Lintang duduk di kursi kerja Ayahnya tanpa canggung, membaca dan menganalisis satu per satu dokumen yang baru saja diberikan Manager Legal melalui Sandy. Teliti dokter itu bekerja, mudah saja beradaptasi dengan cepat ke pekerjaan baru yang sama berat dengan pekerjaan aslinya sebagai dokter.
"Pak Sandy ..."
"Ya? Ada apa, Mas?"
Lintang menunjukan lembaran salinan sebuah dokumen yang sudah Ia acak-acak dengan spidol hijau, "Ini dokumen MoU dari Kementrian ELH, seharusnya Menteri langsung yang bertanda tangan, kenapa tidak ada?"
"Itu dia yang juga sedang Saya selidiki, Mas. Karena saat ini, seolah Kementrian ELH berusaha cuci tangan, tak tahu menahu, padahal jelas-jelas meeting pertama untuk proyek ini dihadiri mereka, termasuk Menterinya sendiri."
"Dokumentasi rapatnya ada?"
"Ada, di pihak mereka dan tidak dibagikan."
Lintang menggelengkan kepalanya, "Saya semakin yakin kalau Papa diseret karena masalah birokrasi. Sesederhana tanda tangan, jika tergores di kertas yang salah akan sangat berbahaya."
"Betul, Mas. Tim Legal sedang menelusuri alur birokrasi yang salah tersebut, meskipun ... audit keuangan mungkin akan sangat sulit ditutupi bagaimanapun juga."
"Bagaimana dengan skema ganti rugi? Itu sah-sah saja, kan?"
Sandy menggeleng, "Sayangnya tidak bisa semudah itu, Mas Lintang. Cara seperti itu bisa dilakukan antara dua entitas privat, tapi jika urusannya dengan dana dan aset negara, Kita benar-benar bersentuhan dengan hukum," jelasnya panjang lebar. Sandy tak kalah frustasinya dengan Lintang sejak tadi, Ia bingung bagaimana mencari solusi.
"Kapan audit keuangan dari KPK dan BPK dilakukan?"
"Belum diketahui, Mas. Tapi nampaknya di minggu ini juga, karena Bapak sudah selesai diselidiki."
Lintang mengangguk, menghela nafasnya berat, "Baik, kalau begitu. Tapi Pak Sandy ..."
"Ya, bagaimana?"
Lintang tampak berpikir keras, sampai tangannya memukul-mukul meja kerja pelan, "Saya tidak mau bermain kotor, tapi jika negosiasi memungkinkan untuk skema ganti rugi atau ... jaminan pengembalian aset, Saya siap berdialog ..."
"Ini bukan sepenuhnya kesalahan perusahaan, meski tetap, salahnya besar. Tapi Saya tetap anak dari Juan Erlangga. Saya tidak mau Papa Saya mendekam di penjara karena kecerobohan hukum yang Ia lakukan."
"Saya harap Anda mengerti, Pak Sandy."
****
Satu nampan berisi semangkuk bubur, air mineral, sup sayuran sederhana, dan buah seadanya dibawa Lintang ke kamar Naira. Ibunya itu jatuh sakit sejak kemarin malam. Menurut salah seorang asisten rumah tangga, Naira tidak makan seharian saat mendengar berita Juan diseret ke KPK. Saat itu Naira bahkan baru saja selesai mengajar di kampus. Berita itu benar-benar menyerang fisik dan mentalnya sekaligus.
"Ma, makan dulu ya, nanti minum obatnya." Lintang mengelus rambut Naira yang agak hangat itu sayang.
Naira tersenyum simpul, memeluk lengan anak kesayangannya itu kemudian, "Makasih ya Kamu udah mau pulang. Mama kira ... Kamu gak akan mau, sekaligus akan benci sama Papa. Nyatanya Kamu malah membantu dengan serius ..." ujarnya lemah.
"Gimana Aku mau benci sama Papa, Ma? Gak akan pernah terjadi. Udah deh, Mama mikirnya yang positif-positif aja. Papa sehat kok, tadi Aku udah jenguk. Berkas-berkas penyelidikannya juga udah Aku periksa, dan ..."
Lintang menghela nafasnya berat, "Aku salah dengan berpikir terlalu sempit bahwa yang namanya korupsi itu selalu mencuri. Tapi di kasus Papa dan tiga rekannya, gak begitu."
"Gimana maksudnya, Lin?"
"Mama tau istilah anak muda zaman sekarang gak? Play victim, dan gaslighting."
Naira menggeleng, "Enggak."
"Jadi alih-alih bersalah, Papa dan perusahaan lebih banyak disalahkan, Ma. Papa menyetujui semua instruksi dari mitranya dengan pertimbangan kurang matang, berakhir seperti ini ..."
"Ditambah, mitra Papa kali ini lebih punya kuasa, maka dengan nyaman mereka menyalahkan, mempertanyakan ini itu seolah Papa yang sepenuhnya salah. Padahal, mereka yang memerintah ..."
"Papa sebagai penerima kerjasama berperan sebagai pelaksana. Begitu Ma," lanjut Lintang menahan nada amarahnya selagi menyiapkan bubur. Jangan sampai tensi tingginya menular pada Naira.
"Ayo Ma, Lintang suapin. Mama duduk ya ..." Lintang membantu Naira duduk bersandar di headboard, "Pucat gini masih aja cantik sih, Ma? Heran."
"Ck! Dasar tukang gombal, mirip sama Papanya."
Lintang hanya terkekeh. Suapan bubur pertama itu akhirnya sampai juga di mulut Naira.
"Tapi Lin, Mama gak pernah kepikiran sampai situ. Mama cuma mikir ... Papa kenapa begitu? Apa selama ini Kita kekurangan? Papa juga religius banget orangnya, Kamu tau sendiri. Masa sih, masa sih, gitu? Itu aja yang ada di pikiran Mama, Lin."
Lintang mengangguk, "Iya, Ma. Lintang paham. Tapi Mama tenang aja sekarang, Aku akan urus ini semua sampai selesai."
"Kerjaan Kamu di Sierra Leon gimana? Kamu resign?"
"Enggak mungkin Aku resign, Ma. Aku izin seminggu."
Naira menurunkan bahunya kecewa, "Apa gak terlalu sebentar, Lin? Kenapa Kamu gak sekalian resign aja kalau akan terlibat dalam proses hukum Papa?" tanyanya penuh harap.
Lintang tampak berpikir, sembari tangannya terus menyuapi Naira, "Ma, kalau Aku mendadak resign, terlalu banyak risiko. Pertama, pasti muncul pertanyaan mulai dari kenapa dan ada apa. Kedua, reputasi Aku rusak karena tidak profesional. Ketiga ... latar belakang Aku bisa diketahui."
"Aku sudah banyak pertimbangan kok, Ma sebelum pulang," lanjutnya berusaha meyakinkan.
"Pertimbangan apa? Kamu mau mengerjakan dua posisi itu? Sebagai Dokter dan PLT Direktur menggantikan Papa?" tebaknya. Lintang mengangguk pelan, membuat Naira tak habis pikir, "Badan Kamu itu cuma satu, Lintang. Apa sanggup Kamu?"
Lintang tersenyum simpul, "Anak Mama ini pinter, kok. Peran Aku di proses hukum ini sangat penting, sekaligus gak akan terlalu perlu terlibat di lapangan. Itu urusan Pak Sandy."
"Terus apa?"
"Pengambil keputusan. Aku udah bilang ke seluruh tim legal yang bekerja untuk selalu melaporkan temuan dan progress hukum baru setelah Aku kembali ke Sierra Leone nanti, dan apa coba kata mereka Ma?"
"Apa?"
Lintang malah tertawa lebih dulu, "Katanya mereka siap melapor pada Direktur Yang Disembunyikan. The Invisible Director."
Naira mengerutkan dahinya, "Masih sempet bercanda?"
"Biar rileks sedikit dong, Ma. Jangan tegang terus, yang penting pekerjaannya kan selesai, punya strategi."
Naira hanya geleng-geleng kepala, "Jadi Kamu sekarang udah resmi menyebut diri Kamu 'Direktur' Kartasena Energi? Akhirnya, harapan Papa Kamu terkabul meski dia harus terjerat kasus dulu."
"Kata siapa Aku mau dipanggil 'Direktur'? Aku 'Dokter Lintang', gak ada gelar yang lebih keren dari itu," kilah Lintang tak terima.
Naira hanya menghela nafasnya berat, "Lin, gimana kalau Papa harus dipenjara? Mama gak siap," ujarnya kembali khawatir.
Bekas tawa Lintang pudar, perasaan negatif itu kembali menyeruak di hatinya, "Lintang juga gak mau, Ma. Papa memang salah, dan Papa juga mengakui itu semua, bahkan ... meminta Lintang gak perlu repot-repot mengurus proses hukumnya ..."
"Papa bilang begitu?"
Lintang mengangguk, "Ya, Aku juga kaget, gak percaya, karena Papa bukan orang yang mudah menyerah. Tapi setelahnya Aku berpikir, kalaupun buruk-buruknya Papa harus ditahan nanti, itu setimpal saja, dan memang semestinya, dengan berat hati ... Kita harus paham konsekuensi hukum negara ini ..."
"Taat hukum itu salah satu hal yang selalu Papa ajarkan ke Lintang dan Kita semua, Ma. Ketika Papa bilang begitu, mungkin itu salah satu pembuktian integritas akan perkataan dan prinsipnya sendiri."