chapter 12.
Hari ini menjadi moment yang tidak akan Ludra lupakan sampai kapanpun juga. Bukan tanpa sebab, selama tinggal di luar negeri, dia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti yang Alisa tunjukkan.
Ludra biasa hidup sendiri, dan semua kebutuhannya telj dipenuhi oleh para pelayan di sana. Namun, hari ini dunia Ludra seperti terbalik. Bagaimana tidak, selama berbelanja, Alisa membeli banyak barang dan alhasil, semua barang tersebut Ludra yang membawanya.
Alisa memperlakukan Ludra, layaknya Pengawal atau Bodyguard. Barang-barang yang telah dipesannya, maka langsung dia lempar pada Ludra, sampai akhirnya wajah Ludra tidak terlihat lagi, itu dikarenakan barang-barang yang dibeli Alisa begitu banyak.
"Ini yang terakhir!" seru Alisa, sambil melempar baju tersebut pada Ludra, yang mulai kehilangan kendali itu.
"Kau ingin belanja atau menyiksaku?" gerutu Ludra, yang meletakkan semua baju yang telah dipilih Alisa, di atas meja kasir.
Keduanya telah berdiri di depan meja kasir. Alisa melengkungkan bibirnya, membuat senyuman yang begitu lebar. Sedangkan Ludra, berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah akibat, membawa semua barang-barang tadi.
"Kakak itu 'kan, pria. Sedangkan aku ini wania. Apa pantas seorang wanita membawa semua barang itu? Tentu tidak bukan? Jadi, Kakak-lah yang harus membawa semua barang-barang itu," tunjuk Alisa tanpa adanya rasa bersalah.
Tidak terhitung berapa pasang baju yang dibelinya. Lebih dari sepuluh pasang, mungkin? Tidak, sepertinya lebih dari sepuluh, lihat saja tumpukan baju yang ada di meja kasir. Begitu tinggi, sampai penjaga kasir pun tidak terlihat.
Ludra sampai mengerutkan keningnya, tidak percaya dengan yang dilihatnya sekarang. "Apa kau ingin membeli baju untuk persediaan satu tahun?" gerutu Ludra, sambil menggelengkan kepalanya.
Pelayan yang berjaga pun sama terkejutnya. Sekitar ada tiga yang berjaga di sana, semuanya sama-sama terkejut, bahkan belum pernah di antara mereka yang melihat pembeli, yang membeli baju sebanyak yang Alisa lakukan.
Tentu membuat ketiga pelayan itu, akhirnya melakukan penghitungan bersama-sama. Sementara itu, Alisa tengah menunjukkan senyuman nakal pada Ludra, yang tampak kesal dan berusaha menahan amarahnya.
"Ada apa dengan tatapanmu? Mengapa kau melihatku seperti itu? Apa ada yang aneh dariku?"
Ludra melihat tubuhnya, memperhatikan setiap inci pakaian serta gerakan mata Alisa, yang jelas mengarah padanya dan terutama, dengan senyuman yang sangat menakutkan itu. Entah apa yang ada dipikirannya tersebut? Ludra tidak bisa membaca apa yang sedang adiknya rencanakan itu.
"Apa kau sedang ...." Ludra menjeda kata-katanya. Buru-buru dia langsung menutupi bagian bawahnya dengan kedua tangan.
Senyuman Alisa yang penuh misteri itu, diartikan sebagai senyuman yang disertai dengan pikiran nakal, tanda kutip sedikit mesum, yang akhirnya membuat Ludra mengambil kesimpulan tersebut.
Alisa terdiam sejenak, sebelum akhirnya dia tertawa dengan lantang. "Ada-ada saja Kakak ini. Aku bukan wanita yang seperti itu. Tentu, aku tidak berpikir seperti yang kakak bayangkan."
Alisa mendekatkan tubuhnya sedekat mungkin dengan Ludra. Pandangan mereka saling bertemu. Jika dilihat seksama, keduanya lebih pantas disebut seperti sepasang kekasih, bukan sebagai kakak beradik, sangat tidak cocok.
Tatapan yang Alisa tunjukkan, lebih mendominasi sebagai wanita yang memandang prianya dengan penuh makna. Numun, lain dengan Ludra, lebih terlihat seperti orang yang habis melihat hantu saja.
Bahkan dia memilih mundur beberapa langkah, tetapi Alisa semakin senang untuk mendekati kakaknya.
"Kau ini kenapa? Makhluk seperti apa, yang sudah merasukimu? Kau membuatku takut, Alisa!"
Ludra meninggikan suaranya, yang sontak membuat ketiga pelayan yang tengah sibuk menghitung jumlah pembelian itu, menghentikan aktivitas mereka.
Ludra sedikit melirik mereka, sebelum akhirnya dia kembali menguasai perasaannya.
"Kenapa kalian lihat-lihat? Sudah cepat, hitung semua yang tadi adikku pilih. Masalah pembayaran, tenang saja. Aku akan membayar semaunya, bahkan toko ini pun bisa aku beli. Paham!" bentak Ludra, yang berasil menguasai dirinya kembali.
Ketiga pelayan itu, buru-buru menghitung belanjaan Alisa. Mereka tidak lagi memandang Ludra. Mereka tahu, orang yang berani berkata demikian, bukanlah orang biasa. Jadi, sebaiknya mereka tidak mencari masalah dengan orang, seperti Ludra.
Melihat tingkah Ludra, membuat Alisa kembali tertawa. Ludra memicingkan matanya, "Dari tadi kau hanya bisa tertawa. Kau sengaja bukan, membuatku menjadi kesal seperti ini?"
Kita tidak sedikit pun menyembunyikan rasa kesalnaya. Wajah yang semula tampak tampan, ketika tersenyum seketika, berubah menjadi kesal, yang membuat senyuman itu tidak lagi terlihat.
"Ya, aku memang ingin membuat Kakak kesal, apa tidak boleh?"
Biarpun Ludra menunjukkan ekspresi galak, tetapi tidak membuat Alisa menjadi takut. Sebaliknya, dia semakin senang untuk menggoda kakaknya itu.
Kembali, Alisa mendekatkan tubuhnya pada Ludra, sontak Lundra kembali menjauh. Kerutan di wajahnya, membuat Ludra terlihat lebih tua beberapa tahun.
"Alisa!" teriaknya, ketika Alisa yang dengan nakal menyentuh bidang dadanya. "Jaga batasanmu, Alisa! Aku ini Kakakmu, apa kau ingin berbuat ...." Lundra menjeda kata-katanya. Bukan karena dia tidak tidak ingin melanjutkannya, tetapi mulutnya terlebih dahulu di tutup oleh Alisa.
"Suut, diam," bisik Alisa, yang memajukan bibirnya sambil, meletakkan jari telunjuk kanan di bibirnya tersenyum.
Alisa dengan sengaja, meletakkan jari telunjuknya pada bibir Ludra, yang tentu membuat Ludra diam seketika itu juga. Dia bahkan membulatkan matanya. Namun, ekpresi tersebut, sangat lucu di mata Alisa.
Menyadari perlakuan yang Alisa telah memancing perhatian banyak orang, buru-buru Ludra menyingkirkan tangan Alisa dari mulutnya.
"Kau sudah gila!" bentak Ludra, yang sudah tidak tahan lagi dengan sikap adiknya, yang benar-benar sudah tidak waras itu.
Setelah tangannya disingkirkan, Alisa tidak langsung bereaksi. Dia terlihat diam untuk waktu yang cukup lama, sebelum akhirnya dia tertawa kembali.
"Ternyata, seperti itu pria yang tidak pernah didekati oleh wanita!" seru Alisa, yang didengar oleh ketiga pelayan kasir tersebut.
Ketiganya terlihat sudah menyelesaikan pekerjaan mereka. Di atas meja kasir, sudah tidak terlihat pakaian yang sebelumnya menumpuk seperti gunung itu.
"Apa maksudmu?"
Ludra terdiam, otaknya dipacu untuk berpikir banyak hal. Tindakan yang Alisa perbuat juga, membuat detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
"Ya, maksudku itu, Kakak adalah pria yang payah dan bodoh."
Alisa mulai mengeluarkan dompetnya. Dia menarik salah satu kartu kredit, dan memberikannya pada pelayan yang sedari tadi telah menunggu dirina, untuk membayar semua belanjaannya.
Ludra tertegun, ucapan Alisa mebuatnya, membayangkan banyak hal. Alisa telah membayar semua belanjaannya. Kartu kredit itu, dikembalikan padanya.
Alisa melirik Ludra, yang masih saja mematung. Tidak ada ekpresi darinya. Alisa menggelengkan kepalanya, "Dia memang tidak berubah," gumam Alisa, sambil memasukkan kembali kartu kredit ke dompetnya.
"Hei, pengawal! Cepat bawa barang-barang ini ke mobil!" perintah Alisa, tanpa ragu. Dia menjentikkan jarinya beberapa kali, di depan Ludra, yang akhirnya membuat Ludra tersadar dari lamunannya.
"Kau melamun Kak? Apa yang sedang kau pikirkan? Apakah itu seorang wanita?" tebak Alisa, yang sedikit menggoda itu.
"Tunggu dulu, kau itu tidak memiliki Istri. Jangankan Istri, pacar pun kau tidak punya," ejek Alisa, dengan suara yang cukup besar.
Tentu dia sengaja meninggikan suaranya, agar kata-katanya itu didengar oleh orang-orang di sana, terutama para penjaga kasir yang sejak tadi, memang tertarik dengan pesona Ludra.
Mereka yang berdiri di balik meja kasir itu, terlihat senyum-senyum sendiri. Tidak ada dari mereka yang menyembunyikan rasa bahagia ketika mendengar, kalau Ludra ternyata masih sendi, belum memiliki kekasih apa lagi istri.