Setelah kepulangan Timur dan Bima, Seruni tak bisa menahan diri untuk tak melanjutkan obrolan serius dengan Bulan. Meski putrinya itu terlihat enggan, tapi entah kenapa dia melihat sebuah titik cerah untuk hidup Bulan.
"Kenapa nggak cerita?" tanya Seruni.
Bulan menghela napas, lalu mendudukkan dirinya di tempat tidur. Ibunya sampai menyusul ke kamar, itu artinya memang pembicaraan ini harus diteruskan sampai tuntas.
"Karena ini bukan masalah penting. Aku juga sudah nolak Bima, Bu," jawabnya.
Seruni menggeleng. "Ini penting, Bulan. Ibu bisa lihat kalau kamu sama dia cocok. Kamu cukup responsif sama dia yang ceria. Ibu salah?" tanyanya.
Untuk hal yang satu itu, Bulan tak bisa menyangkal. Makanya sering sekali muncul dalam pikirannya perandaian bahwa dia bertemu Bima sebelum kejadian malam dengan Timur itu terjadi. Bukan berarti dia akan langsung jatuh cinta dengan Bima andai bertemu empat atau tiga bulan lalu. Namun, Bima mungkin bisa membuatnya mengharapkan cinta dan kenyamanan yang baru, yang bukan dari Timur.
"Ibu benar," jujur Bulan akhirnya. Dia lagi-lagi menghela napas, diam-diam melirik perutnya.
"Dari yang Ibu lihat, Bima kayaknya tulus sama kamu, Lan," lanjut Seruni. "Kamu nggak mau coba sama dia?"
"Aku hamil, Bu. Apa yang Ibu harapkan?" tanya Bulan menatap sang ibu frustrasi.
"Kamu coba jujur sama dia. Kalau dia ternyata mau lanjut bareng kamu, tentu itu bisa jadi jalan baru untuk hidupmu. Entah kenapa Ibu punya keyakinan soal ini."
Bulan menggeleng. Andai kata Bima menerima kondisinya pun, tetap saja rasanya tidak benar. Dia seperti memanfaatkan kebaikan dan cinta orang lain demi keuntungannya.
"Itu nggak benar, Bu. Perasaan Bima bukan untuk aku manfaatkan," sahutnya kemudian.
"Kamu tahu Arini? Tetangga Eyang yang hamil karena diperkosa? Dia akhirnya menikah dengan tetangga lain yang cinta sama dia. Hasilnya? Eyang cerita, mereka bahkan sudah punya anak kedua dan hidup bahagia. Bukankah itu mungkin juga berlaku untuk kamu?" tanya Seruni. "Ibu bukannya merasa terbebani dengan kondisimu saat ini atau perasaan buruk lainnya. Hanya saja sebagai seorang ibu, Ibu melihat sebuah peluang agar putrinya bahagia. Sementara kamu merasa tidak bisa mendapatkan itu andai memberi tahu Timur. Makanya Ibu harus berbicara denganmu setelah mendengar cerita Bima tadi," lanjutnya.
"Berlaku ke orang lain, bukan berarti berlaku untukku, Bu. Kalau ibunya Bima ternyata tidak setuju, maka sama saja," jawab Bulan.
Kernyitan muncul di dahi Seruni. Dia mencengkram kedua lengan Bulan dan menatap tepat pada mata putrinya.
"Kamu takut terluka, Lan?" tanyanya curiga. "Iya? Apa kamu mendengar Timur kembali mengatakan bahwa dia tidak akan menikah atau pun punya anak setelah kehamilanmu?" Tebakan itu muncul begitu saja atas respon jawaban Bulan sebelumnya.
Bulan menunduk setelah mendengar ucapan sang ibu. Dia tidak tahu harus menjawab apa lagi, karena apa yang dibilang ibunya benar adanya.
"Astaga, Nak!"
Seruni melepaskan cengkramannya dan mendongak, mencoba menghalau air mata yang tiba-tiba saja mendesak keluar. Kediaman Bulan sudah cukup membuatnya tahu bahwa apa yang dia tanyakan itu benar. Meski ikut merasakan sakit hati, tapi dia tidak bisa menyalahkan Timur. Sejak dulu pun sebagai ibu Bulan, dia tahu bahwa pemuda itu punya trauma soal pernikahan dan orang tuanya. Sekarang rasanya tidak afdal kalau dia tidak menyalahkan takdir yang terjadi pada Bulan dan Timur.
***
Bulan sedang lembur seorang diri di perpustakaan saat Timur tiba-tiba menghubunginya dan menawarkan makanan. Dia tidak bisa menolak, karena sejak tadi perutnya terus saja meneriakkan berbagai menu, protes akibat tak kunjung diisi. Lelaki itu kemudian tiba tiga puluh menit setelah penawaran dengan membawa martabak telur dan terang bulan.
"Kalau mau nasi, kita makan di luar aja habis ini selesai," ujar Timur. Lelaki itu membantu Bulan menyortir buku-buku dalam troli.
Karena musim ujian, perpustakaan ramai didatangi oleh pelajar dan mahasiswa yang belajar maupun mengerjakan tugas. Akan tetapi jelang tutup tadi, pengembalian buku tiba-tiba terjadi serempak. Maka Bulan mau tidak mau menyelesaikan tugas agar tidak jadi beban di keesokan harinya. Padahal sebetulnya bisa saja diselesaikan besok bersama pegawai yang lain.
"Enggak. Itu aja cukup," jawab Bulan. "Terima kasih."
Timur menoleh, mengamati Bulan yang tampak lelah berdiri. "Kamu duduk aja. Istirahat. Biar aku selesaikan ini. Lagian tinggal sedikit."
Karena lelah, Bulan langsung mengangguk. Dia mengambil makanan yang tadi ditaruh Timur di meja depan, lalu membawanya ke sela rak tempat lelaki itu berdiri dengan troli berisi buku yang perlu ditata.
"Aku makan di sini aja," ujarnya sambil duduk di lantai. Ketika dia membuka dua kotak yang masih hangat itu, aroma lezat langsung menyebar. Tanpa sadar dia tertawa.
"Kenapa?" tanya Timur. Kenyitan muncul di dahinya.
"Nggak boleh makan di perpustakann, tapi petugasnya malah makan martabak dan terang bulan," jawab Bulan, masih tertawa pelan. Dia kemudian mengambil sepotong martabak setelah membuka acar timun.
Mendengar Bulan tertawa seperti itu, membuat Timur tertular. Dia akhirnya jongkok di depan Bulan yang sedang mengunyah.
"Kalau kerja sampai lewat jam seperti ini, kamu telepon aku lagi aja. Aku bakal bawain makanan apa pun yang mau kamu makan," ujarnya.
Sungguh, ucapan Timur mendadak membuatnya tercengang. Dia merasa seperti istri yang sedang diperhatikan suaminya kala hamil, meski dia belum pernah menikah. Tentu hal itu harusnya membuat dia senang. Akan tetapi, bukan itu yang dia rasakan sekarang, karena rasa curiga mulai merambati kepalanya.
"Kenapa?" Pada akhirnya pertanyaan itu yang terlontar dari mulutnya.
Timur memiringkan kepala sambil mengernyit. "Kenapa apanya? Bawain makanan? Ya, biar kamu nggak kelaparan. Yasmin sama Embun juga bakal aku kasih makanan kalau mereka lembur kerjanya."
Bulan menghela napas lega di antara rasa nyeri yang sedikit muncul di dadanya atas jawaban Timur. Dia kemudian mengangguk-anggukkan kepala dan lanjut mengunyah.
"Em, Lan!" panggil Timur. Lelaki itu sudah kembali berdiri dan lanjut menata buku di rak.
"Hm?"
"Soal lamaran Bima ke kamu, kenapa ditolak?" tanya Timur.
Bulan mendongak, melihat Timur yang masih fokus membaca kode buku.
"Menurutmu harusnya diterima? Ibu juga mikir gitu," sahut Bulan dengan nada sedikit ketus. Namun, dia kemudian berdeham, sadar bahwa tiba-tiba jadi emosional.
"Bukan begitu maksudnya," sahut Timur. "Aku cuma penasaran sama penolakanmu." Lelaki itu kembali menoleh ke arah Bulan. "Maaf kalau pertanyaanku malah bikin kamu nggak nyaman."
Bulan cepat-cepat menggeleng. "Nggak apa-apa. Kamu sahabatku. Udah sepantasnya tanya begitu," jawabnya sambil mencoba mengulas senyum, meski jadinya tampak kaku.
Beruntung dering ponsel Bulan menyelamatkan suasana di antara mereka. Bulan langsung berdiri dan merogoh ponsel dalam saku untuk menjawab panggilan.
***
Telepon tadi datangnya dari Yasmin. Perempuan itu ingin menginap di rumah Bulan karena tidak bisa istirahat di rumah. Dan saat tahu kalau Bulan masih di luar rumah bersama Timur, dia pun langsung minta dijemput. Maka mau tak mau Timur dan Bulan datang ke rumah Yasmin meski jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
"Bhumi kenapa memangnya?" tanya Bulan saat mendengar suara tangis anak kakak Yasmin.
"Nggak tahu. Nggak betah di sini kayaknya," sahut Yasmin sambil memasukkan baju yang besok dipakainya kerja ke dalam tas.
Candra—kakak tertua Yasmin—memang tinggal di kota lain, dan hanya sesekali berkunjung ke Jakarta untuk menjenguk orang tuanya. Makanya Bulan juga tidak begitu mengenal dekat kakak pertama Yasmin itu. Berbeda dengan dua kakak lelaki Yasmin yang lain. Karena dulu sering bertemu, dia akrab dengan mereka.
"Sakit mungkin," celetuk Timur.
Yasmin mengangguk. "Agak demam emang. Tapi tadi udah dikasih obat. Jadi harusnya sekarang sih udah tenang. Eh, tapi dua jam lalu tiba-tiba rewel banget."
"Kamu nggak mau bantu Mas Candra jaga Bhumi?" tanya Timur.
"Mulutmu itu kadang sama menyebalkannya dengan mulutku," sahut Yasmin. "Besok aku ada acara penting. Jadi butuh tidur yang benar-benar tidur. Makanya terpaksa aku nginep di rumah Bulan."
Bulan hanya nyengir mendengar percakapan dua sahabatnya. Dia kemudian memutuskan keluar kamar Yasmin lebih dulu dan menunggu di teras. Akan tetapi saat dia membuka pintu kamar, dia melihat Candra yang juga baru keluar kamar sambil menggendong Bhumi. Bocah tiga tahun itu masih menangis di bahu ayahnya.
"Eh, Bulan, kan?" tanya Candra sambil tersenyum, meski wajahnya sudah terlihat kelelahan.
"Iya, Mas," jawab Bulan sambil tersenyum. Dia melirik botol susu kosong di tangan Candra. Pasti lelaki itu hendak mengisinya ulang. "Mas mau buat susu? Sini saya bantu gendong Bhumi," tawarnya sambil berjalan mendekat.
"Eh, nggak apa-apa, Lan?" tanya Candra.
Bulan menggeleng sambil tersenyum. Dia kemudian mengulurkan tangan untuk mengambil alih tubuh kurus Bhumi. Entah kenapa keponakan Yasmin itu tidak kunjung berisi meski nafsu makannya tidak buruk. Yasmin bahkan sampai rutin mengirimkan vitamin ke kakaknya itu agar bisa menambah berat badan Bhumi.
"Makasih, ya. Aku buat susu sebentar," ujar Candra sambil bergerak cepat menuju dapur.
Sementara Bulan menepuk-nepuk pundak Bhumi. Dia membisiki beberapa kata penenang pada anak tiga tahun itu. Tidak sampai dua menit, tiba-tiba tangis Bhumi berhenti.
"Bhumi?" panggil Bulan. Namun tidak ada sahutan. Pundaknya terasa lebih berat dari sebelumya, hingga dia sadar bahwa Bhumi tertidur. Dia tersenyum lega mengetahui itu.
Candra tiba-tiba muncul dengan keterkejutan di wajahnya. "Tidur?" tanyanya pada Bulan.
Bulan mengguk. Dia menepuk-nepuk punggung Bhumi lembut, tidak berani bersuara.
Tanpa Bulan sadari, sedari tadi Timur memperhatikan dari pintu kamar Yasmin. Entah kenapa hatinya menghangat melihat Bulan sedang menggendong Bhumi, bahkan sampai bisa menenangkannya.