan shower air yang menyala.

"Apa kamu masih belum selesai membersihkan diri?"

"Se-sebentar lagi,"

"Baiklah, aku akan menunggumu!"

Meskipun dia telah mengguyur tubuhnya serta melumurinya dengan busa sebanyak mungkin namun tetap saja tidak bisa menghilangkan rasa jijik akibat sentuhan yang masih terasa. Dia menatap ke arah pantulan cermin yang memperlihatkan lekuk tubuh yang tampak menggoda. Dua gunung kembarnya tampak bulat sempurna. Pinggangnya ramping dan seksi.

Sophia memejamkan mata sejenak. Terus mencoba untuk menepis segala pikiran buruk yang hinggap di dalam kepalanya. Dia tidak ingin lagi mengingat tentang kenangan yang tidak seharusnya. Ada hati yang perlu dijaga. Radit tak boleh mengetahuinya.

Dia meraih handuk dan menutupi sebagian tubuhnya yang masih setengah basah. Dia harus segera keluar, Radit pasti sedang menunggunya sejak tadi. Sophia tak ingin menyia-nyiakan waktu. Mungkin berbincang dengan Radit, bisa membuat kegelisahan menghilang.

Begitu pintu kamar mandi terbuka, punggung sang suami langsung menyapa. Radit menoleh dan melirik dari atas ke bawah dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.

Aroma segar sabun mandi yang menggoda langsung menyeruak masuk ke dalam indera penciuman. Radit tersenyum simpul. Seperti biasa, Sophia selalu bisa membangkitkan gairahnya.

"Kenapa lama sekali?" Radit bertanya dengan alis yang naik sebelah.

"Aku kangen!" rengeknya manja.

Blush!

Sophia memalingkan wajahnya yang kini tampak merah merona menahan rasa malu. Radit memang sangat pandai menarik hati wanita bahkan hanya melalui kata-kata yang cukup sederhana.

Grep!

Tanpa aba-aba, Radit langsung meraih tubuh sang istri ke dalam gendongannya. Sophia terpekik dengan suara yang terdengar manja. Justru tingkahnya barusan malah membuat sang suami tak bisa menahan gejolak yang semakin membara.

"Mau apa?"

Radit mendekatkan wajahnya ke arah Sophia. "Tentu saja ingin membawamu ke surga,"