"Blind date?" tanya Bulan tak percaya. Matanya melebar menatap Yasmin.
Perempuan tomboi itu mengangguk mantap. Dia menaik-turunkan alisnya. "Bagaimana? Menarik, kan? Apalagi Bima mukanya cakep."
Bulan mendesah. Dia bersandar lemas di punggung kursi. Kecurigaannya atas perilaku Yasmin hari ini ternyata terbukti.
'Kencan buta? Astaga, Yasmin benar-benar sudah gila.'
"Kamu kenapa ajak Bulan kencan buta dadakan begini, sih? Kan kasihan dia," ujar Timur.
Kernyitan lelaki itu begitu dalam, sampai-sampai Bulan ingin sekali mengusapnya dengan tangan.
"Kasihan apanya? Bulan tuh udah bertahun-tahun jadi jomblo. Nggak salah dong kalau sekarang ada temenku yang tertarik sama dia, aku kenalin sekalian?" Yasmin menyahut dengan nada sedikit kesal, dan mengabaikan raut keberatan Timur.
"Tapi nggak mendadak begini juga," cicit Bulan.
Dia teringat akan kondisinya yang sangat tidak memungkinkan untuk ikut kencan buta yang diatur Yasmin. Andai saat ini dia tidak hamil, mungkin dia akan senang hati berkenalan dengan Bima. Sebab, dia sadar bahwa hubungannya dengan Timur tidak akan beranjak lebih dari sekadar sahabat.
"Ya nggak apa-apa, Lan. Kan aku temenin," sahut Yasmin sambil melirik Bima yang masih berdiri di depan stan soto banjar. Lelaki itu tadi memang menawarkan diri untuk membelikan makanan mereka.
"Lagi pula Bima orangnya baik. Dia tuh sebenarnya sudah tertarik sama kamu sejak lihat foto kita berempat waktu liburan ke Bali tiga tahun lalu," lanjutnya.
"Selama itu?" tanya Bulan tak percaya.
Yasmin mengangguk. "Makanya kali ini kamu kencan sama dia, ya. Kalau kalian nggak cocok juga nggak apa-apa." Dia kini menoleh ke arah Timur, mencoba mendapatkan dukungan lelaki itu. Namun, dia malah mendapati sorot mata tak setuju dengan kernyitan tak kunjung hilang dari wajah Timur.
"Kenapa muka kamu gitu, Mur?" tanya Yasmin sambil memicingkan mata.
Timur langsung berdeham. Dia kemudian bersandar untuk membuat dirinya sendiri lebih rileks. "Maaf," ujarnya. "Aku hanya kasihan sama Bulan yang lagi sakit."
Ucapan Timur membuat Bulan sedikit kecewa. Bodohnya, dia tadi berharap ekspresi penolakan Timur itu diakibatkan rasa cemburu. Padahal dia tau pasti bahwa itu hanyalah ilusi semata. Mungkin harapan itu juga timbul karena bawaan kehamilannya saat ini. Padahal sejak dulu dia tak pernah menciptakan fantasi apa pun atas hubungannya dan Timur, meski menyukai lelaki itu.
"Aku nggak apa-apa, kok." Dia melirik Bima yang kini sudah berjalan ke arah mereka. Lelaki berkulit putih itu tersenyum begitu mata mereka bersirobok. "Aku bakal kencan sama Bima untuk hari ini." Pada akhirnya jawaban Timur tadi mendorongnya untuk membuat keputusan.
Wajah Timur berubah kaku mendengar keputusan Bulan. "Kamu yakin?" tanyanya.
"Kenapa harus nggak yakin? Bima teman Yasmin. Pasti dia laki-laki yang baik, sampai-sampai Yasmin memperkenalkannya ke kita. Ya, kan?" Bulan menatap Yasmin yang langsung mengangguk.
"Hai, pada ngomongin aku, ya?" tanya Bima yang langsung duduk di sebelah Timur.
"Tau aja," tukas Yasmin.
Bima tersenyum. "Aku minta maaf karena tiba-tiba gabung sama kalian. Pasti rasanya cukup tidak nyaman, ya," ujarnya.
Bulan melihat sekilas Timur yang sejak tadi melirik tajam pada Bima. "No, Bim. Nggak apa-apa. Kamu di sini untuk kenalan, kan? Kalau sudah kenal, kita bisa jadi teman."
Helaan napas lega keluar dari mulut Bima. "Makasih penerimaannya, Rembulan."
"Just Bulan," pinta Bulan.
"Udah, ya, Bim. Udah aku kenalin ke Bulan. Jadi, jangan neror terus," celetuk Yasmin.
Bima seketika terbahak. Dia menganggukkan kepala. "Terima kasih," bisiknya dengan wajah sedikit bersemu.
"Eh, Mur, ayo pergi!" ajak Yasmin tiba-tiba.
Timur mengernyit. Dia mendongak menatap Yasmin tidak yakin. "Mau ke mana?" tanyanya.
Yasmin berdecak. Dia langsung beranjak menarik tangan Timur hingga lelaki itu berdiri dari duduknya.
"Kamu nggak sadar situasi, apa gimana?" bisiknya. Lantas dia kembali menghadap ke Bima dan Bulan. "Aku ada urusan mendadak dan butuh tumpangan. Jadi, aku sama Timur pamit dulu, ya!" serunya. Tanpa menunggu jawaban Bulan dan Bima, Yasmin menarik paksa tubuh Timur yang jauh lebih besar dibanding dirinya.
Sementara itu Bima beralih menatap Bulan yang juga kini melihatnya bingung.
"Itu mereka sengaja, kan?" tanya Bima retoris. "Biar nggak usah bayar sotonya?"
Detik itu juga Bulan tertawa. Atas gurauan Bima barusan, dia jadi sedikit lebih rileks. Mungkin hari ini akan berlalu dengan menyenangkan. Dan mungkin juga jika di kondisi yang lebih baik, mereka bisa jadi teman akrab.
"Iya, mereka sengaja," sahutnya sambil tertawa pelan.
***
"Kamu di Prancis kerja?" tanya Bulan. Dia menyeruput jus mangganya.
Dia dan Bima baru saja selesai menonton film romantis di bioskop mall. Beruntungnya, hari ini tidak banyak yang nonton film itu, sehingga ruangan tidak penuh. Tentu itu membuat Bulan merasa lebih nyaman. Sebab, aroma parfum yang beragam kerap membuat mualnya muncul kembali.
Dan kali ini mereka memilih cafe yang tidak jauh dari mall untuk dijadikan destinasi kencan berikutnya. Namun karena sudah kenyang, hanya dua gelas minuman yang mereka jadikan teman ngobrol.
"Iya," jawab Bima. "Ada kesempatan besar buat anak bawang kayak aku, jadi tentu nggak baik dong kalau dilewatkan," sahut Bima. Dia mengedipkan sebelah mata, hingga membuat Bulan tertular senyumnya.
"Anak bawang apanya, deh," kekeh Bulan. "Terus ini kembali ke Indonesia dalam rangka apa?"
"Mau coba buka studio di sini. Lagian ibuku kurang sehat. Aku harus jagain beliau."
Hati bulan menghangat mendengar itu. Andai dia bertemu Bima sebelum kejadian dengan Timur, mungkin dia bisa belajar untuk jatuh cinta ke teman Yasmin itu. Bima tipe lelaki ramah yang sopan. Mungkin tidak akan sulit menyingkirkan rasanya pada Timur dan menggantikan posisi lelaki itu dengan sosok Bima.
Akan tetapi, sia-sia bila sekarang berandai-andai. Hal itu hanya akan membuatnya menyalahkan kehadiran janin dalam kandungan yang entah sejak kapan sudah dia sayangi.
"Mikirin apa?" tanya Bima tiba-tiba.
Bulan terkesiap, lalu menarik napas panjang. Dia menggeleng, dan merasa bodoh sudah melamun di depan laki-laki yang baru dia kenal hari ini.
"Oh, iya. Kamu kenapa ingin sekali bertemu denganku? Padahal seingatku, mukaku di foto yang disebutkan Yasmin itu kusut banget." Dia tertawa sendiri setelah menyelesaikan ucapannya.
Bima menggeleng. "Kamu nggak kusut. Cantik banget malah," ujarnya. Kali ini dia sudah bisa memuji Bulan tanpa bersemu seperti sebelumnya.
"Meski aku nggak tau di mana letak cantiknya, tapi terima kasih sudah memuji," sahut Bulan.
Sama halnya dengan Bulan yang menambah poin plus mengenai kesannya akan Bima, begitu pula dengan lelaki itu. Bima merasa dia punya kesempatan mendekati Bulan untuk hubungan yang lebih spesial, dan pertemuan ini memang membuat rasa tertariknya kian membesar.
"Tapi, biar aku jawab alasanku tertarik setelah melilhat fotomu," ujar Bima. "Tentu itu bukan karena hanya sekadar cantik. Paras yang jauh lebih cantik banyak kutemui dalam pekerjaanku sebagai fotografer. Tapi kesan polos," katanya sambil menggeleng, "tidak semua orang punya. Kamu tau, kesan polos kalemmu di foto itu benar-benar menarik. Aku sampai tidak bisa mengalihkan mata," ujar Bima.
Sebagai seorang perempuan normal, dipuji seperti demikian tentu membuat jantung Bulan berdebar lebih kencang. Entah bagaimana, dia merasa lebih berharga, setelah beberapa waktu sempat mengatai dirinya sendiri bodoh. Meski dalam hati dia tetap mengukuhkan diri untuk memutus hubungan dengan Bima setelah hari ini.
"Jujur aku terta ...."
Ponsel Bulan yang diletakkan di atas meja bergetar. Sebuah pesan dari Timur masuk. Seketika segala pemikirannya akan Bima bubar tak karuan. Atensinya kembali pada sosok yang dikasihinya segenap hati itu.
Timur: Kamu di mana? Udah selesai? Ibu telepon aku, nyariin kamu.
Bulan seketika panik. "Ya ampun, aku lupa ngabarin Ibu," ujarnya sambil berusaha mengetik pesan secepat mungkin untuk ibunya. Selain lupa, hal lain yang membuat dia takut adalah kenyataan bahwa ibunya kini menghubungi Timur. Dia takut sang ibu akan memberi tahu Timur perihal kondisinya.
Bima mengernyit, tapi dia dengan cepat menganalisa situasi. "Kamu telepon aja," ujarnya.
Bulan menggeleng. Dibanding menelepon, dia rasa lebih tepat kalau dia langsung pulang.
"Maaf ya, Bim, kayaknya aku harus pulang." Bermain bersama Bima rupanya membuatnya cukup lupa waktu. Dia baru sadar setelah melihat ke luar cafe kalau langit sudah menggelap.
"Aku antar, ya." Bima kini sudah berdiri. Dia merogoh sakunya untuk mengambil kunci mobil.
"Nggak usah, aku naik bus atau taksi aja," ujar Bulan.
Skema perihal ibu yang kemungkinan membocorkan rahasianya pada Timur terus muncul di kepala, hingga dia lagi-lagi merasa pusing. Dan ketika dia berdiri, rasa pusing itu menghantamnya kuat. Pandangannya jadi gelap sepersekian detik, bersamaan dengan tubuhnya yang luruh ke lantai.
"Rembulan!"
"Bulan!"