"Liu Heng, kau akan pergi ke desa untuk ikut dalam seleksi untuk menjadi cultivator. Kau harus ikut!" ucap Kakeknya dengan tegas. Dia ingin cucu satu-satunya menjadi seorang cultivator. Itu adalah sesuatu kebanggaan bagi semua orang, tetapi bukan itu alasan utamanya.
"Tetapi kakek, aku tidak bisa berkultivasi. Kekek tahu sendiri kalau merdianku cacat. Aku tidak bisa mengelola energi qi yang berarti aku tidak akan bisa menjadi cultivator. Jangan memaksakan keadaan, aku ingin mengurus Kakek di sini saja," ungkap Liu Heng.
Liu Heng dan Kakeknya—Lin Jie—tinggal di hutan yang tidak jauh dari desa Kàojìn. Mereka hanya tinggal berdua saja tanpa ada orang lain. Liu Heng bukan cucuk kandung Lin Jie. Dia menemukan seorang wanita yang berlumuran darah datang ke gubuk kecilnya sambil menggendong bayi dan memberikan bayi itu kepadanya dan langsung pergi begitu saja.
Beberapa menit kemudian datang segerombolan prajurit kerajaan ke gubuknya juga. Mereka menanyakan tentang wanita yang membawa bayi. Tentu saja Lin Jie berbohong dengan menunjuk arah yang lain.
Setelah itu tidak ada kabar apa pun. Baik itu tentang wanita itu atau tentang prajurit kerajaan.
"Kau harus ikut seleksi itu. Kakek punya teman yang bisa membantumu. Dia berjanji akan memasukkanmu ke dalam sekte agar kau bisa belajar kultivasi. Kau harus menjadi cultivator bagaimanapun caranya."
"Apa yang mereka minta? Tidak mungkin mereka membantu kita tanpa imbalan apa pun. Tidak mungkin mereka dengan rendah hati membantu kita," ucap Lie Heng. Dia menatap kakeknya dengan tajam. Mencoba untuk membuat kakeknya mengaku, tetapi tidak. Kakeknya tidak akan menjawab.
"Pokoknya kau pergi saja."
"Apa yang membuat kakek sangat ingin aku menjadi cultivator? Padahal aku bisa menjadi sarjana. Aku yakin kemampuan berpikirku cukup memadai dan itu tidak terlalu berbahaya. Kakek sendiri tahu kalau jalan seorang cultivator itu dipenuhi dengan kekejaman dan pertarungan yang bisa saja saling membunuh satu sama lain," keluh Liu Heng.
Dia memegang tangan kakeknya dan menatap dalam ke mata Kakeknya agar kakeknya tidak lagi berbohong. Liu Heng sudah menanyakan pertanyaan itu berulang kali, tetapi kakeknya selalu menghindar. Dia tidak menjawab.
Kakeknya menghela napas.
"Sepertinya aku tidak bisa berbohong lagi padamu," ucap kakeknya dengan pasrah. Dia pun mengajak Liu Heng untuk duduk di kursi yang tidak jauh dari sana. Mereka sekarang duduk di bawah pohon besar yang rindang. "Kau bukanlah cucuku." Liu Heng sama sekali tidak terkejut. "Kenapa kau tidak kaget?" Malah kakeknya yang kaget.
"Bukankah hal itu sudah bisa ditebak," jawab Liu Heng. Kakeknya menyipitkan matanya. "Dari saja aku dan Kakek sudah berbeda. Aku bermarga Liu sedangkan Kakek bermarga Lin. Bukan hanya itu, Kakek juga tidak pernah membahas tentang kedua orang tuaku sama sekali. Hanya orang bodoh yang tidak bisa menebaknya."
Kakek Liu Heng terdiam. Dia tidak menyangka kalau ternyata Liu Heng sudah tahu tentang fakta itu. Lin Jie merasa kalau apa yang dia sembunyikan selama ini sia-sia. Kalau dia tahu kalau sebenarnya Liu Heng sudah tahu, maka dia sudah membeberkan semuanya sejak lama. Lin Jie tidak memberitahukan itu karena dia takut Liu Heng tidak siap dan menjadi sedih, tetapi ternyata tidak.
"Kau tunggu di sini!" pinta Kakeknya.
Liu Heng pun menunggu di luar sementara itu kakeknya masuk ke dalam gubuk kecil milik mereka. Meski, Lin Jiu bukan kakek kandungnya, tetapi bagi Liu Heng dia adalah tetaplah kakeknya dan orang yang paling dia cintai.
Tidak lama kemudian kakeknya keluar dengan membawa sebuah kain yang sangat indah. Kain itu berwarna merah dengan bagian pinggirnya berwarna emas. Kain itu di tengah-tengahnya bergambar seekor naga yang seolah sedang menatap orang yang ada di dekatnya. Lukisan itu terlihat sangat nyata dan terasa hidup.
"Ini adalah kain yang kau gunakan ketika ibumu memberikan kau padaku. Waktu itu dia terluka sangat parah. Dia langsung pergi setelah memberikan kau padaku. Dia sedang di kejar oleh lima orang prajurit kerajaan. Aku tidak tahu kenapa dia bisa seperti itu, tetapi kau berhak tahu kebenarannya. Kau harus menjadi cultivator dan pergi ke istana kerajaan untuk mencari kebenarannya. Kalau tidak ke sana pun tidak masalah, kau bisa mengumpulkan informasi di jalan atau di mana pun. Yang jelas kau harus pergi dari desa ini atau gubuk jelek ini," ungkap kakeknya. Liu Heng mengerti apa yang dimaksud kakeknya, tetapi untuk meninggal kakeknya itu adalah hal sulit untuk dilakukan. Mereka sudah bersama sangat lama.
"Aku tidak peduli dengan itu. Aku sudah punya Kakek, aku tidak bunuh orang lan."
Lin Jie menggeleng pelan, "Tidak bisa seperti itu. Bagaimanapun kau harus bertemu dengan orang tuamu. Aku yakin dia sedang menanti mu kembali. Aku rasa mereka masih hidup." Liu Heng terdiam. Di lubuk hatinya dia memang ingin tahu seperti apa kedua orang tuanya. Tidak ada anak yang tidak ingin mendapatkan kasih sayang orang tua kandungnya.
"Apa hubungannya dengan aku harus menjadi cultivator?"
"Entah kenapa aku yakin kalau jalan mencari keluargamu itu sangat berat dan berbahaya. Makanya kau harus menjadi cultivator. Kau harus menjadi sangat kuat hingga tidak ada yang bisa menghalangi jalanmu termasuk prajurit kerajaan yang mengejar ibumu. Aku ingin kau bisa berkumpul bersama lagi dengan keluarga aslimu," jawab Lin Jie. Dia tersenyum lembut ke arah Liu Heng. Kakeknya memang orang yang sangat baik dan lembut. Dia tidak pernah marah ataupun membenci siapa pun. Padahal banyak orang yang menghina dirinya, tetapi dia tetap bersabar dan menghadapi mereka dengan senyuman.
Liu Heng bahkan pernah marah dengan kakeknya. Dia hampir saja memukul orang yang membentak kakeknya, tetapi untung saja Lin Jie menghalangi Liu Heng. Itu kejadian yang sudah cukup lama.
Liu Heng memang tidak bisa berkultivasi, tetapi ilmu pedangnya sangat luar biasa. Dia tidak pernah di ajari oleh siapa pun. Dia hanya mendapat sedikit petunjuk dari kakeknya. Dia adalah anak yang paling ditakuti di desa. Anak seusia dirinya memang banyak yang belum bisa berkultivasi. Hanya ada beberapa yang sudah masuk ke tahap penempaan tulang, tetapi dengan ilmu berpedang milik Liu Heng. Itu bukan masalah.
"Aku tidak ingin pergi meninggalkan Kakek, tetapi kalau itu adalah keinginan Kakek, maka aku akan mengikutinya. Aku akan ikut seleksi itu dan menjadi kultivator dan menemukan orang tua ku. Setelah semuanya selesai, maka aku akan menjemput kakek dan membawa kakek ke tempat yang lebih layak." Liu Heng memegang tangan kakeknya dan menciumnya dengan lembut. Kakeknya tersenyum
"Kau adalah anak yang sangat baik dan sangat berbakti. Aku harap kau akan tetap seperti ini," ungkap kakeknya.