Chereads / Pernikahan Berdarah / Chapter 4 - Sophie 4

Chapter 4 - Sophie 4

Ada hal-hal yang tidak diingatnya lagi tentang hari itu. Hal berikutnya yang ia lihat adalah jam di depan gereja Sainte-Élisabeth yang menunjukkan pukul 11.15 siang.

Matahari sedang bersinar terik dan kepalanya berdentum kencang seakan mau meledak. Dan ia benar-benar hancur berantakan. Bayangan tubuh Léo muncul sekali lagi. Rasanya seperti terbangun lagi. Ia menenangkan dirinya sendiri ... terhadap apa? Tangannya menempel di jendela. Sebuah toko. Kaca itu dingin. Ia merasa butiran keringat menetes dari ketiaknya. Sedingin es.

Apa yang ia lakukan di sini? Dan tepatnya ia dimana? Ia mencoba untuk mengecek waktu, tapi ia tidak memakai arlojinya. Namun ia sangat yakin ... Tidak, mungkin tidak. Ia tidak ingat. Rue du Temple. Ya ampun, tidak mungkin menghabiskan waktu satu setengah jam untuk sampai ke sini. Apa yang ia lakukan dengan semua waktu itu? Ke mana ia telah pergi? Dan yang lebih penting, kemana kau pergi sekarang, Sophie? Apakah kau berjalan ke sini dari Rue Molière? Atau apakah kau naik métro?

Sebuah lubang hitam. Ia tahu ia gila. Tidak, ia hanya butuh waktu, itu saja, sedikit waktu untuk menenangkan dirinya. Ia pasti telah naik métro, putusnya. Ia tidak bisa merasakan tubuhnya, hanya keringat yang menetes dari ketiaknya, aliran es yang ia coba tahan, menekan siku erat ke tubuhnya. Apa yang ia kenakan? Apakah ia terlihat seperti wanita gila? Kepalanya penuh sesak, berdengung, berputar dengan gambar acak. Berpikir. Lakukan sesuatu. Tapi apa?

Ia menangkap bayangannya di jendela toko dan tidak mengenali dirinya sendiri. Awalnya, ia pikir itu bukan benar-benar dirinya. Tapi tidak, itu dia, hanya ada sesuatu tentangnya ... Ada sesuatu tentangnya, tapi apa?

Ia melihat ke bawah jalan.

Terus berjalan, coba pikirkan. Tapi kakinya menolak merespons. Hanya otaknya yang tampaknya masih berfungsi, sedikit, pusaran bintik-bintik kata-kata dan gambar yang coba ia tenangkan dengan menarik napas dalam-dalam. Dadanya terasa kencang. Saat ia bersandar ke jendela, ia mencoba menenangkan pikirannya.

Kau kabur Itu saja, kau takut dan kau lari. Ketika mereka menemukan tubuh Léo, mereka akan mencarimu. Kau akan dituduh ... Apa sebutan mereka? "In loco" semacam itu ... Fokus, demi Tuhan.

Sebenarnya sangat sederhana. Kau bertanggung jawab merawat anak itu dan seseorang datang dan membunuhnya. Léo ...

Saat ini, ia tidak tahu apa yang terjadi padanya. Ia perlu berpikir, tapi ia tidak bisa.

Setiap pikirannya tersandung pada pikiran panik yang sama: ini tidak mungkin terjadi.

Ia mendongak. Ia tahu daerah ini. Tempat ini dekat dengan tempat tinggalnya. Nah, ini penjelasannya, kau kabur dan kau akan pulang.

Tapi pulang ke rumah adalah hal yang gila. Secara logika, ia tidak akan pernah datang ke sini.

Mereka akan segera mencarinya. Mereka mungkin sudah mencarinya. Ia merasakan gelombang kelelahan yang baru. Sebuah kafe, di sebelah sana di sebelah kanan. Ia masuk ke dalam.

Ia menemukan meja di belakang. Ia berjuang untuk berpikir jernih. Pertama, posisikan diri di tempat itu. Ia duduk di belakang kafe, dengan tergesa-gesa menatap wajah seorang pelayan yang mendekat, ia melirik sekelilingnya, merencanakan rute keluar jika ia perlu melarikan diri. Tapi tidak ada yang terjadi. Pelayan tidak mengajukan pertanyaan, ia hanya menatapnya secara apatis. Ia memesan kopi. Si pelayan berjalan kembali ke konter.

O.K., pertama ia perlu mendapatkan pegangannya.

Rue du Temple. Ia ... mari kita lihat, tiga, tidak ada empat métro yang berhenti dari rumah. Itu benar, empat pemberhentian, Temple, République, ganti kereta, lalu ... Apa nama stasiun keempat? Ia pergi ke sana setiap hari, ia telah menaiki kereta yang sama ratusan kali. Ia bisa membayangkan pintu masuk dengan jelas, tangga yang menurun dan landai, lereng logam, stan koran yang berdiri di sudut dengan pria yang selalu mengatakan "Cuaca yang menyebalkan, eh?" ... Sialan!

Pelayan membawa kopinya, menempatkan tagihan di sebelahnya: €1,10. Apakah aku membawa uang? Tas tangannya ada di atas meja di depannya. Ia bahkan tidak sadar bahwa ia membawa tas tangan.

Ia bertindak secara otomatis, pikirannya kosong total. Begitulah ia datang ke sini, itulah sebabnya ia kabur. Ada sesuatu yang bangkit di dalam dirinya, seolah-olah ia adalah dua orang. Aku yang kedua. Yang gemetar ketakutan di depan secangkir kopi yang perlahan mulai dingin dan aku yang satunya berjalan ke sini, mencengkeram tas tangannya, melupakan arlojinya, dengan riang menuju rumah seolah tidak terjadi apa-apa.

Ia meletakkan kepalanya di tangannya dan merasakan air mata mengalir di pipinya. Pelayan itu menatapnya sambil memoles gelas, berpura-pura terlihat sedang bosan. Aku gila, dan semua orang bisa melihatnya. Aku harus pergi. Aku harus bangun dan pergi.

Ia merasakan dorongan adrenalin yang tiba-tiba: jika aku gila, mungkin bayangan- bayangan ini ada di kepalaku. Mungkin ini hanya mimpi buruk. Ia baru saja terbangun dari mimpi buruknya. Itu saja, hanya mimpi buruk. Ia bermimpi membunuh anak itu. Pagi ini, mengapa ia panik dan lari? Aku takut dengan mimpiku sendiri, itu saja.

Bonne-Nouvelle! Itulah nama stasiun métronya, Bonne-Nouvelle. Tapi ada satu lagi yang di sebelumnya. Kali ini ia tidak memiliki masalah untuk mengingat: Strasbourg-Saint- Denis.

Perhentiannya adalah Bonne-Nouvelle. Ia yakin akan hal itu, ia bisa membayangkannya.

Pelayan itu menatapnya dengan aneh. Ia tertawa. Ia terisak-isak dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak.

Apakah ini benar? Ia perlu tahu. Jelas dalam pikirannya sendiri. Ia bisa menelepon.

Hari ini hari Jum'at. Léo tidak di sekolah. Ia ada di rumah. Leo pasti di rumah.

Sendirian.

Aku lari dan meninggalkan anak itu sendirian. Aku harus menelepon.