Untuk sesaat, Kirana hanya diam saja dan berusaha untuk berani mengunci tatapan mata kelam yang terlihat begitu mengerikan tersebut.
Waktu seakan berhenti, ruangan itu telah diubah menjadi sebuah ruangan private yang hanya ditempati oleh Kirana dan Angga tanpa ada siapapun yang bisa melihat dan mengetahui apa yang mereka lakukan di sana.
"Gadis tak sadar diri! Entah bagaimana aku bisa terpikat oleh seorang perempuan seperti dirimu di masa lalu!"
Kirana lantas memejamkan matanya tatkala mendengar sindiran dari Angga.
Tepat saat pria itu lantas memberi jarak diantara mereka kemudian pergi meninggalkan Kirana di ruangan itu seorang diri, Kirana hanya bisa menatap dalam diam punggung tegap yang kian menjauh dan hilang dari pandangannya itu.
"Ya, tak hanya dirimu, Kak. Aku juga bertanya-tanya kepada diriku mengapa aku bisa jatuh hati pada pria seberengsek dirimu!"
Tubuh Kirana lantas merosot ke lantai, dua buah model gaun yang berada di genggamannya lantas jatuh mengenai lantai yang dingin sedingin perasaan yang membekukan hati Kirana saat ini.
Kirana menenggelamkanku wajahnya diantara lekukan lututnya. Ia terisak, tak percaya jika Angga mulai kembali berusaha menghancurkan mentalnya lewat kata-kata sarkas yang keluar dari bibirnya.
"Aku ... Kenapa takdirku serumit ini? Kenapa semuanya seakan-akan tak ada yang mau berpihak padaku? Kenapa selalu ada saja hal yang berusaha merusak kebahagiaan yang bahkan belum sempat aku genggam dengan erat?"
Kirana yang sibuk meratapi nasibnya tak sadar bahwa seorang perempuan kini telah menatapnya dari kejauhan. Langkah kaki perempuan yang hendak masuk ke dalam ruangan itu lantas berhenti.
Perempuan itu membeku dan tak mengeluarkan sepatah kata apapun hingga akhirnya ia kembali berbalik badan dan meninggalkan Kirana seorang diri di sana.
"Itu karena kau terlahir dari rahim seorang perempuan yang telah merenggut kebahagiaan perempuan lainnya, Kirana," ujar perempuan itu dengan tatapan yang kian mendingin, mimik wajahnya pun berubah menjadi lebih sinis dari sebelumnya.
***
"Kirana sayang, apa kau lapar?"
Kirana yang tadinya menopang dagunya di sisi jendela mobil dengan pandangan menatap setiap inchi jalanan yang mereka lewati lantas dibuat mengalihkan pandangannya ke sumber suara.
"Tidak, Mom. Aku masih kenyang."
"Apa kau yakin?" Amira yang duduk di samping kursi kemudi yang tiada lain adalah samping Angga nampak menoleh ke belakang, melihat keadaan putrinya yang terlihat begitu tidak bersemangat. "Tapi kenapa wajahmu begitu lesu?"
Kirana rasanya ingin lenyap dari dunia saat itu juga. Namun, ia memilih untuk memaksakan senyumnya agar terlihat baik-baik saja di depan Amira--menyembunyikan semua perasaan berkecamuk yang membuat Kirana diam-diam merasa stres dan tertekan.
"Tidak, aku tidak lesu, Mom. Aku hanya bosan saja menikmati perjalanan yang panjang."
Senyum tipis terukir di wajah Amira. "Apa kau ingin berhenti di suatu tempat untuk merilekskan pikiranmu, Sayang?"
Kirana yang mendengar itu lantas membulatkan matanya sempurna. Apa yang dikatakan Amira tentu jauh dari apa yang ia harapkan. Kirana berharap bahwa mereka cepat sampai di rumah, bukannya singgah di suatu tempat yang akan memakan lebih banyak waktu lagi.
"Tidak, Mom! Aku tidak sedang ingin pergi kemana-mana!" terang Kirana cepat.
Amira hendak membuka suara, tapi suara dentingan ponselnya membuat perempuan itu mengurungkan niatnya.
Lahan apa sepanjang terdengar, membuat Kirana yakin bahwa Amira sepertinya tidak bisa pulang bersama mereka lagi kali ini.
"Sepertinya aku harus ke kantor lagi."
Bagaikan tersengat aliran listrik, Kirana dibuat tak bisa berkata-kata lagi setelah mendengar apa yang digumamkan oleh Amira.
"A-apa?!"
Amira menganggukkan kepalanya pelan kemudian menatap Kirana penuh harap. "Iya, ada sesuatu hal yang harus diselesaikan agar nantinya acara pernikahan Mommy dan calon Daddymu ini bisa berjalan lancar tanpa hambatan."
Angga yang sedari tadi diam dan fokus mengemudi berdehem pelan. Seakan kau maksud dari ucapan Amira, pria itu segera mengajukan diri.
"Aku akan mengantarmu, Sayang."
"Ah, tidak perlu!" Amira kembali menatap isi pesan yang sekarang terpampang jelas di layar ponselnya. "Sekretarisku akan menjemputku. Kalian tidak masalah bukan pulang berdua lagi tanpa diriku?"
Kirana dibuat mati kutu mendengar apa yang dikatakan oleh Amira, sementara Angga terlihat mencengkram erat setir mobilnya.
"Tidak! Aku akan mengantarmu! Setelah memastikan kau sampai di kantor dengan aman, barulah aku akan pulang dengan Kirana!" ujar Angga keras kepala yang membuat Amira gemas melihatnya.
"Angga Sayang ...." Amira terkekeh kecil. "Jangan begitu posesif, aku bukanlah anak kecil yang yang harus kau perhatikan dengan begitu rinci dan detail. Aku bisa menjaga diriku sendiri, aku pasti akan sampai di kantor dengan aman dan selamat."
Amira yang tadinya sempat menoleh pada Angga kini kembali menatap Kirana yang masih menatapnya dengan pandangan kosong.
"Seharusnya kau lebih memperhatikan putri kecilku ini. Umurnya mungkin saja sudah menginjak dewasa, tapi terkadang pemikirannya bisa saja membawanya ke jalan yang salah. Jadi, daripada memperhatikanku, lebih baik kau menjaga dan memastikan putriku baik-baik saja."
Kirana diam-diam mengepalkan kedua tangannya. Jika saja ia tak ingat dengan tata krama mungkin saja Kirana sudah berteriak dengan kencang dan mengatakan bahwa bukannya memastikan keadaannya baik-baik saja, Angga mungkin saja membuat Kirana terus berpikir untuk melakukan hal-hal yang akan mencelakai dirinya.
"Mom ...." Kirana mulai merengek seperti biasa. Iya benar-benar tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya jika sampai ia pulang berdua saja dengan Angga malam ini lagi.
Angkatlah kembali brengsek seperti dulu, pria itu berani menyakiti hati Kirana dengan kata-kata--walaupun Kirana tahu itu disengaja atau tidak. Kirana takut jika Angga malah semakin berani bertindak dan melakukan hal yang tidak-tidak pada Kirana selama perjalanan nanti.
Perasaan was-was dan cemas akan tetap ada pada diri Kirana.
"Sayang, sekali ini lagi saja, ya?" mohon Amira.
"Tapi--"
TIT! TIT!
Ucapan Kirana terhenti saat mendengar suara klakson mobil yang dibunyikan beberapa kali dari arah belakang.
"Ah, sepertinya itu adalah sekretarisku." Amira beralih menatap Angga. "Sayang, tolong turunkan aku di depan, ya!"
Tanpa berkata apapun lagi, Angga antas memelankan laju mobilnya hingga akhirnya mobil itu kini telah terparkir di pinggir jalan.
"Terima kasih, Sayang! Hati-hati di jalan" Amira terlihat begitu girang kemudian mengecup pipi Angga sebelum akhirnya turun dari mobil.
Kirana hanya bisa diam mengamati apa yang baru saja terjadi di depan matanya.
"Kirana, jangan membantah apapun yang dikatakan oleh Angga. Mommy percaya bahwa Angga pasti bisa menjagamu dengan baik, dia tidak mungkin membiarkan kau berada dalam masalah."
Mata Kirana lantas berkaca-kaca. Tidakkah Amira tahu bahwa Angga sendirilah yang akan mendatangkan masalah ke dalam hidup Kirana?
Belum sempat Kirana merespon apapun, perempuan paruh baya itu telah terlebih dahulu menutup pintu mobil, menyisakan suara debu man yang begitu keras bersamaan dengan setetes air mata yang jatuh dari mata indah milik Kirana.
Namun, beberapa saat kemudian Kirana lantas menghapus air matanya kasar saat tak sengaja melihat bahwa Angga sepertinya sedang mengintip apa yang yang ia lakukan lewat kaca spion kecil yang ada di depannya.
"Apa yang tengah kau lihat ke arahku, huh?!"