Chapter 18.
"Akhirnya yang aku nantikan datang juga," racau Alisa, beberapa kali dia terlihat menjilat bibirnya yang mulai mengeluarkan air liurnya sendiri.
Lars pun memandang jijik adiknya sendiri, merasa Alisa seperti seseorang yang tidak pernah diberikan makan. Alisa pun mengembungkan pipinya, ketika Ludra bergumam demikian setidaknya itu yang Alisa dengar samar-samar.
"Kakak ini, siapa suruh yang memasak nasi goreng selama itu? Pembantu saja hanya perlu lima belas menit untuk memasak nasi goreng, sedangkan Kakak …" Alisa mengelah napas panjang, "Lebih tiga puluh menit bagi Kakak untuk membuat satu piring nasi goreng saja, ish … Ish …. Kalau begitu Kakak sama saja seperti sibut."
Alisa menggelengkan kepalanya, sambil melipat kedua tangan di dada. Ludra pun tidak terima dijuluki sebagai siput sedangkan dirinya sudah capek-capek membuat nasi goreng yang sangat spesial hanya untuk Alisa.
Namun, tanggapan dari Alisa membuat Ludra ingin mengutuk dirinya sendiri, "Dasar tidak tahu terima kasih. Sudah untung aku mau membuatkannya, tetapi malah aku yang disebut lambat," gumamnya, setelah itu berbalik badan dan berniat untuk kembali ke dapur.
Sebelum Ludra bisa pergi, terlebih dahulu Alisa meraih pergelangan tangan kakaknya itu. Ludra menahan dirinya untuk tidak berbalik badan, setidaknya dia harus tetap menjaga harga dirinya di depan Alisa.
Mendapati Ludra yang tidak mau membalikan badan, membuat Alisa tidak kehilangan akal. Alisa bukan gadis bodoh yang akan menyerah begitu saja untuk bisa mendapatkan apa pun yang dirinya inginkan.
"Baiklah, aku mengaku salah. Aku memang bukan adik yang baik bagimu. Maafkan kata-kataku tadi. Aku menarik semua yang perkataanku tadi, tetapi kakak harus memaafkan diriku," bujuk Alisa, sambil memasang wajah memelas dan matanya juga memancarkan cahaya penyesalan.
Ludra yang semula tidak ingin berbalik badan dan mempertahankan harga dirinya itu, akhirnya melunak juga. Bagaimana bisa dia mengacuhkan Alisa seperti itu? Ludra tidak akan bisa berlama-lama memendam dendam untuk Alisa.
Ludra pun akhirnya menjatuhkan pandangannya pada Alisa, dia mengelah napas kasar yang tidak lama kemuda dirinya mengulas senyuman penuh makna.
Alisa pun mengartikan senyuman itu sebagai keterpaksaan, tetapi dia berpura-pura tidak menyadarinya dan sebaliknya memeluk Ludra. Semenjak kepulangan Ludra, selama itu juga Alisa kerap kali membuat Ludra kesal serta marah.
Alisa dengan Ludra, bagaikan anjing dengan kucing yang tidak pernah akur, tetapi mereka juga bagaikan baju dengan celana yang akan selalu saling melengkapi.
"Maafkan aku Kakak karena sudah membuat dirimu menjadi kesal," ucap Alisa, terdengar tulus.
Ludra pun mengelus rambut adik perempuannya itu dengan lembut, "Tidak masalah adikku. Kau itu tidak pernah salah. Kakak yang seharusnya minta maaf karena sudah membuatmu menunggu begitu lama."
Setelah mendengar pengakuan dari Ludra, Alisa buru-buru melepaskan pelukannya dan seketika itu juga Ludra sadar, kalau dia sudah terjebak dalam kejahilan Alisa untuk yang kesekian kalinya lagi.
"Aku sudah mendengarnya sendiri kakak, kalau aku ini tidak pernah salah. Jadi, aku tidak perlu menarik kata-kataku lagi. Dengan begitu, Kakak ini benar-benar lambat seperti siput … Hahaha."
Alisa kembali meledek Ludra dengan sebutan 'Siput' dan dia juga tertawa sangat puas. Ludra pun hanya bisa mengelah napas, menguatkan hatinya agar tidak terpancing emosi hanya karena hal kecil saja.
Alisa masih tertawa, bahkan dia sangat bahagia, merasa selalu menang. Tanpa merasa bersalah, Alisa pun duduk dan mulai memakan nasi goreng buatan kakaknya itu.
Ludra pun akhirnya memilih untuk pergi saja. Namun, sebelum itu Ludra lebih dulu mengusap pucuk rambut Alisa, baru setelah itu dia mengayunkan kakinya dan pergi menuju dapur. Biarpun mendapatkan ejekan dari Alisa, tetapi sesungguhnya dia tidak merasa sakit hati, apa lagi menaruh dendam pada adik perempuannya itu.
Alisa pun tersenyum dan merasa bahagia di dalam hatinya karena paling beruntung memiliki sosok seperti Ludra di dalam kehidupannya. Bukan hanya berperan sebagai Kakak saja, tetapi Ludra sudah seperti teman, sahabat yang bisa Alisa jadikan sebagai tempat bercerita.
****
Beberapa hari telah berlalu. Ludra pun akhirnya memutuskan untuk kembali bersekolah bersama dengan Alisa. Sambutan hangat pun Alisa berikan pada kakaknya itu karena sudah sejak lama dirinya ingin, Ludra kembali ke sekolah.
Hari ini, Alisa tidak henti-hentinya mengulas senyuman, dia berdandan begitu cantik. Tidak seperti biasanya, Alisa menghabiskan waktu yang cukup lama hanya untuk bercermin saja.
"Hei, lihat! Ini sudah jam berapa? Berapa lama lagi kau akan terus berdiri di depan cermin?" gerutu Ludra, tanpa Alisa sadari sudah berada di dalam kamarnya.
Alisa berbalik badan, "Sejak kapan Kakak ada di sana?"
Ludra pun menghentakkan kakinya mendekati Alisa yang tampak kebingungan. "Aku sudah berdiri sejak tiga puluh menit yang lalu, di saat kau yang terus menerus mengoceh tidak jelas di depan cermin."
Alisa menutup mulutnya dengan kedua tangan, "Jadi … Kakak …"
Seketika pipi Alisa pun memerah dan tertangkap oleh netra Ludra. "Kakak apa?" Dia menyentuh kening Alisa dengan jari telunjuknya dan menekannya sampai kepala Alisa bergerak ke belakang.
"Aduh … Sakit," gerutu Alisa, sambil menyentuh keningnya yang tadi ditekan cukup keras tersebut.
Ludra yang semula membelakangi Alisa, segera menatap manik adik perempuannya itu. Entah apa yang perlu Alisa persiapkan lagi? Ludes memandang Alisa dari atas sampai bawah dan merasa kalau adiknya itu sudah sangat siap.
"Apa yang Kakak lihat?" celetuk Alisa, "Jangan coba berpikiran yang aneh, Kak. Aku ini adikmu dan bukan istrimu," tambahnya, sambil menutupi dada dengan kedua tangan.
Alisa berlagak seolah-olah Ludra sedang melihat tubuhnya dan sedang memikirkan sesuatu yang tidak baik, hal-hal yang berbau seksual.
Melihat sikap Alisa yang demikian, rasanya Ludra ingin tertawa. "Aku tidak sebodoh itu. Lagi pula, kau bukanlah wanita idamanku. Jadi sudah tentu, dirimu ini tidak akan membuatku bernafsu untuk melakukan hal-hal seperti itu."
Ludra pun tertawa penuh kemenangan, dia meninggal kalimat yang sangat membekas di benak Alisa. Gadis itu merasa malu, pipinya seketika memerah, rasanya Alisa ingin menggali sebuah lubang besar dan bersembunyi di dalamnya.
Ludra pun sudah berdiri di dekat pintu, "Hei, jangan melamun!" bentaknya yang membuat Alisa tersadar dari lamunan. "Cepat sedikit atau kita akan terlambat nanti!"
Ludra meninggalkan kamar Alisa, "Aku akan menunggumu di bawah!" Dia berteriak dari luar kamar.
Alisa pun langsung merasa kesal, dia mengacak-acak rambutnya yang semula sudah ditatanya itu.
"Awas kau, Kak. Aku akan membalasmu nanti!" geram Alisa tampak sedang mengepalkan kedua tangannya dan merasa sangat marah, sekaligus tidak terima dengan kalimat kakaknya itu.
Setelah mendapatkan kembali kesadarannya, Alisa bergegas meraih tas yang ada di atas tempat tidur. Sebelum pergi, Alisa terlebih dahulu merapikan rambutnya yang sempat dirinya acak-acakan.
Ludra sudah menunggu di dalam mobil sambil bersenandung mengikuti lagu yang diputarnya itu. Lima menit kemudian, akhirnya Alisa keluar dari rumah dengan ekpresi wajah yang masih kesal. Ludra langsung bisa menebak, kalau kata-katanya tadi sudah sangat melukai hati Alisa.
Namun, ketika Alisa memasuki mobil dan menutup pintunya dengan kasar, tidak sedikitpun ada niatan dari Ludra untuk meminta maaf dan sebaliknya, dia dengan sengaja memutar musik bernada tinggi dengan volume yang sangat keras, sehingga membuat Alisa semakin kesal dibuatnya.
Sementara itu, Alisa memilih untuk tidak mempedulikannya, dia mengeluarkan earphone dari dalam tas, lalu menggunakannya dengan ponsel pintarnya.
Alisa pun menutup telinganya dengan earphone tersebut dan memilih untuk melihat ke arah jendela sebelah kiri.
Ludra pun terkekeh geli, merasa sedikit bersalah karena sudah membuat Alisa menjadi kesal, tetapi dia juga senang karena sudah berhasil membuat adiknya itu marah dan Ludra sama sekali tidak menyesalinya.