Chereads / Hidden Little Secret / Chapter 9 - Taman Malam Ini

Chapter 9 - Taman Malam Ini

Bulan tidak menyangka kondisinya akan memburuk malam ini. Padahal selama menghabiskan waktu dengan Bima tadi, dia merasa baik-baik saja. Akan tetapi setelah mendapat pesan dari sang ibu, entah kenapa pusing dan sakit di kepalanya kembali. Bahkan ketika masuk ke mobil Timur, mualnya juga datang lagi. Mungkin karena pengharum mobil Timur yang malam ini punya aroma berbeda.

"Mual?" tanya Timur. Lelaki itu melirik ke arah Bulan yang menutup hidung serta mulutnya dengan telapak tangan. Keringat dingin muncul di kening perempuan itu, padahal pendingin mobil menyala.

Bulan mengangguk. Lebih baik mengaku daripada dia harus menutup-nutupi dan berakhir muntah di dalam mobil mahal ini.

"Benar dugaanku. Kamu belum sembuh. Kalau gitu ke klinik aja, ya?" tawar Timur.

"Nggak usah," sahut Bulan dengan suara teredam tangannya sendiri.

Timur mengernyit. "Terus bagaimana? Mau berhenti dulu? Kayaknya kamu bakal kepayahan kalau kupaksa jalan sampai rumah."

Itu tawaran terbaik saat ini untuk Bulan. Maka dia langsung mengangguk, bahkan tangan kirinya bersiap melepas seatbelt sebelum Timur menghentikan mobil.

"Tahan sebentar, ya. Kita lagi di dekat Taman Suropati. Jadi, berhenti di situ aja biar nyaman." Timur mengulurkan tangan untuk membuka laci dashboard di depan Bulan. "Itu kantong plastik kalau kamu udah nggak kuat nahan," ujarnya sambil menunjuk ke dalam laci.

"Makasih," sahut Bulan kepayahan.

Tak lama, mobil Timur berhenti di area parkir taman. Bulan langsung melepas seatbelt, dan membuka pintu mobil.

"Aku ke toilet dulu," pamitnya cepat.

Timur tak menjawab apa pun, karena Bulan sudah lebih dulu berlari. Bahkan perempuan itu meninggalkan tasnya di jok mobil. Dia hanya bisa menghela napas, lalu menutup laci dashboard, mengambil tas Bulan, dan turun dari mobil.

Sementara itu, Bulan harus menahan rasa tak enak di pangkal tenggorokannya akibat antrean di toilet. Tidak begitu panjang, tapi tetap cukup menyiksa dirinya yang butuh sekali ruangan kecil itu.

"Mbak butuh duluan?" Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya bertanya padanya.

"Iya, Bu," jawab Bulan.

"Sini, ambil tempat saya. Sebentar lagi orang yang di dalam keluar," ujar perempuan paruh baya tadi.

Bulan langsung melambaikan tangan. "Jangan, Bu. Nggak apa-apa saya nung …." Dia tak bisa melanjutkan ucapan, karena kembali mual dan harus menutupi mulut dengan telapak tangan.

Perempuan paruh baya itu tersenyum, lalu dia meminta maaf pada dua orang yang antre di belakangnya. Setelah itu, dia menarik Bulan ke posisinya berdiri.

"Lagi hamil muda, kan? Saya dulu juga begitu pas hamil anak pertama," ujarnya sambil mengusap lengan Bulan.

Mata Bulan melebar, tapi dia cepat-cepat menunduk dan menggumamkan terima kasih. Sementara perempuan itu pindah ke tempat dia berdiri sebelumnya.

Pintu toilet di depan Bulan terbuka tak lama kemudian. Dia langsung masuk, dan memuntahkan semua isi perutnya ke dalam WC. Begitu selesai, badannya jadi lemas, dan lambungnya serasa baru saja ditusuk ribuan jarum besi yang panas.

Namun, dia tak bisa berlama-lama. Ada orang yang harus menggunakan toilet ini juga di depan pintu sana. Maka dia menyeret paksa badanya untuk segera keluar dari bilik toilet.

"Sudah lumayan?" tanya perempuan paruh baya yang tadi memberinya antrean lebih awal.

Bulan sebisa mungkin menarik dua sudut bibirnya ke atas. "Iya, Bu. Sekali lagi terima kasih. Maaf juga saya serobot antreannya."

Perempuan yang lebih tinggi darinya itu menggeleng sambil terseyum, lalu melambai. "Sini!"

Bulan langsung mendekat, sementara satu orang yang berdiri di depan toilet sejak tadi memperhatikan interaksinya dengan sang penolong. Dia kemudian diminta menundukkan kepala, untuk kemudian merasakan hangat di tengkuk.

"Ibu oles minyak kayu putih, ya. Semoga membaik. Habis ini cari yang hangat-hangat biar perutnya enakan," ujar ibu itu. "Hamil anak pertama, kan? Memang begitu susahnya." Dia terkekeh.

Bulan hanya tersenyum kikuk. Dia kembali mengucap terima kasih, lalu berjalan keluar dari sana. Kepalanya mempertanyakan banyak hal, hingga ia tak sengaja bergumam, "Apa orang yang pernah hamil bisa tau kehamilan perempuan lainnya meski belum ada tanda fisik, ya?"

"Lan!"

Bulan tersentak. Ketika mendongak, dia melihat Timur berdiri sambil menyampirkan tas miliknya di bahu. Di tangan lelaki itu juga ada kantong plastik putih dan gelas plastik berisi air. Dari uapnya, Bulan bisa tahu kalau itu air hangat.

"Udah enakan?" tanya Timur sambil menyodorkan gelas di tangannya.

Bulan mengangguk dan menerima gelas itu dengan sedikit canggung. Dia khawatir Timur mendengar gumamannya tadi. Ya, meski tak terlihat tanda-tanda yang aneh dari ekspresi lelaki itu saat ini.

"Duduk, yuk! Mau di mana? Di dekat air mancur?" tanya Timur.

"Boleh," jawab Bulan. "Terima kasih, Mur."

Dia kemudian hendak mengambil tali tas di pundak Timur, tapi lelaki itu mencegah.

"Nggak usah. Aku bawain aja."

Keduanya kemudian duduk di kursi taman dekat air mancur. Di sekitar sana banyak anak-anak kecil yang berlarian mengelilingi kolam. Para orang tua juga bercengkrama di sekitarnya sambil menikmati camilan.

"Udah malam, tapi kok banyak anak kecil, ya?" komentar Bulan. Perut dan tenggorokannya sudah lebih baik setelah meneguk air hangat yang diberikan Timur. Mualnya juga berangsur hilang. Gemericik air dan tawa anak-anak kecil membuat perasaannya perlahan jadi tenang. Ah, atau itu sebenarnya efek dari keberadaan lelaki di sebelahnya?

"Besok tanggal merah kalau kamu lupa," sahut Timur. Dia kemudian mengeluarkan sebungkus biskuit kentang merek terkenal dari kantong plastik yang tadi dibawanya. "Nih, makan," katanya sambil meletakkan bungkus biskuit itu di pangkuan Bulan.

"Astaga, lupa beneran karena aku tetap masuk kerja," kekeh Bulan. Dia kemudian membuka bungkus biskuit, mengambil satu keping, lalu menyodorkannya kembali ke Timur. "Kamu makan juga. Pasti kamu belum makan, bukan? Maaf, bikin kamu harus repot-repot jemput tadi."

Timur mengambil bungkus biskuit dari Bulan, lalu ikut menarik sekeping. Dia kemudian menggeleng. "Kita sahabat, kan?" tanyanya, lalu memasukkan biskuit ke dalam mulut.

"Iya," jawab Bulan yang sebal pada dirinya sendiri karena merasa sedikit kecewa dengan jawaban Timur.

Dia kemudian mengalihkan pandangan ke sekeliling karena Timur tak lagi mengajaknya bicara, dan hanya sibuk mengunyah biskuit. Sepertinya lelaki itu benar-benar kelaparan karena tadi datang menjemputnya tepat saat jam makan malam.

Namun, kelopak matanya tiba-tiba melebar ketika melihat perempuan paruh baya yang tadi membantunya di toilet, kini sedang berjalan ke arahnya. Jarak mereka saat ini sekitar lima meter. Perempuan itu mendorong kursi roda yang diduduki seorang laki-laki tua yang rambutnya sudah sepenuhnya memutih. Di sampingnya ada dua anak remaja awal sedang memainkan gelembung sabun sambil tertawa-tawa.

"Lan," panggil Timur.

Bulan langsung mengalihkan pandangan ke Timur, tapi lelaki itu rupanya kini sedang menatap hal yang sama dengannya.

"Kalau kita tua nanti, aku harap kamu sama anak-anakmu mau jenguk aku di panti jompo," ujar Timur sambil mengulas senyum tipis. Matanya masih terpaku pada kekek di kursi roda itu.

"Kenapa tiba-tiba bilang begitu?" tanya Bulan.

"Karena aku nggak akan pernah mengalami hal yang seperti itu," sahut Timur sambil menunjuk objek pandangannya dengan dagu.

"Karena kamu nggak akan nikah dan punya anak seperti yang selalu kamu bilang?"

Timur mengangguk. Dia duduk tegak ketika orang yang dilihatnya makin dekat.

Sementara Bulan terdiam. Dia melirik Timur, memperhatikan garis rahang tegas milik lelaki itu, dan membayangkan kulitnya yang berubah keriput di masa senja mereka kelak.

"Kamu takut kesepian?" tanyanya.

Timur menoleh tanpa ekspresi apa pun yang bisa dibaca oleh Bulan. Namun, hal itulah yang menggilas hatinya hingga dadanya terasa panas.

"Benar? Tenang, aku bakal temenin kamu di panti jompo," ujar Bulan kemudian sambil tertawa pelan. Lebih tepatnya pura-pura tertawa.

"Kamu tidak akan berakhir di panti jompo. Kamu akan punya anak yang sangat menyayangimu dan mau merawatmu. Aku yakin itu." Timur kembali bicara setelah tadi sempat mengabaikan pertanyaan Bulan.

"Kamu juga punya, Mur," batin Bulan. "Kamu akan dirawatnya saat tua nanti, sehingga kamu tidak akan pernah kesepian."

Bulan memang menyembunyikan kehamilannya sekarang. Namun, dia bertekad akan memberi tahu anaknya mengenai segala hal tentang Timur saat dewasa nanti.

"Kenapa kamu lihat aku seperti itu?" tanya Timur.

"Eh, Mbak yang tadi?" sapa seseorang menginterupsi percakapan mereka.

Bulan dan Timur seketika menoleh, hingga Bulan tak sempat menjawab tanya Timur. Dia terkejut karena tidak sadar objek pandangan mereka tadi sudah berada di depan mata. Dan ingatan di toilet membuat keringat dingin mendesak permukaan kulitnya.

Ibu itu tahu.

"Ini suaminya, ya? Wah kelihatan serasi sekali. Pasti nanti anaknya ganteng dan cantik seperti kelian," ujar perempuan paruh baya itu.

Mendadak, jantung Bulan serasa dipukul oleh juara dunia material arts favorit Yasmin, hingga ia lupa cara bernapas. Dia memutar kepala ke samping, dan menemui ekspresi bertanya-tanya pada wajah Timur. Kedua alis lelaki itu terangkat, sedangkan dia kehilangan beribu kata dalam mulutnya.