"Kamu undang dia ke sini, Lan?" tanya Timur.
Bulan tak menjawab. Dia langsung berjalan cepat menghampiri Bima di depan gerbang rumahnya yang tertutup.
Gerimis mulai turun, hingga Bulan menjadikan tangannya sendiri sebagai penutup kepala.
"Ada apa, Bim? Kenapa ke sini nggak ngasih tahu?" tanya Bulan. Dia menatap Bima dengan mata menyipit.
"Maaf. Tadi tiba-tiba saja ingin ke sini," sahut Bima. "Pengen sering ketemu kamu sebelum pergi. Siapa tahu kamu berubah pikiran," lanjutnya sambil terkekeh.
Bulan menghela napas. Dia kemudian menatap ke sekitar, mencari mobil Bima yang sejak awal tak tertangkap matanya.
"Mobilmu mana?"
"Aku tinggal di ujung gang. Aku kan nggak tahu nomor rumahmu. Untung aja tadi kamu lagi di depan rumah," jawab Bima. Memang saat mengantar Bulan kemarin, perempuan itu memaksa agar diturunkan di depan gang saja, alih-alih langsung ke depan rumah.
"Lan!" teriak Seruni, hingga Bima dan Bulan langsung menoleh ke arah teras. "Temannya ajak masuk dulu. Hujan ini!"
Bulan langsung tersadar kalau sejak tadi dia dan Bima mengobrol di bawah gerimis. Dia kemudian cepat-cepat membuka gerbang dan mempersilakan lelaki itu untuk masuk. Kedunya lantas berlari menuju teras saat gerimis berubah jadi hujan deras dengan suara memekakkan telinga.
"Maaf, jadi basah begini," ujar Bulan sambil menatap Bima dengan tatapan bersalah. Dia tadi terlalu terkejut hingga tidak sadar situasi meski badannya sudah merespon adanya gerimis.
Bima menggeleng-gelengkan kepala untuk mengurangi air di rambutnya. "Nggak masalah, Lan. Aku yang salah datang tanpa pemberitahuan."
"Kalian masuk aja dulu. Ibu siapin teh hangat," ujar Seruni. "Lan, kamu ambilin handuk buat temanmu," tambahnya sebelum kemudian bergegas menuju dapur.
"Ayo!" ajak Bulan. Dia menuntun Bima untuk masuk ke ruang tamu rumahnya. Saat itu barulah dia sadar bahwa ada Timur yang menyaksikan semua kejadian tadi. Entah kenapa perasaannya jadi tidak nyaman. Dia menggaruk tengkuk yang tidak gatal sambil mempersilakan Bima duduk.
"Loh, ada Timur juga. Hai," sapa Bima ramah ketika menyadari keberadaan orang lain di ruang tamu. Dia langsung mengulurkan tangan untuk menyalami Timur yang sedang menatapnya tanpa ekspresi. "Masih ingat, kan?"
Timur membalas uluran tangan itu, masih tanpa senyum di wajah. "Tentu," sahutnya. "Ada urusan apa kalau boleh tahu?" tanyanya terang-terangan, karena Bulan tadi tampak terkejut dengan kedatangan Bima. Sudah bisa dia tebak lelaki itu datang tanpa undangan atau pemberitahuan.
Bima melirik Bulan yang membuang pandangan. Padahal perempuan itu tadi sudah nyaris membalikkan badan untuk masuk ke kamar.
"Main aja. Mau ketemu Bulan," jawabnya sambil tersenyum. "Ya, kan, Lan?" tanyanya sengaja agar mengembalikan Bulan pada situasi saat ini.
"Eh, em … iya," jawab Bulan akhirnya. Dia kemudian bergegas masuk ke kamar untuk mengambil handuk. Matanya bergerak cepat menelusuri isi lemari untuk mencari handuk. Rasanya tidak nyaman sekali membiarkan Bima berdua dengan Timur.
Maka tak lama kemudian dia kembali ke ruang tamu dengan dua handuk ukuran besar di tangan. Dilihatnya Bima sudah duduk di sofa sambil menyisir rambut dengan jari, sementara Timur tampak sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"Keringin biar nggak masuk angin," ujar Bulan sambil menyodorkan handuk pada Bima.
Senyum lagi-lagi muncul di wajah lelaki itu. Bulan sampai dibuat iri dengan betapa cerianya seorang Bima, dibanding dirinya yang lebih sering terlihat murung. Apalagi sejak terjadi perubahan dalam dirinya, rasa cemas dan takut seperti sedang berkejar-kejaran mencapai puncak tertinggi emosinya.
Seruni kemudian muncul tanpa membawa minuman apa pun. Bulan mengernyit, sebab ibunya tadi bilang mau bikin teh hangat sewaktu ke dapur.
"Ibu taruh tehnya di meja makan. Ini udah jam makan malam. Bagaimana kalau kita makan bersama?" tawar Seruni seperti sedang menjawab tanya dalam kepala Bulan. Dia kemudian mengalihkan matanya pada Bima yang sedang menggosok-gosokkan handuk ke kepala. "Ini teman baru Bulan namanya siapa?"
Bima langsung menghentikan gerak tangannya. Dia tadi sampai lupa memperkenalkan diri karena terlalu senang bertemu Bulan. "Bima, Tante. Maaf tadi lupa kenalan dulu sama Tante," sahutnya cepat diiringi badan yang langsung berdiri dari posisi duduk untuk menyalami ibu Bulan.
"Ah, Bima. Makan malam di sini, ya?" ajak Seruni. "Sama Timur juga. Biar rame. Biasanya Ibu cuma makan sama Bulan, jadinya sepi. Kalian tahu sendiri, kan, kalau Bulan cukup pendiam dan membosankan," godanya sambil melirik ke arah Bulan.
Bulan hanya tersenyum, tidak berusaha menyangkal ucapan sang ibu.
"Sepertinya Tante sama aku ada ikatan batin," ujar Bima tiba-tiba.
Seruni mengangkat kedua alisnya, sementara Timur mengernyit mendengar ucapan Bima itu.
"Soalnya aku memang lagi lapar banget," lanjut Bima.
Tawa Seruni langsung meramaikan ruang tamu yang tadi terasa canggung. "Ya, sudah. Ayo cepat ke meja makan!" ajaknya masih dengan tawa yang belum selesai. "Timur juga. Yuk!"
"Iya, Bu," jawab Timur sambil berdiri dari sofa. Dia berjalan lebih dulu di belakang Seruni.
Bulan hanya bisa menghela napas, lalu mengikuti Bima yang juga bergegas menuju ruang makan. Dilihatnya Timur sudah duduk di sebelah kiri ibu, sementara Bima masih berdiri di sebelah meja makan sambil menatapnya. Dia kemudian mengambil posisi di sebelah kanan sang ibu, untuk kemudian disusul Bima tepat di sebelahnya.
"Nah, Bima, ayo dimakan! Nggak usah sungkan-sungkan. Ambil lauk yang disuka," ujar Seruni setelah membagikan alat-alat makan.
"Nggak ada rasa sungkan untuk perut yang lapar, Bu," sahut Bima. "Eh, manggil Ibu juga nggak apa-apa, kan?"
Seruni menggeleng. "Tentu saja tidak apa-apa. Timur aja manggil gitu. Ya, kan?"
Timur hanya merespon pertanyaan Seruni dengan seulas senyum. Dia kemudian fokus mengisi piringnya sendiri sambil sesekali melirik Bulan yang tampak tidak nyaman. Perempuan itu juga hanya mengisi piringnya dengan sedikit makanan, padahal akhir-akhir ini dia tahu selera makan Bulan sedang bagus.
"Kenapa, Lan? Kok makannya dikit?" tanyanya, hingga membuat Bulan mengalihkan tatapan yang tadinya mengarah pada piring makan di depan perempuan itu.
"Nggak apa-apa. Mau ambil sedikit dulu," jawab Bulan.
Pertanyaan Timur tadi cukup membuat hati Seruni bergetar. Dia sore ini memang sengaja meminta tolong pada Timur perihal pipa yang bermasalah. Padahal seharusnya dia bisa saja memanggil tukang perbaikan yang bahkan tinggalnya hanya dua gang dari gang rumahnya. Hanya saja dia ingin sekali bertemu Timur, meski tahu tidak akan bisa memberi tahu lelaki itu soal kondisi Bulan tanpa izin dari sang putri.
"Kamu sering ke sini, Mur?" tanya Bima setelah mengisi piringnya. Perhatian dan sikap Timur membuatnya sedikit curiga bahwa lelaki itu punya perasaan pada Bulan.
"Em … tidak bisa dibilang sering, tapi tidak bisa dibilang jarang juga," sahut Timur. "Hari ini ke sini karena bantu Ibu benerin pipa."
"Oh, Bima sebelumnya sudah kenal sama Timur juga?" tanya Seruni penasaran.
Bima mengangguk. "Di hari yang sama aku ketemu Bulan, Bu," sahutnya. "Yasmin yang ngenalin."
"Oh, begitu," ujar Seruni. "Eh, tapi ada apa ke sini? Ada urusan penting sama Bulan?" tanyanya.
"Kangen ketemu Bulan, Bu," jawab Bima terang-terangan. Padahal pada pertemuan pertamanya dengan Bulan, dia sempat merasa sangat malu hingga berulang kali pipinya bersemu. "Aku nggak lama di Indonesia, Bu. Jadi sebelum itu puas-puasin ketemu Bulan."
"Kalian sudah sedekat itu, ya. Padahal baru bertemu tiga kali termasuk hari ini." Timur tiba-tiba angkat bicara, hingga Bulan yang sejak tadi menghindari tatapan lelaki itu, jadi menoleh.
"Eh, baru tiga kali ketemu?" tanya Seruni. Dia terkejut, sebab putrinya sebetulnya bukan orang yang mudah sekali akrab dengan orang lain, apalagi sampai dibiarkan datang ke rumah.
Bima nyengir. "Sebenarnya itu karena aku naksir Bulan."
Mata Seruni terbelalak. Dia menoleh cepat ke arah Bulan yang melongo setelah mendengar ujaran Bima.
Bulan sendiri langsung menganggap bahwa Bima benar-benar tak ingin melepas kesempatan apa pun yang ada di depannya. Meski untuk pengakuan itu, dia merasa Bima terlalu lepas kendali.
Sementara Timur langsung mengernyit. Baginya, ucapan Bima terlalu mengada-ngada. Memang Yasmin sempat bercerita kalau lelaki itu tertarik pada Bulan sejak lama setelah melihat fotonya. Akan tetapi, untuk mengatakan benar-benar suka padahal baru di pertemuan ketiga, sepertinya tidak mungkin.
"Hari Minggu kemarin aku sempat lamar Bulan, Bu." Bima kembali bicara, dan tentu membuat ketiga orang lainnya langsung berhenti dengan aktifitas masing-masing. Sendok tidak ada lagi yang bergerak, dan tatapan-tatapan mata masih menjurus ke arahnya.