Ia menuangkan air panas ke dalam mangkuk dan menghabiskan rokoknya. Jumat. Tidak ada sekolah. Biasanya, ia diharuskan menjaga Léo pada siang hari hanya pada hari Rabu, dan kadang-kadang di akhir pekan. Ia membawanya ke sana-sini, sesuai dengan keinginan mereka dan kesempatan yang ada. Sampai sekarang mereka sudah banyak bersenang-senang bersama, dan banyak berargumen. Untuk awalnya semuanya baik-baik saja.
Demikianlah, sampai ia mulai merasa resah, dan kemudian merasakan perasaan yang mengganggu. Ia tidak ingin terlalu mementingkan perasaan ini, mencoba mengusirnya seperti lalat yang menjengkelkan, tapi perasaan ini tetap menghantuinya. Perasaan ini mulai mempengaruhi sikapnya terhadap Léo. Tidak ada yang mengkhawatirkan, tidak pada awalnya. Hanya sesuatu yang tak kelihatan, diam. Suatu rahasia yang melibatkan mereka berdua.
Sampai tiba-tiba kebenaran mulai jelas baginya, sehari yang lalu, di place Danremont.
*
Akhir musim panas itu di Paris terasa hangat dan cerah. Léo ingin es krim. Sophie duduk di bangku, ia tidak enak badan. Mula-mula, ia merasa terganggu dengan kenyataan bahwa mereka sedang berada di alun-alun, tempat yang ia benci lebih dari apapun karena ia menghabiskan waktunya untuk menghindari percakapan dengan ibu-ibu. Ia telah berhasil menangkal upaya terus-menerus dari pengunjung tetap. Mereka telah belajar untuk tidak memulai obrolan dengannya. Namun, ia masih harus berurusan dengan ibu-ibu yang kadang- kadang mampir, para pengunjung baru, orang yang lewat, belum lagi para pensiunan. Ia membenci alun-alun ini.
Sophie tanpa sadar membolak-balik majalah saat Léo datang dan berdiri di depannya. Ia sedang memakan es krimnya, terpaku menatapnya tanpa alasan tertentu. Sophie balas melihat ke arahnya. Dan tepat pada saat ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubur pikiran yang tiba-tiba menggugahnya: tanpa bisa dijelaskan, ia telah mulai membenci Léo. Léo terus menatapnya dengan saksama dan Sophie merasakan kepanikan yang meningkat saat membayangkan segala sesuatu tentang diri Leo yang membuatnya membencinya: wajah malaikatnya, bibirnya, seringai bodohnya, pakaian konyolnya.
"Kita harus pergi," katanya, meskipun mendengar nada suaranya, ia bisa saja lebih cocok berkata, "Aku harus pergi." Alat pengisap di kepalanya mulai berjalan lagi. Dengan penyimpangan-penyimpangannya, celah-celahnya, lubangnya, celotehnya ... Sementara ia bergegas kembali ke rumah (Léo merengek saat ia berjalan terlalu cepat), ia diserang oleh serentetan bayangan: mobil Vincent yang melilit pohon karena tersentak oleh lampu yang berkedip biru dalam kegelapan, arlojinya di bagian dasar kotak perhiasan, tubuh Madame Duguet terguling jatuh menuruni tangga, alarm pencuri melolong di tengah malam ... Bayangan itu berkedip, maju dan mundur, baru dan lama. Mesin yang memusingkan sekali lagi bergerak terus-menerus.
Sophie tidak pernah menghitung tahun-tahun sejak pertama kali ia gila. Tahun-tahun itu terentang terlalu jauh. Mungkin karena derita yang ia rasakan, Sophie merasa tahun-tahun tersebut dua kali lipat lamanya. Hal ini mulai sebagai penurunan bertahap, namun seiring bulan demi bulan, ia mulai merasa berada di kereta luncur, meluncur menuruni bukit. Sophie saat itu telah menikah. Itu adalah waktu sebelum ... semua ini. Vincent merupakan pria yang sangat sabar. Setiap kali Sophie memikirkannya, ia muncul dalam serangkaian rekaman lambat: wajah pemuda itu, tersenyum, tenang, larut menjadi wajah cekung dan pucat selama bulan-bulan terakhir itu, mata yang berkaca-kaca. Pada hari-hari awal pernikahan mereka (Sophie masih bisa menggambarkan apartemen mereka dengan sangat rinci dan tidak bisa tidak bertanya-tanya bagaimana satu pikiran bisa memiliki begitu banyak kenangan dan pada saat yang sama begitu banyak kekosongan), pikiran Sophie hanya sedikit buyar. Begitulah ia menggambarkannya: "Sophie itu lengah." Namun, ia menghibur dirinya sendiri karena ia memang selalu seperti itu dari dulu. Kemudian kelinglungannya menjadi aneh. Dalam beberapa bulan yang singkat, semuanya berantakan. Ia mulai melupakan pertemuan, benda, orang; ia mulai kehilangan barang-barang, kunci, dokumen, dan menemukannya beberapa minggu kemudian di tempat yang paling tidak biasa. Terlepas dari ketenangan alaminya, Vincent berangsur-angsur menjadi cemas. Itu bisa dimengerti. Seiring berjalannya waktu ... ia lupa meminum pil itu, hadiah ulang tahun yang salah letak, hiasan Natal. Semuanya cukup untuk mencobai jiwa yang paling sabar sekalipun. Pada titik ini Sophie mulai mencatat semuanya dengan hati-hati layaknya seorang pecandu yang akan langsung berhenti total. Ia kehilangan buku catatannya. Ia kehilangan mobilnya, teman-temannya; ia ditangkap karena pencurian, sedikit demi sedikit masalahnya menular ke setiap area kehidupannya dan, seperti pecandu alkohol, ia mulai menyembunyikan penyimpangan ingatannya, untuk bohong, untuk menutupi - agar Vincent dan juga orang lain tidak mengetahui apapun. Seorang terapis menyarankan untuk istirahat di rumah sakit. Ia menolak, sampai kematian tiba, tanpa diundang, untuk bergabung dengan kegilaannya.
*
Sambil berjalan, Sophie membuka tasnya, mengubrak-abrik isinya, menyalakan sebatang rokok dengan jemari yang gemetar, menghirup rokoknya dalam-dalam. Ia menutup matanya. Meskipun dengung berdenyut memenuhi kepalanya dan kelesuan fisiknya, ia memperhatikan bahwa Léo tidak lagi berada di sampingnya. Ia berbalik dan melihat ia di kejauhan, berdiri di tengah trotoar, tangannya terlipat, cemberut, keras kepala menolak untuk bergerak. Melihat anak yang ngambek ini berdiri di sana tiba-tiba mengisinya dengan amarah. Ia berbalik melangkah, berhenti di depan Léo dan mencaci maki, memberinya pukulan keras.
Suara tamparan itu yang menyadarkannya. Ia merasa malu, ia berbalik untuk melihat apakah ada yang menonton. Tidak ada siapa-siapa, jalanan sepi, satu motor melewatinya. Ia menatap Léo yang sedang menggosok pipinya. Léo balik menatapnya, ia tidak menangis. Seolah-olah ia menyadari bahwa ini sebenarnya bukan tentangnya.
"Ayo kita pulang," kata Sophie dengan nada tegas. Dan begitulah.
Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun pada satu sama lain sepanjang malam. Mereka masing-masing punya alasan. Sophie samar-samar bertanya-tanya apakah tamparan itu mungkin tidak membuatnya bermasalah dengan Madame Gervais, meski ia sadar ia tidak terlalu peduli - sekarang setelah ia memutuskan untuk pergi, seolah-olah ia memang sudah pergi.
Seakan takdir menginginkannya, Christine Gervais tiba di rumah larut malam itu. Sophie tertidur di sofa di depan televisi dimana pertandingan basket dimainkan dengan sorak sorai dan tepuk tangan. Ia terbangun karena keheningan ketika Madame Gervais mematikan televisi.
"Ini larut sekali," katanya dengan nada meminta maaf.
Sophie menatap sosok dengan jas yang berdiri di depannya itu. Ia mengeluarkan suara teredam "Tidak."
"Apakah kau mau menginap di sini?"
Ketika ia pulang terlambat, Madame Gervais selalu menawarkan untuk membiarkan Sophie menginap, ia menolak dan Madame Gervais membayar taksi.
Dalam sekejap, Sophie memutar ulang rekaman harinya, malam yang mereka habiskan dalam kesunyian yang menyakitkan, tatapan menghindar, Léo dengan serius dan sabar mendengarkan dongeng sebelum tidur, pikirannya jelas ada di tempat lain. Ketika ia dengan enggan membiarkan Sophie mengecupnya selamat tidur, Sophie terkejut mendapati dirinya berkata:
"Tidak apa-apa, sayangku, tidak apa-apa. Maafkan aku…"
Léo mengangguk pelan. Seolah-olah pada saat itu dunia orang dewasa telah memasuki semesta kecilnya dan ia juga kelelahan. Ia langsung tertidur.
Tadi malam, Sophie sangat lelah sehingga ia menerima tawaran untuk menginap.
*
Ia membuai semangkuk teh, yang sekarang dingin, di kedua tangannya, hampir tidak memperhatikan air mata yang jatuh deras di lantai kayu. Ia memiliki bayangan sekilas tentang seekor kucing yang dipaku di pintu kayu. Seekor kucing hitam dan putih. Bayangan lainnya muncul. Jenazah-jenazah. Masa lalunya dipenuhi orang mati.
Sudah waktunya. Melihat sekilas jam di dinding dapur: 9.20. Tanpa sadar, ia telah menyalakan rokok lagi. Ia mematikannya dengan gugup.
"Léo!"
Bunyi suaranya sendiri membuat ia terbangkitkan. Ia bisa mendengar ketakutan di dalamnya, tapi ia tidak tahu dari mana asalnya.
"Léo?"
Ia bergegas masuk ke kamar anak laki-laki itu. Di tempat tidur, selimut kusut itu terlihat seperti sebuah roller coaster. Ia mendesah lega, bahkan tersenyum samar. Saat rasa takutnya mereda, terlepas dari dirinya sendiri ia merasakan gelombang kelembutan yang penuh syukur. Ia pindah ke tempat tidur.
"Oh, ya ampun, mana cowok kecilku ...?" Ia berbalik. "Apakah dia ada di sini?"
Dengan lembut ia mengetuk pintu lemari kayu pinus, masih memandangi tempat tidur dari sudut matanya.
"Dia tidak ada di dalam lemari pakaian. Mungkin di laci ... "
Ia mengeluarkan laci dan mendorongnya kembali, sekali, dua kali, tiga kali. "Bukan yang ini ... bukan yang itu ... tidak, tidak di sini. Dimana ya dia? "Ia berjalan ke pintu dan berkata dengan suara keras:
"Nah, kalau dia tidak ada di kamarnya, mungkin aku harus pergi ..."
Ia menutup pintu tanpa meninggalkan ruangan, menatap bentuk di bawah selimut. Menanti sebuah gerakan. Lalu ia merasakan kejang di perutnya. Bentuknya salah. Ia berdiri membeku, air mata mulai jatuh kembali, tapi sekarang berbeda, ini adalah air mata sejak lama, yang jatuh, berkilauan, pada tubuh pria berdarah yang terpuruk di atas kemudi, air mata yang ia rasakan saat ia menempelkan tangannya ke punggung wanita tua dan mendorongnya jatuh menuruni tangga.
Tanpa sadar, ia berjalan ke tempat tidur dan mencabik selimutnya.
Léo ada disana, tapi ia tidak tidur. Ia telanjang, meringkuk, pergelangan tangannya terikat pada pergelangan kakinya, kepalanya di antara kedua lututnya. Di lihat dari satu sisi, warna wajahnya sangat mengganggu. Piyamanya telah digunakan untuk mengikatnya. Di sekitar tenggorokannya, tali sepatu ditarik sedemikian erat sehingga meninggalkan alur yang dalam di dagingnya.
Sophie menutup mulutnya dengan tangan, tapi ia tidak bisa menghentikan dirinya untuk muntah. Ia berjalan maju, pada menit terakhir berhasil untuk menghindari memantapkan dirinya di tubuh anak itu, maka ia tidak punya pilihan selain bersandar di ranjang. Dan tubuh kecil itu berguling ke arahnya, kepala Léo menabrak lututnya. Ia mencengkeramnya begitu erat sehingga tidak ada yang bisa mencegah mereka untuk jatuh di atas satu sama lain.
Dan sekarang di sinilah ia, merosot di lantai, punggungnya menempel di dinding, memeluk tubuh dingin dan tak bernyawa Léo ... Jeritannya sendiri sangat memilukan seakan- akan mungkin berasal dari orang lain. Meskipun air mata mengaburkan penglihatannya, ia bisa melihat tingkat tragedi tersebut. Ia mengusap rambut Léo secara naluriah. Wajahnya, pucat dan berbintik-bintik, menghadap ke arah Sophie, tetapi matanya yang lebar menatap kosong.