Chapter 15.
"Maafkan Ibu, Sayang. Ibu lupa untuk menyisakan makanan untuk dirimu," sesal Fanny, sambil mengelus pipi Lars.
Lars pun tersenyum hangat, "Ibu tidak perlu meminta maaf. Memang sudah seharusnya aku berlajar untuk lebih mandiri lagi ...."
Lars mengerti bahwa sesungguhnya dirinya memang sudah harus mandiri, tidak sepatutnya dia terus-menerus bergantung pada orang tuanya.
Fanny mengangguk pelan sambil mengusap pucuk rambut putranya itu, "Putrku ini memang sudah besar, sudah bisa berpikir dewasa. Ibu sangat bangga padamu, Sayang."
Fanny melirik ke bahan-bahan makanan yang Lars letakkan di meja, "Bagaimana kalau kita masak bersama-sama, pasti hasilnya akan lebih baik lagi?"
Lars mengangguk penuh antusias, memasak sendiri saja sudah menjadi pengalaman pertama bagi dirinya dan sekarang, dia akan memasak bersama dengan ibunya tentu Lars tidak akan menolaknya lagi.
Tanpa berlama-lama lagi, Lars segera menarik tangan Fanny serta membawa semua bahan makanan tersebut. Fanny pun sampai tersentak karena Lars begitu bersemangat dari biasanya.
Namun, sebelum Fanny mulai memasak, dia terlebih dahulu membasuh wajahnya dengan air, membilas sampai bersih masker wajah yang digunakannya.
Setelah semuanya bersih, barulah Fanny memasuki dapur. Di sana sudah ada Lars yang telah memakai celemek dan mulai membersihkan kulit kentang.
Lars tampak sangat serius saat salah satu tangannya menggenggam pisau dan perlahan-lahan dia mulai membersihkan kulit kentang satu persatu.
Fanny pun tersenyum lembut, hatinya begitu damai ketika melihat Lars yang bahagia, penuh dengan senyuman.
"Apa perlu Ibu membantu?"
"Tidak udah Ibu, biarkan aku yang membersihkan kentang-kentang ini dan Ibu sebaiknya mengerjakan yang lain saja," balas Lars dengan senyuman khasnya.
Fanny yang sudah siap dengan pisau di tangan kanannya, lalu tangan lainnya hendak mengambil satu buah kentang untuk dibersihkan kulitnya. Namun, Lars melarangnya dan meminta agar dirinya mengerjakan hal lain saja.
Fanny pun mengangguk, dia tidak akan membantah perintah Lars dan meletakkan pisau tersebut di meja. Selanjutnya, Fanny mengambil satu bungkus pasta yang berada di meja itu juga.
"Baiklah, Ibu akan memasak ini terlebih dahulu, baru setelah itu sayurannya, Sayang."
Lars pun setuju dan Fanny segera mengayunkan kakinya menuju dapur dan mulai memasak di sana. Sebelum itu, Fanny terlebih dulu memanaskan air untuk merebus pasta tersebut, lalu selama menunggu pastanya mengembang, Fanny pun mulai menumis bumbunya.
Merebus pasta hanya memerlukan waktu lima menit saja, selanjutnya Fanny mengangkat pasta tersebut dan menyisihkannya terlebih dahulu, baru setelah itu Fanny memasukkan pasta tersebut ke dalam bumbu yang sudah siap.
Ketika Fanny sedang mengaduk-aduk pastanya, tidak lama kemudian Lars datang dengan sayuran yang sudah berhasil dia bersihkan. Lars terlebih dahulu mencucinya dengan air yang mengalir, dirasa sudah bersih baru setelahnya dia memberikan sayuran tersebut pada Fanny.
Senyuman menghias di wajah, wanita yang terlihat awet muda itu. Lars sangat senang ketika hidungnya mulai mencium aroma dari masakan yang dibuat oleh tangan wanita spesialnya itu.
"Ibu, aku sudah sangat lapar. Ini sungguh menggugah selera makanku, Bu. Ibu benar-benar koki yang luar biasa, bahkan makanan di restoran pun kalah lezat dengan makanan yang Ibu buat," puji Lars yang terdengar modus.
Fanny melepaskan satu tangannya dari pegangan wajan, dia menepuk bahu Lars cukup keras. "Kau ini, selalu saja pintar membuat Ibu menjadi malu. Masakan Ibu tidak seenak yang kau katakan, Sayang. Aku hanya membuat makanan biasa saja, berbeda dengan yang ada di restoran. Di sana makanannya dibuat oleh Chef handal. Paham."
Lars pun tidak ingin memahaminya. Baginya, makanan yang dibuat dari tangan ibunya-lah yang paling lezat dan tidak akan ada yang dapat menandinginya.
Fanny pun menggelengkan kepalanya, menatap pemilik manik kesayangannya, sebelum akhirnya kembali fokus untuk menyelesaikan masakannya.
Aroma bumbu yang kuat, bercampur dengan sayuran dan pasta mengisi ruangan , Lars pun semakin tidak sabar ingin cepat-cepat mencicipi makanan tersebut. Biarpun hanya sebatas pasta, tetapi Lars sudah tidak sabar ingin segera membasahi lidahnya dengan makanan buatan dari wanita yang menjadi cinta pertamanya itu.
Namun, sebelum pasta itu matang. Fanny, meminta agar Lars mencicipinya terlebih dahulu. Dia mengambil satu sendok pasta beserta bumbu dan sayurannya, agar Lars bisa merasakan masakannya tersebut.
"Bagaimana, apakah masih ada yang kurang? Bagaimana rasanya, apa sudah sesuai? Garamnya bagaimana, apa masih kurang atau sudah sesuai? Apa perlu Ibu menambah garam, gula atau penyedap rasa?"
Fanny pun ingin tahu bagaimana hasil dari masakannya, maka dari itu dia meminta pendapat Lars terlebih dahulu. Biarpun dia kerap kali memasak di dapur, tetapi Fanny merasa tidak percaya diri, jika masakannya tidak dicoba terlebih dahulu.
Lars pun memasukkan semua pasta yang ada di sendok ke dalam mulutnya. Perlahan-lahan dia mulai mengunyahnya, biarpun masih terasa panah di dalam mulut, tetapi Lars dapat merasakan kelezatan dari makanannya itu. Seketika lidah Lars dibuat bergoyang dan tidak berhenti untuk terus mengunyah.
Rasa pastanya tidak terlalu pedas dan juga tidak terlalu manis, rasanya begitu seusia dengan lidahnya.
"Sudah Ibu, ini sudah sangat lezat. Wow, bahkan aku belum pernah merasakan pasta seenak ini," puji Lars tanpa dibuat-buat.
Fanny segera mencubit pinggang putranya itu. Lars pun terperanjat, "Ibu ..." Dia menggerutu dan merasa sikap ibunya sungguh lucu.
"Sudahlah, jangan kau menggoda Ibu lagi. Cepat, ambilkan piring di sana dan letakkan di meja!" perintahnya, sambil mematikan kompor dan segera mengangkat wajan yang berisikan pasta tersebut.
Lars pun buru-buru mengambil satu piring yang ukurannya cukup besar. Lalu, dia meletakkannya di meja sesuai yang ibunya perintahkan.
Tidak lama kemudian, Fanny pun menuangkan pasta yang berisikan sayur-mayur ke atas piring. Lars pun berkali-kali menelan ludahnya karena sudah tidak sabar untuk segera mencicip makanan tersebut.
Bukan hanya dari aromanya saja yang menggugah selera, tetapi dari tampilan serta warna dari bumbu yang semakin menambah keinginan Lars untuk menghabiskan makanan tersebut.
Tanpa berlama-lama lagi, Lars segera duduk. Dia sudah membawa perlengkapan alat makan serta satu piring lainnya.
"Au, panas ...," pekik Lars yang tidak berhasil mengambil pasta menggunakkan tangannya.
Dia memang sudah membawa sendok serta garpu, tetapi karena terlalu bersemangat Lars pun mencoba mengambil selembar pasta dengan tangannya, alhasil jarinya itu merasa kepanasan.
"Pelan-pelan, Sayang. Kamu ini seperti anak kecil saja." Fanny pun menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku putranya tersebut.
Lars pun tersenyum canggung, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Fanny, pun segera mengambil pasta tersebut dengan memakai sendok yang sebelumnya dibawa oleh Lars dan meletakkannya di piring pemuda itu.
"Terima kasih, Bu."
"Sama-sama, Sayang."
Fanny menelus pucuk kepala Lars terlebih dahulu, sebelum akhirnya dia melangkah pergi sambil membawa wajan yang sudah kosong itu.
"Ibu ingin kemana? Ayo, kita makan bersama!" ajak Lars, sambil memandang ibunya yang berada di belakangnya.
"Kau makan saja dulu, aku akan segera kembali setelah menaruh ini," balas Fanny, menunjukkan wajan yang digenggamnya.
Lars pun memahami maksud dari ibunya, dia mengangguk pelan, "Baiklah, tapi cepatlah atau semua pasta ini akan aku habiskan."
Fanny pun mengulas senyuman, tidak lama kemudian di berjalan menuju dapur dan berniat untuk mencuci wajahnya terlebih dahulu. Ketika, sudah berada di wastafel, Fanny pun terdiam, merenung serta meratap penuh dengan dilema.
Seyumannya perlahan mulai memudar, berganti ekpresi ketakutan beserta kecemasan. Air pun mengalir dari wastafel, tetapi tidak ada hal yang Fanny lakukan di sana. Dia membiarkan air tersebut membasahi wajan serta tangannya.
Raganya memang berada di sana, tetapi pikirannya seperti dibawa pergi ke suatu tempat. Tempat yang mengingatkannya akan masa lalu yang begitu mengerikan untuk kembali diingat.