SOPHIE
Duduk di lantai, punggung bersandar di dinding, tungkai berselonjor, berjuang untuk bernapas.
Léo sedang berbaring melintang darinya, benar-benar diam, kepalanya terkulai di pangkuannya. Dengan satu tangan ia mengusap rambut Léo, dengan tangan satunya ia mencoba untuk menghapus air matanya, tetapi gagal. Ia sedang menangis. Isakan demi isakan lama kelamaan jadi sebuah ratapan, ia mengeluarkan lolongan yang berasal dari dalam perutnya. Kepalanya berayun dengan lembut dari satu sisi ke sisi lainnya. Kadang penderitaannya sangat hebat sampai-sampai ia menghantamkan kepalanya ke dinding. Rasa sakit itu untuk sementara memberinya peluang untuk istirahat, tetapi tak lama kemudian ia roboh lagi. Sikap Léo sempurna, dia tidak bergerak. Ia menunduk, menatap Léo, memeluknya erat dan menangis. Tak seorang pun bisa membayangkan betapa dalam penderitaannya.
1
Pagi ini, seperti pagi yang lain, Sophie bangun dengan air mata yang mencoreng wajahnya dan gumpalan keras di tenggorokannya, walau ia tidak punya alasan tertentu untuk bersedih. Menangis merupakan kejadian sehari-hari dalam hidupnya: ia telah menangis setiap malam sejak ia jadi gila. Kalau bukan karena fakta pipinya lembap setiap pagi, mungkin ia mengira ia menghabiskan malam-malamnya dengan tidur yang nyenyak dan tenang. Namun, bangun dengan wajah bermandikan air mata dan tenggorokan yang tercekat merupakan fakta hidupnya. Sejak kapan? Sejak kecelakaan Vincent? Sejak kematiannya? Sejak kematian pertamanya, dahulu sekali?
Ia menopang dirinya sendiri menggunakan satu siku, menyeka matanya dengan ujung seprai, mencari-cari rokok, tetapi tidak bisa menemukannya, kemudian tiba-tiba ia sadar ia ada di mana. Semuanya membanjir masuk kembali, semua yang terjadi sejak kemarin sore, tadi malam .... Ia langsung sadar kalau ia harus pergi, tetapi ia masih terbaring di sana, menempel di ranjang, tidak mampu melakukan gerakan sekecil apa pun. Terkuras.
*
Ketika akhirnya ia bisa menyeret dirinya bangun dari ranjang dan kebetulan masuk ke ruang tamu, Madame Gervais sedang duduk di sofa, dengan tenang meringkuk di depan laptopnya.
"Apa semuanya baik-baik saja? Tidurmu nyenyak?"
"Semua baik-baik saja. Iya, terima kasih."
"Kau kelihatan agak pucat."
"Aku selalu seperti ini di pagi hari."
Madame Gervais menyimpan berkasnya dan menutup laptop.
"Léo masih tidur," katanya, berjalan menuju cantelan mantel. "Aku tidak berani melihat ke dalam. Aku takut kalau-kalau aku membangunkannya. Karena hari ini sekolah libur, menurutku sebaiknya biarkan saja dia tidur, supaya kau bisa istirahat sebentar ...."
Hari ini sekolah libur. Sophie samar-samar teringat sesuatu tentang hari INSET. Madame Gervais berdiri di pintu, ia telah memakai mantelnya.
"Aku pergi dahulu ...."
Ia tahu kalau ia tidak berani untuk mengatakan keputusannya. Sebenarnya, kalaupun ia berani, ia tidak punya cukup waktu. Madame Gervais sudah menutup pintu di belakangnya.
Malam ini ....
Sophie mendengar langkah kaki di tangga. Christine Gervais tidak pernah menggunakan lift.
*
Sunyi. Untuk pertama kalinya sejak ia bekerja di sini, ia menyalakan rokok di ruang tamu. Ia berjalan bolak-balik. Ia merasa seperti orang yang selamat dari bencana yang mengerikan, semuanya tampak sia-sia. Ia harus pergi. Ia merasa paniknya berkurang karena ia seorang diri, karena ia sudah bangun, karena ia sudah merokok. Namun, ia tahu kalau, demi Léo, ia harus siap-siap pergi. Demi memberi dirinya sendiri waktu untuk menenangkan pikiran, ia mengeluyur ke dapur dan menyalakan pemanas air.
Léo. 6 tahun.
Langsung setelah melihatnya untuk kali pertama, menurutnya Léo sangat rupawan. Ini terjadi empat bulan yang lalu, di ruang tamu yang sama ini di rue Molière. Léo berlari masuk ke dalam ruangan, tiba-tiba berhenti di hadapannya dan menatap ke atas, kepalanya agak miring. Tampak kalau dia sedang berkonsentrasi penuh. Ibunya hanya berkata,
"Léo, ini Sophie – ingat kan aku cerita tentangnya padamu."
Léo memperhatikannya untuk waktu yang lama. Kemudian, Léo berkata, "Oke", melangkah maju dan memeluknya.
Léo anak yang lembut, kadang canggung, tetapi cerdas dan penuh semangat. Pekerjaan Sophie mengharuskannya untuk mengantar Léo ke sekolah di pagi hari, menjemputnya waktu makan siang dan menjemputnya lagi di sore hari, dan menjaganya sampai jam berapa pun Madame Gervais atau suaminya akhirnya pulang ke rumah. Ia bisa selesai bekerja jam berapa saja, antara jam 5 sore dan 2 subuh. Ketersedian Sophie merupakan faktor penentu ia bisa mendapatkan pekerjaan ini: ia tidak punya kehidupan pribadi, hal itu sudah tampak jelas sejak wawancara pertamanya. Madame Gervais berusaha sebisa mungkin untuk tidak memanfaatkan ketersediaan Sophie yang terus-menerus, tetapi rutinitas sehari- hari mengalahkan semua prinsip etis dan, dalam kurun waktu kurang dari dua bulan, Sophie telah jadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan keluarga mereka. Karena ia selalu ada, selalu bersedia.
Ayah Léo, seorang pria berumur empat puluhan yang tinggi, kurus, dan kasar, menjabat sebagai kepala departemen di Kementrian Luar Negeri. Sedangkan Madame Gervais, seorang wanita yang elegan, ramping, dengan senyum yang menawan, mencoba untuk menyeimbangkan tanggung jawabnya yang berat sebagai ahli statistik di sebuah perusahaan auditor dengan tanggung jawabnya sebagai ibu bagi Léo dan istri seorang calon menteri luar negeri. Masing-masing dari mereka mendapatkan penghidupan yang sangat nyaman. Sophie cukup bijaksana untuk tidak mengeksploitasi fakta yang jelas ini ketika ia menegosiasikan gajinya. Bahkan, ia sama sekali tidak terpikir untuk melakukan hal tersebut, karena apa yang ditawarkan padanya sudah cukup untuk kebutuhannya. Madame Gervais menaikkan gajinya di akhir bulan kedua.
Sedangkan Léo, ia sangat mencintai Sophie. Hanya Sophie yang bisa tanpa susah payah membuat Léo melakukan sesuatu, sementara biasanya ibunya harus membujuk Léo selama berjam-jam. Léo bukanlah, seperti yang Sophie takutkan, seorang anak manja yang cenderung gampang mengamuk, tetapi seorang anak laki-laki yang mendengarkan dengan cermat. Tentu saja, kadang suasana hatinya berubah-ubah, tetapi Sophie menduduki peringkat yang tinggi dalam prioritas Léo. Bahkan, yang paling atas.
Setiap malam sekitar jam 6, Madame Gervais menelepon untuk menanyakan kabar hari itu dan dengan nada malu memberi tahu Sophie jam berapa ia akan pulang. Ia selalu bicara dengan anak laki-lakinya selama beberapa menit sebelum akhirnya bicara dengan Sophie, di mana ia berusaha bersikap ramah. Upaya ini tidak terlalu membuahkan hasil: Sophie membatasi diri dengan hanya mengobrol ringan dan meringkas kejadian hari itu.
Léo selalu ditidurkan tepat jam 8 malam. Hal ini penting. Sophie sendiri tidak punya anak, tetapi ia punya standar. Setelah membacakannya dongeng sebelum tidur, ia menghabiskan sisa malamnya dengan duduk di depan televisi layar datar super besar yang mampu menayangkan setiap saluran TV yang ada, ini jadi hadiah tersendiri waktu di bulan kedua Sophie bekerja, tak peduli jam berapa pun ia pulang, Madame Gervais memperhatikan kalau Sophie selalu duduk di depan televisi. Lebih dari sekali Madame Gervais bertanya- tanya bagaimana mungkin seorang wanita berumur tiga puluhan, yang jelas berpendidikan, bisa puas hanya dengan pekerjaan rendahan macam itu dan menghabiskan malam-malamnya dengan menatap layar kecil. Waktu wawancara pertamanya, Sophie menjelaskan kalau ia mengambil jurusan komunikasi. Ketika Madame Gervais bertanya lebih jauh, ia menjawab kalau ia menyelesaikan diploma teknik dalam waktu dua tahun, bahwa ia pernah bekerja untuk sebuah perusahaan Inggris – walaupun ia tidak mengatakan apa posisinya - dan bahwa ia sebelumnya pernah menikah. Madame Gervais cukup puas dengan informasi ini. Sophie direkomendasikan oleh seorang teman masa kecilnya, yang sekarang jadi direktur konsultasi perekrutan, yang untuk alasan misterius sangat terkagum-kagum pada Sophie hanya dalam sekali wawancara. Selain itu, Madame Gervais butuh orang dalam waktu cepat: pengasuh Léo telah pergi tanpa peringatan, tanpa pemberitahuan. Raut wajah Sophie yang tenang dan serius menimbulkan kesan percaya diri.
Selama minggu-minggu pertama, Madame Gervais telah menyelidiki sedikit tentang hidup Sophie, tetapi lama-kelamaan ia menyerah, merasa bahwa dari jawaban Sophie telah terjadi "tragedi rahasia yang mengerikan" yang telah merusak hidupnya, sebuah jejak romantisme yang umum didapati pada banyak orang, bahkan di antara golongan kelas atas.
*
Seperti yang sering terjadi, saat pemanas airnya mulai mendidih, Sophie tenggelam dalam pikirannya. Baginya, keadaan ini bisa berlangsung selama beberapa saat. Seakan-akan ia absen. Pikirannya jadi terpaku pada satu ide tunggal, satu bayangan tunggal, pikirannya pelan-pelan mulai bergelung mengitarinya seperti serangga, ia jadi tidak sadar waktu. Kemudian, oleh semacam kekuatan gravitasi, ia kembali ke bumi dan di detik sekarang, dan melanjutkan hidupnya yang tadi ia tinggalkan. Begitulah keadaannya.
Kali ini, anehnya, bayangan Dokter Brevet-lah yang memasuki pikirannya. Ia sudah lama tidak memikirkan Dokter Brevet. Dokter Brevet sama sekali tidak seperti yang Sophie bayangkan. Di telepon, ia membayangkan sesosok tinggi yang sombong, tetapi sebenarnya, Dokter Brevet merupakan seorang pria yang pendek dan kecil; ia tampak seperti asisten hukum yang terintimidasi karena diperbolehkan berurusan dengan klien yang kurang penting. Di satu sisi ruang konsultasi ada rak buku yang penuh dengan pernak-pernik. Begitu Sophie masuk ke kantor psikolog itu, ia bilang pada Dokter Brevet kalau ia tidak mau berbaring di sofa, lebih memilih untuk duduk saja. Dokter Brevet mengisyaratkan kalau itu tidak masalah. "Saya tidak punya sofa di sini," katanya. Sophie menjelaskan dirinya sebaik mungkin. "Buku catatan," ucap Dokter Brevet akhirnya. Sophie harus mencatat semua yang ia lakukan. Mungkin ia sedang membesar-besarkan penyimpangan ingatannya. Kita perlu mencoba untuk melihat sesuatu secara obyektif, kata Dokter Brevet. Dengan begitu, "Anda bisa mengukur Anda telah lupa sejauh mana, apa saja yang telah Anda lewatkan." Maka Sophie mulai mencatat semuanya. Ia telah melakukannya selama sekitar tiga minggu ....
Sampai sesi mereka berikutnya. Dan selama itu ia telah melupakan banyak hal. Ia telah melewatkan beberapa pertemuan dan, dua jam sebelum kunjungannya ke Dokter Brevet, ia baru sadar kalau ia tidak tahu buku catatannya ada di mana. Ia tidak bisa menemukannya. Apa ini akan jadi hari di mana ia akhirnya menemukan hadiah ulang tahun Vincent? Hadiah yang tidak bisa ia temukan saat ia ingin memberinya kejutan.
Semuanya kacau, seluruh hidupnya berantakan ....