Bumi sudah berubah. Ya, menjadi neraka.
Ratusan tahun di masa lalu, manusia meramalkan akan datang bencana besar yang menimpa Bumi, kiamat. Menurut badan antariksa internasional ... sebuah planet X atau biasa disebut planet Nibiru yang mengorbit jauh di ujung tata surya bakal mendekat ke arah Bumi.
Oleh karena itu, bagi yang percaya. Mereka telah mempersiapkan penanggulangan, bakal menghadapi bencana yang bagi sebagian orang cuma isapan jempol belaka, mitos yang dibuat-buat.
Bunker lantas dibangun di mana-mana, berbagai negara mesti ada, setidaknya satu saja. Bunker menjadi hotel, disewakan. Ladang bisnis bagi para pengusaha, mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari para orang polos yang percaya begitu saja pada sesuatu yang disebut "Kiamat Nibiru".
Ya. Mereka bisa tertawa menikmati kebahagiaan yang diberikan uang itu. Tapi mereka akan menyesali perbuatannya sendiri.
Bulan Oktober, tahun 2020. Mimpi buruk semua orang menjadi nyata ... apalagi kalau bukan Kiamat. Waktu itu, hari masihlah pagi, kira-kira pukul delapan. Namun, kenapa bulan muncul, terlebih ada dua? Pikir para manusia yang tak segera mencari tempat perlindungan.
Ada dua bulan yang nampak di langit. Tepat di hadapan mereka, kedua bulan yang telah berhimpitan itu meledak. Kembang api terbesar sepanjang sejarah tercipta pada hari itu, bertepatan juga dengan hancurnya peradaban manusia. Bintang jatuh atau hujan meteor paling mengerikan meluluhlantakkan Bumi, mengobok-obok.
Dari kengerian itu ... siapa yang sanggup bertahan? Ada, tapi tak semua, lebih banyak yang gugur.
Para manusia yang selamat pun tak bisa bernafas lega. Malah, era baru dimulai dari peristiwa yang dinamakan Nibiru Impact itu.
Radiasi dan zat beracun yang dihasilkan oleh serpihan planet Nibiru sukses mempengaruhi makhluk di Bumi. Baik manusia dan hewan, sedang para tumbuhan secara mengejutkan kebal. Manusia dan binatang berubah menjadi sesuatu yang tak terpikirkan, evolusi mundur.
Manusia jadi tak berakal, saling menyerang, tak jarang menjadi kanibal. Hewan pun begitu. Berubah menjadi sesuatu yang tak mungkin dijelaskan.
•EBI (Evil Beast Infection) : Hewan yang bermutasi menjadi Mutant
•Eve(Evil Nature) : Manusia yang berubah abadi, menjadi zombie. Tak bisa mati jika tak dipenggal atau diambil core-nya.
Masing-masing diberi ranking berdasarkan potensi bahaya, dari Rank F, yang merupakan terendah sampai ke S, yang paling tertinggi.
Manusia yang kebal atau masih mempertahankan akal sehatnya terus berjuang. Mereka menghadapi gempuran-gempuran monster yang telah menguasai Bumi. Lalu ... perjuangan yang tak kenal lelah itu pun berbuah manis.
Tuhan masih berbaik hati mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan. Setengah abad sudah terlewati, barulah, bangkit sesuatu yang membuat manusia mampu bertahan. Di negara yang dulunya bernama Ethiopia, seseorang membangkitkan kekuatan. Nenek moyang para Spiriter.
•Spirit : Kekuatan yang hadir selama manusia masih belum menyerah dan selalu percaya.
•Spiriter : Manusia pengguna Spirit.
•Spiritless : Manusia yang belum membangkitkan Spirit.
Sejak saat itu, manusia tak lagi kesulitan menghadapi Bumi yang telah berubah. Mereka berhasil memukul balik para monster yang disebut EBI dan Eve.
Manusia akhirnya bisa fokus membangun kembali peradaban yang telah runtuh.
Satu abad lebih terlalui, manusia kembali ke zaman sebelum Nibiru Impact. Yah, 178 tahun berlalu, tapi peradaban masih segitu-gitu saja. Tahun 2200-an yang ada pada pikiran manusia pasti teknologi canggih, mobil-mobil terbang. Namun, semua itu belum bisa tercipta. Fokus para manusia masih tertuju pada Bumi yang belum sepenuhnya steril.
EBI dan Eve tetaplah ada, mereka beranak-pinak.
"Sudah, ini terlalu malam! Dongengnya habis sampai di sini. Basuh kaki dan pergi ke tempat tidur!" kataku, menutup buku tebal dengan kasar, lentera yang menjadi penerangan langsung kutiup. Anak-anak yang mengerubungiku cemberut, tak jarang ada yang menangis. Jurus jitu mereka ... aku kalah!
"Kak Aray jahat, kami masih ingin mendengar ceritanya!" rengek seorang anak kecil, dia menggemukkan pipi, memukul-mukul diriku agar segera bercerita lagi. Aku langsung menenangkannya.
"Baiklah, baiklah. Kalian ingin cerita apa lagi?" tawarku. Anak-anak langsung kegirangan.
"Tembok Agung Natara."
"Tembok Agung Natara? Serius?"
"Ya."
"Huh ... baiklah."
Di semenanjung Asia, tepatnya di sebuah kepulauan yang dulu namanya adalah Indonesia. Berdiri sebuah bangunan tembok yang melebihi Tembok besar Cina. Ya. Tembok Agung Natara.
Tembok yang terletak di pulau Jawa. Berbentuk lingkaran sedikit oval dengan tujuh lapisan yang mencakup Jawa Barat dan Tengah.
Tembok yang sukses menjadi alat penggalang EBI dan Eve. Pertahanan utama manusia di wilayah Indo-Pasifik. Tembok Agung Natara mampu menampung 70 juta penduduk yang tersebar ke tujuh lapisan tembok. Yah, sangat padat.
•Distrik tingkat tujuh
•Distrik tingkat enam
•Distrik tingkat lima
•Distrik tingkat empat
•Distrik tingkat tiga
•Distrik tingkat dua
•Distrik tingkat satu
Paling nyaman, Distrik Tingkat Satu.
Paling berbahaya, Distrik Tingkat Tujuh. Debab wilayah pertama yang diserbu EBI dan Eve, sebagai perbatasan.
"Kak Aray. Cerita tentang satuan Pemburu!" Seorang anak mengangkat tinggi tangannya.
"Tidak! Aku ingin kak Aray bercerita tentang satuan Pembebas!"
Ah, anak-anak ini mulai bertengkar.
"Tenang, kakak bakal ceritain satu-satu."
•Satuan Pemburu : Unit khusus militer yang ditugaskan khusus untuk membasmi EBI di dalam Tembok Agung Natara. Yah, EBI sulit dibasmi sampai tuntas.
•Satuan Pembebas : Unit khusus militer yang ditugaskan khusus untuk menjelajah keluar Tembok Agung Natara, guna memperluas wilayah kekuasaan umat manusia.
"Selesai. Dongengnya selesai. Waktunya tidur!" Aku dengan paksa menggendong anak-anak satu per satu. Sayangnya mereka berontak, merengek, menangis kejer di tengah malam. Istriku yang tengah menyusui bayi kecilnya terganggu.
"Aray? Masih belum tidur juga? Besok hari sibukmu, 'kan?"
"Hahaha ... mereka ngelunjak," balasku tersenyum garing.
"Hmm ...!" Dia tak percaya. "Eh? Ada apa sayang?" seorang anak perempuan kecil menarik-narik ujung daster istriku.
"Mau cerita kak Aray."
Aku langsung ditatap. Pura-pura tak melihat saja.
"Sudah malam, besok saja, ya?"
Gagal. Anak perempuan cantik itu menggeleng.
"Aray!"
"Eh? Apa?" kejutku.
"Tolong ceritakan kisah hidupmu. Aku tiba-tiba ingin mendengarnya. Sedikit bernostalgia." Istriku tersenyum penuh arti.
"Lah? Tiba-tiba. Satu malam pun nggak akan cukup! Ini akan sangat panjang!"
"Mari sama-sama bergadang!"
Apa-apaan ini? Tapi, yah. Turuti saja.
Aku akan menceritakan kisahku. Di simak, ya?!
.
.
.
.
Cacing-cacing di perutku agaknya sedang melakukan demo. Serangkaian tindakan anarkis sungguh memaksa tanganku tak bisa dipindahkan dari sana—terus menekan—melawan rasa sakit. Belum ada satu pun makanan yang mengisi kekosongan ini, seingatku baru roti basi, itupun kemarin lusa. Jadi, badan pun tak memiliki tenaga, semuanya kebas, berdiri tegak beberapa menit saja rasanya seperti menahan barbel ratusan kilogram.
Penantian panjangku ....
"Jangan terus berdiri di depan warungku, bocah! Pergi sana! Kau membuat orang-orang tak mau datang kemari!?" bentak seorang wanita paruh baya, penjaga sebuah warung.
Ludah bagaikan air, telah kuteguk hampir segelas. Sebab tak kuasa menahan godaan bebauan lezat yang melambai pada hidungku di etalase warung. Tapi aku cukup sadar, makanan Padang itu tak mungkin sanggup kunikmati, syukur-syukur nasi dan tahu-tempe yang digoreng tanpa bumbu apapun.
Coba tebak, apa yang akan dilakukan pemilik warung masakan Padang itu padaku?
A. Mengusir
B. Berbelas kasih memberikan sedikit makanan
C. Masa bodoh. Aku dibiarkan terus berdiri—menghabiskan tenagaku.
Jawabannya .... salah!
"Nih, puas kau! Cepat pergi jauh-jauh! Pengusir penglaris!" maki Si pemilik warung seraya melontarkan sebuah keresek hitam. "Pergi!"
Wanita paruh baya itu melemparkannya tanpa perasaan. Kresek hitam yang rupanya berisi nasi bungkus bertali gelang karet yang lagi-lagi asal mengareti—tak ada rasa ikhlas sedikitpun, isinya berhamburan. Parahnya mendarat pada genangan air bekas hujan semalam. Nasi putih pun berubah warna.
Aku bergegas memungutnya, harus cepat kalau tak ingin seluruh nasi tertelan oleh air keruh yang entah apa campurannya, bisa saja kencing kucing, kotoran ayam. Hiii ... kutahan fantasiku, perut mulai meronta-ronta sebab ingin mengeluarkan bebannya yang didominasi cairan. Hanya sesuap kecil nasi yang mampu diselamatkan. Hasil yang tak buruk, kurasa.
"Anak yang malang!"
"Ya. Kasihan dia! Di mana keluarganya?"
Aku tersungging ketika sayup-sayup itu merambat dan memenuhi kuping. Keadaan jalan di dekat pasar tradisional ini taklah sepi, dari tadi orang-orang hilir-mudik di sekitarku. Aku tak dianggap berwujud—makhluk ghaib. Seonggok tubuh kurus cungkring dengan koas compang-camping, sobek sana-sini—digigit anjing—bersaing mengais tempat sampah bersama anjing liar. Mereka menampar diriku dengan bungkusan makanan yang pastinya dari warung itu, mengayun-ayunkannya tepat di hadapanku. Aku sungguh mempertanyakan ... untuk apa kalimat simpati itu?
Aku tak memiliki suatu kepentingan yang membuat kedua kakiku tetap menapak di sini, tujuanku terpenuhi. Sesuap nasi layak makan lebih dari cukup, aku sedikit bertenaga sekarang. Mari pindah ke tempat lain
Halte bis. Aku sekarang di sini, duduk termenung memandang kendaraan yang seliweran di depanku, memasang telinga pada suara bising klakson para pengendara yang tak sabaran, mengendus bau hasil pembakaran mesin. Huh ... kualitas udara di kota metropolitan sungguh buruk.
"Hei, kamu lapar? Nih, aku punya sedikit roti, apa kamu mau? Aku tau kamu lapar... hehe, dimakan, ya?!"
Aku terkesiap, lantas mulut menganga lebar, aku juga mengerjap cepat. Bukan mimpi, 'kan?
Anak perempuan ini sungguh telah merusak stigma negatif yang kusematkan pada orang-orang ... bahwa orang berhati malaikat sudah hilang tergerus zaman. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba seorang anak perempuan yang nampak sebaya datang menghampiri seraya menawarkan sebungkus roti yang bertuliskan .... chocolate flavor. Wah ... rasa kegemaranku.
"Jangan bengong! Ambil!" serunya menggoyangkan lengan yang sedari tadi terjulur.
"Huh?!" Tanganku ragu untuk meraihnya. Rasanya sangat sulit agar diriku percaya pada orang lain.
"Aku ikhlas, nggak ngarepin uangmu, kok."
"Ta, tapi—"
Lenganku ditarik, dia menggenggamkan paksa roti itu. "Kamu lapar, 'kan?" ujarnya tersenyum. "Makan aja!"
"Ma, makasih," balasku malu yang mana kutundukkan pandangan ke bawah, kubolak-balik rotinya. Setelah berbulan-bulan lamanya, akhirnya makanan layak—benar-benar layak ada dalam genggamanku.
"Nggak perlu cemas! Nggak ada sianidanya kok." Dia terkikik geli.
Sontak saja aku lantas mendongak dan merasa skeptis pada selera humor anak perempuan ini, rasanya tak pas saja.
"Perlu aku suapin?"
"Nggak usah—"
Roti dalam genggamanku dirampas olehnya, selepas itu membuka bungkusnya. "Buka mulutnya ... kereta datang!"
"Itu pesawat!" sosorku begitu saja sampai dia berkata "Eh?" meneliti genggamannya pada roti.
"Huh ... pandai melucu ya?!" kilahnya membuang muka yang mana pipi digemukkan sedemikian rupa. "Ini kereta, aku memegangnya dari atas! Bukan dari bawah kayak mau nerbangin pesawat kertas!" imbuhnya nampak kesal.
Anak perempuan ini ... senyumannya ... sorot yang mengakui keberadaanku ... dan kebaikannya ... tanpa sadar air lolos dari kedua mata dan mengalir yang menimbulkan kilau di pipi. Anak perempuan itu sadar, dia awalnya memang terkejut, tapi ....
Dia mendekat, tangannya bergerak yang mana menarget pipiku. "Dunia ini memang sudah berubah! Ya, berubah cukup banyak," ucapnya lembut seraya membelai dan menghapus air mata, setelahnya dia memandang serius. "Aku tetap percaya bahwa kebaikan tak akan pernah musnah! Kamu juga harus percaya!"
Aku mendadak menggidik, semua bulu roma menegak dengan ngeri, lantas kutolehkan pandangan ke segala arah. Perasaan akan ada hal yang buruk! Terdengar sedikit aneh percaya pada hal abstrak semacam ini. Tapi aku pernah mengalaminya, lalu orang tuaku pergi dari sisiku selama-lamanya.
"Ada apa?" tanyanya memiringkan kepala.
Aku buru-buru mengambil roti dari genggaman anak perempuan itu, kemudian segera menjauhinya. Dia menjadi kebingungan, merasa telah berbuat suatu kesalahan. Aku lantas menyakinkannya bahwa semua baik-baik saja.
"Kenapa?" ucapnya cemas menaruh tangan di depan dada. "Aku berbuat salah?"
Leherku menggeleng cepat. Masih kuperhatikan keadaan sekitar. Aku benar-benar takut.
"Pergi!" kataku parau, leherku seperti dicekik dan kesusahan untuk mengucap kata selanjutnya.
Mata anak perempuan itu berkaca-kaca, sejumlah air mulai menggenang di kedua sudut matanya. Dia mengira aku telah mengusirnya. Tidak, kamu salah paham! Kalimat yang tak sanggup dilisankan. Tolong pergi dari sini!
Raungan klakson menjadi lebih beringas, mataku seketika melebar ngeri mendapati pemandangan di belakang anak perempuan itu. Sontak kakiku bergerak maju menuju anak perempuan itu. Decitan gesekan antara ban karet dengan aspal jalan memperburuk suasana, anak perempuan itu menoleh ke belakang dirinya dan ... sebuah mobil pickup telah siap menyeruduk.
Sejak saat itu ... aku benci kendaraan! Kuda besi itu hampir merenggut sosok yang kupanggil Malaikat. Tapi, rupanya diriku yang pembawa sial. Mungkin waktu itu memang berhasil lolos, namun tak berselang lama ... Malaikatku akhirnya pergi, akibat dari ketidakberdayaan diri ini.