Selama seminggu tak ada masalah apapun. Bahkan tak ada lagi ancaman yang datang seolah siapapun itu yang berniat untuk menghancurkan pernikahan Sophia dan Radit telah lenyap ditelan waktu. Namun entah mengapa tetap saja ada yang mengganjal seolah ketenangan ini malah jauh lebih berbahaya.
"Apa aku boleh bernapas lega sekarang? Tapi kenapa aku justru merasa ada sesuatu yang aneh dan seolah akan ada badai yang bersiap untuk menerpa?"
Sophia seharusnya merasa bersyukur karena tidak ada lagi ancaman maupun teror yang datang. Tapi sesuatu yang terlihat begitu tenang sebenarnya jauh lebih berbahaya dan pantas untuk diwaspadai.
GREP!
Sebuah pelukan erat tiba-tiba mengejutkan Sophia. Dia berjingkat kaget dengan suara pekikan yang cukup nyaring. Hembusan napas hangat menerpa lehernya yang jenjang.
"Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu terdengar begitu lembut. Radit memeluk tubuh istrinya dengan erat tanpa lupa menghirup aroma khas yang menguar dari tubuh Sophia.
"Kamu mengejutkanku, Radit!" Sophia bersungut dengan wajah yang tampak masam. Untung saja jarinya tidak tergores pisau karena terkejut.
Bukannya meminta maaf, Radit justru terkekeh saat melihat tingkah lucu istrinya. Sophia benar-benar wanita yang diidamkan para pria. Dia lembut dan mudah diatur. Meski Jessica seringkali meminta perhatian Radit, namun tentu saja dia enggan memberikan sesuatu yang lebih untuk seorang gadis yang bahkan rela membuka kakinya di depan suami sahabatnya.
Radit melepaskan pelukannya, kini dia beralih menatap intens istrinya. "Apa kamu mau pergi jalan-jalan?"
Sophia langsung menghentikan kegiatan memasaknya. Dia menatap tak percaya ke arah suaminya. Keningnya kini mengerut seolah tidak percaya dengan ajakan dari Radit.
"Kita sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama, Sayang. Aku hanya ingin lebih memperhatikanmu karena akhir-akhir ini kamu terlihat banyak pikiran. Mungkin dengan pergi keluar bisa menghilangkan sedikit beban yang ada di dalam kepala kecilmu itu." Radit mengakhiri ucapannya dengan menyentil kening Sophia.
Meski merasa kesal namun wanita itu tak bisa menyembunyikan wajahnya yang kini dihiasi dengan gurat merah merona. Radit bahkan mengerti perasaannya tanpa perlu diberitahu.
Lima belas menit kemudian, Sophia telah berganti pakaian. Radit menatap istrinya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sebuah senyum terbit di bibir Radit. Sophia memang tidak pernah mengecewakan dalam hal penampilan. Dia selalu tampak elegan.
"Kamu cantik sekali, Sayang." Radit merangkul pinggang istrinya itu dengan erat. Tentu saja hal itu langsung membuat wanita disampingnya tersipu malu. Hanya dengan perhatian sekecil ini saja telah membuat hatinya berbunga-bunga.
Sophia mendongak dan menatap intens suaminya. "Kita mau pergi kemana?"
"Aku tidak bisa memilih satu tempat untuk kita kunjungi. Sebab waktuku akan terasa begitu berharga hanya dengan bersamamu, Sayang."
Kalimat manis kembali keluar dari bibir Radit. Sophia menundukan kepalanya, ia sendiri tak ingin jika wajahnya yang kini merah merona seperti kepiting rebus akan terlihat. Meski disembunyikan dengan cara apapun, Radit sendiri tahu kalau gombalannya telah berhasil. Pria ini sadar bahwa hanya dengan kalimat manis bisa meluluhkan hati wanita. Terbukti saat dia mencobanya sendiri pada Sophia dan Jessica. Dua wanita yang berbeda pikiran namun hampir sama dalam hal perasaan.
Di sisi lain,
Seorang pria sedang dalam keadaan gelisah. Entah mengapa dia bahkan tidak bisa fokus saat bekerja. Adrian menghela napas lelah sambil memijat keningnya yang terasa berdenyut nyeri. Meski dia ingin melupakan wanita itu, namun sepertinya keinginannya tidak direstui Tuhan.
"Sialan!"
Frans hanya bisa menatap iba ke arah sahabatnya yang tampak begitu frustasi. Sejak pagi dia telah mendengar helaan napas lebih dari puluhan kali. Bahkan kalimat umpatan tak jarang membuatnya berjingkat kaget.
"Apa yang membuatmu tidak fokus?"
Lima menit lamanya, tidak ada jawaban yang terdengar. Frans hanya bisa menghela napas kesal. Dia ingin membantu sahabatnya jika memang memiliki beban pikiran. Namun Adrian tetap saja bertingkah menyebalkan seolah tidak membutuhkan bantuan.
Frans yang sejak tadi berdiri di samping sahabatnya itu akhirnya memutuskan untuk duduk. Namun baru saja mendaratkan pantatnya ke atas sofa, dia langsung mendapatkan tatapan tajam.
"Apa aku menyuruhmu untuk duduk?"
"Oh ayolah! Apa kau akan terus menyiksaku hanya karena merasa kesal?!" sentak Frans. Dia telah berusaha untuk bertanya dengan pelan agar tidak menyinggung Adrian. Namun pria dingin itu justru mengacuhkannya. Sekarang, Frans hanya ingin melemaskan otot kakinya sejenak. Namun dia malah dihadiahi tatapan tajam.
Adrian menatap sahabatnya itu dengan tajam. Frans hanya bisa menghela napas panjang. Meski ingin melawan tapi sifat sahabatnya itu telah mendarah daging dan rasanya sulit untuk diubah. Pada akhirnya dia sendirilah yang harus mengalah.
"Apa yang membuatmu marah?"
Adrian tampak berpikir sejenak. Mungkin dia sendiri juga masih bingung dengan alasan mengapa perasaannya berubah-ubah. "Aku tidak tahu. Tapi sepertinya aku gila."
Frans mengernyitkan dahinya. "Gila, katamu?"
Adrian mengangguk pelan. Frans memikirkan banyak kemungkinan. Sekelebat ingatan muncul kembali di dalam kepalanya. Dia melirik ke arah Adrian. Meski ragu namun otaknya kembali meyakinkan bahwa tebakannya tidak salah.
"Apa kau sedang memikirkan wanita itu?"
Adrian melirik sekilas sebelum mengangguk perlahan. Frans ingin tertawa sekarang. Sahabatnya benar-benar telah jatuh hati dengan wanita itu. Meski pada awalnya dia mengira bahwa pria dingin ini tidak akan pernah tertarik pada gadis manapun. Namun kini keyakinannya terpatahkan. Adrian benar-benar telah berubah.
"Aku senang karena pada akhirnya kau terbukti normal. Tapi dia sudah menikah dan sepertinya perasaanmu hanya akan bertepuk sebelah tangan."
Adrian menoleh tanpa lupa melayangkan tatapan tajam. "Aku memang memikirkannya. Tapi bukan berarti jatuh hati dengan wanita yang menyebalkan itu!"
Frans berusaha menahan tawa agar tak meledak. Adrian terus berusaha menyembunyikan perasaanya meski terlihat begitu jelas jika dia memang tertarik pada wanita itu. Meski ingin menertawainya, Frans tetap berusaha untuk bersikap tenang sebab dia sendiri tahu jika tawanya itu hanya akan membawa petaka.
"Baiklah, mungkin tebakanku salah. Tapi jika memang kau tertarik dengan wanita itu, aku menyarankanmu agar melupakannya saja. Dia juga terlihat tidak peduli padamu."
Kalimat yang baru saja diucapkan Frans telah berhasil membuat Adrian menyadari satu hal. Meski dia sendiri belum yakin dengan isi hatinya sendiri. Namun dia tahu kalau wanita itu memang telah berhasil menarik perhatiannya.
Di tempat lain,
Sophia menggenggam erat tangan suaminya. Pasangan suami istri ini memutuskan untuk menghabiskan waktunya ke resort. Radit memutuskan untuk duduk di meja yang berada di luar. Sophia hanya menurut saja. Begitu mendaratkan pantatnya di sofa, Sophia langsung disambut dengan pemandangan yang memanjakan mata. Tepat di depan sana terlihat pantai yang membentang luas.
"Apa kamu suka?"
Sophia mengangguk pelan. "Indah sekali," ujarnya lirih dengan pandangan yang masih mengarah keluar.
Radit tersenyum tipis saat melihat senyum manis terbit di wajah istrinya. Namun kesenangannya itu terusik saat ponselnya bergetar. Layar ponselnya menyala dengan tanda panggilan masuk.
"Aku pergi ke toilet sebentar, Sayang."
Sophia melirik sekilas sambil mengangguk perlahan. Sedangkan suaminya itu telah berlalu pergi bahkan sebelum mendapatkan persetujuan dari Sophia.
Puas melihat pemandangan indah yang berada tepat di depan matanya. Sophia beralih meraih ponselnya untuk mengabadikan foto. Dia sendiri bahkan belum sadar jika sejak tadi tengah diawasi oleh seseorang.
"Sudah lama kita tidak bertemu, ya."
Sophia menoleh perlahan. Senyum yang tadinya sempat mengembang kini langsung hilang. 'Kenapa dia ada disini?!'