Chapter 10
Berlanjut.
Alisa baru saja selesai membaca komik kesukaannya, ketika hendak mengambil air minum saat itu ponselnya ada di tempat tidur berbunyi.
Alisa buru-buru melihat siapa yang menelponnya, ternyata itu adalah Ludra Fon Vamalia, Kakak laki-laki Alisa yang satu tahun terakhir tinggal di luar negeri.
Betapa senangnya Alisa ketika mendapat telpon dari Kakaknya, yang telah lama tidak berkomunikasi dengan dirinya.
"Kapan Kakak akan kembali? Kakak tahu bukan aku merindukan Kakak, lalu mengapa Kakak baru menelponku sekarang? Hem …."
Hal yang pertama dia tanyakan adalah 'Kapan Kakaknya pulang'. Alisa sampai menyentak wajahnya dan berdengus kesal. Entah kapan terakhir Ludra menghubungi dirinya? Alisa sering mengirim pesan singkat, tetapi tidak mendapat jawaban dari Ludra.
Jangan ditanya untuk masalah menelpon, hampir setiap hari Alisa menghubungi Ludra, tetap saja tidak mendapat respon dari Kakaknya itu.
Sampai Alisa mengirim pesan melalui email, dan hasilnya sama saja. Ludra memang tidak berniat mengetahui kabar Adiknya, setidaknya itu yang Alisa pikirkan.
"Ya, maafkan pria keren ini. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, sampai lupa bahwa ada seorang wanita cantik sedang menunggu kabar dariku," balas Ludra mengejek.
Ucapan Ludra membuat pipi Alisa memerah. Dia dengan kesal menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur, memandang langit-langit yang berhiaskan bintang-bintang, meski hanya sebatas hiasan dinding saja.
"Lalu, apa yang sedang Kakak lakukan sekarang?
Alisa mengangkat tangan kanannya, sesuatu sedang dirinya perhatikan yaitu, cincin yang melingkar di jari manisnya.
Benda berwarna emas, dengan satu permata berwarna jambrut itu telah melingkar di jari manisnya, sejak usianya lima tahun. Ludra sendiri yang sudah memberikan cincin tersebut, sebagai hadiah ulang tahunnya.
"Hem ….," Lars bergumam, sementara itu Alisa menunggu jawaban dari kakak satu-satunya itu.
"Menurutmu apa yang sedang aku lakukan?" tanya Ludra, yang terdengar sedikit menahan tawa.
Alisa mengerutkan keningnya, tubuhnya berbalik dan berada di posisi tengkurap. Tangannya meraih boneka pinguin kesukaannya, memeluk erat dan berkata.
"Aku bukan seorang peramal yang bisa mengetahui banyak hal? Kakak ingin mengujiku?"
"Aku tidak berkata kau seorang peramal, 'kan aku hanya bertanya, 'Menurutmu apa yang sedang aku lakukan?' itu saja, lalu kenapa jadi menguji?"
Alisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sungguh bukan itu yang dia maksud, tetapi Alisa ingin Kakaknya itu terus menghubungi dirinya apa pun yang terjadi.
Alisa berguling-guling di tempat tidurnya, memeluk boneka beruang yang ukurannya lebih besar dari tubuhnya itu. Lalu, terbangun dalam posisi duduk, sambil memandang dirinya dari balik cermin yang jaraknya beberapa meter itu.
Alisa masih menunggu perkataan Kakaknya dari sambungan telepon. Namun, tidak ada tanggapan apa-apa dari Ludra. Alisa memandang ponselnya, dan terlihat teleponnya masih tersambung dengan Ludra.
"Kakak."
Seketika Alisa memanggil namanya, "Iya." Ludra langsung menjawab dengan nada pelan. Alisa mengerutkan keningnya, "Kakak baik-baik saja bukan? Apa Kakak sedang sibuk? Kalau begitu aku akan menutup telponnya."
Demikian yang Alisa katakan, sambil memakai sendal jepit, dan berjalan mendekati cermin.
Sampai detik itu Ludra masih diam. Alisa kembali memeriksa ponselnya, tetapi sambungan telepon itu belum terputus. Sampai suara pria mengejutkan Alisa.
"Ternyata kau sedang bercermin. Pantas saja dari tadi kau diam saja," tutur seseorang dengan nada berat.
Suara itu datang dari arah belakang. Alisa terkejut, sampai tubuhnya terperanjat. Matanya membulat, dia tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutannya, ketika memandang sosok pria yang kini sudah berdiri, di bibir pintu kamarnya.
Alisa melemparkan ponselnya ke tempat tidur. Lalu, dia berlari pada sosok pria berparas tampan itu.
"Kakak," sambil berteriak memanggil pria itu dengan sebutan 'Kakak' yang tidak lain adalah, Ludra Fon Vamalia.
Tubuh mungilnya langsung melompat pada pria yang kini telah dipelukannya dengan erat. "Kenapa Kakak tidak memberitahuku kalau Kakak sudah ada di kota ini. Seandainya aku tahu, 'kan aku bisa menjemput Kakak," gerutu gadis itu, sambil memandang Ludra dengan lekat.
Pria yang akrab disapa Ludra itu, mengetuk dahi Alisa pelan. Namun, gadis itu menjerit kesakitan, seolah pukulannya itu sangat keras.
"Dasar manja," umpat Ludra, pada Alisa, adik perempuannya yang sangat dicintainya.
"Aku manja hanya saat bersama Kakak saja. Apa tidak boleh?"
Alisa mengembungkan pipinya, sambil melipat kedua tangan di dada. Seketika itu juga Ludra bisa memahami sikap adiknya tersebut.
Dia tahu Alisa saat ini tengah ngambek, atau ada hal yang Alisa inginkan. Namun, keinginan tersebut belum terpenuhi.
"Baiklah. Kau jangan marah seperti itu, akan terlihat jelek saat kau menunjukkan ekspresi seperti itu," tuturnya yang terdengar mengejek.
Alisa mengerutkan keningnya, alisnya pun ikut naik menunjukkan rasa kesalnya. Perlu beberapa menit bagi Ludra untuk bisa memahami sikap adiknya tersebut.
"Baik, baik. Kakak yang salah. Aku minta maaf."
Ada perasaan sedikit menyesal dari Ludra, sebab setibanya dia di kamar Alisa, sambutan adiknya malah seperti orang yang sama sekali tidak menginginkan dirinya.
"Lihatlah, Kakak membawakan ini untukmu, adikku Sayang."
Dari balik kantung jasnya, Ludra mengeluarkan sebuah kotak kecil yang sudah dibungkus oleh kertas kado, dengan pita berwarna merah muda.
Alisa melebarkan matanya. Rasa kesalnya seakan-akan menghilang ketika melihat kotak kecil tersebut. Namun, senyuman manis itu seolah seolah memudar kembali.
"Aku tidak suka hadiah itu. Hadiahnya terlalu kecil untukku. Lagi pula aku tidak menyukai hadiah," tuturnya sambil menunjukkan ekspresi wajah kesal, bibirnya sampai maju ke depan, dan wajahnya membusung, serta enggan melihat Ludra.
Pemuda itu memandang sejenak hadiah yang ada di tangannya, sebelum akhirnya dia memandang Alisa.
"Oh, jadi sekarang adik kecilku ini tidak lagi menyukai hadiah dari Kakaknya? Bagus kalau begitu. Memang lebih baik hadiah ini dibuang atau berikan kepada orang lain saja," ucap Ludra, sambil memberikan lirikan menggoda pada Alisa.
Nada bicaranya yang terkesan menyindir itu, membuat Alisa memberikan lirikan kasar. Namun, gadis itu kembali membuang pandangannya.
Ludra memasukkan kembali kotak kecil itu ke dalam jas-nya, "Jadi, apa yang harus aku lakukan, untuk menghibur adik kecilku yang manis ini."
Seakan mengerti, Ludra pun mendekatkan tubuhnya pada Alisa. Dia menarik adiknya itu, dan menunjukkan wajah penyesalan.
"Maafkan Kakak, karena diriku sudah membuatmu cemas. Sungguh, yang selama ini Kakak lakukan hanya untuk dirimu, Alisa."
Ludra menarik kedua telinganya. Wajahnya menunjukkan rasa penyesalan yang mendalam. Alisa tidak bisa berlama-lama diam, apa lagi sampai membuat Ludra menarik telinganya.
"Cukup. Kakak tidak bersalah. Aku yang salah, karena membuat kakak harus menarik telinga seperti itu."
Dia menarik tangan Ludra, lalu meletakkannya di kedua pipi. Ludra tersenyum seketika, saat Alisa kini tidak lagi marah. Namun, suasana hati gadis itu tetap tidak baik.
Terjadi keheningan di antara keduanya. Alisa tidak lagi mengeluarkan kata-katanya, terlihat matanya yang berkaca-kaca, membuat Ludra pun menjadi tidak tega.
"Kalau begitu, sebagai tanda maaf, bagaimana hari ini kita bersenang-senang. Kita pergi jalan-jalan, berbelanja dan makan. Bagaimana menurutmu? Kau tentunya setuju bukan?"
Mendengar hal tersebut suasana hati Alisa langsung berubah, rasa kesalnya tidak lagi bersarang. Kini hatinya dipenuhi oleh bunga-bunga.
Hal yang pertama dia lakukan adalah memeluk kakaknya, "Tentu aku setuju. Aku sangat setuju. Terima kasih, Kakak."
Tidak ada hal yang lebih menyenangkan selain menghabiskan waktu bersama dengan Kakaknya. Alisa tidak menginginkan hadiah atau barang-barang mewah, yang dirinya mau hanyalah kebersamaannya dengan Kakak satu-satunya itu.
Ludra mengelus bahu Alisa, sambil mengeluarkan tawa penuh makna. Selang beberapa saat, Alisa melepaskan pelukannya, buru-buru pergi untuk mempersiapkan diri.
"Kalau begitu, aku akan bersiap-siap juga."
Hal sama dilakukan Ludra. Dia meninggalkan kamar Alisa, dan menuju kamarnya, yang terletak tidak jauh dari sana.
Ludra baru saja mendaratkan kakinya di negara tersebut, setelah satu tahun lebih dia tinggal di luar negeri.
Dirinya menetap di luar negeri, bukan untuk bersekolah melainkan mengurus bisnis keluarganya. Kendati usianya masih delapan belas tahun, nyatanya Ludra sudah mahir dan pandai dalam hal berbisnis, yang membuatnya menjadi Jenuis dunia bisnis.