Saat teriakan peringatan dari Ari tiba, aku sempat menoleh ke belakang. Dari jalan seberang yang begitu lengang, suatu makhluk datang dengan kecepatan tinggi, hendak menerjang kami. Namun, sebuah mobil muncul tiba-tiba dari sisi kanan persimpangan, menyeruduk makhluk menyerupai anjing itu, terus anjing sebesar banteng tersebut terhempas menghantam tiang listrik setinggi pohon kelapa hingga berderak roboh. Mengenai kabel listrik yang seketika putus. Bunyi ledakan menyusul, semua trafo meletup, sungguh memekakkan telinga. Bunga-bunga api termuntah menghujani kami. Aku sontak membekap Ari, berniat melindunginya.
Rasa hangat yang aneh menjalari punggung, aku sedikit meringis.
"A-ray, kamu tak apa-apa—awas!"
Telingaku sudah cukup berdengung ganas ketika letupan tadi menginvasi telinga, sekarang ditambah dengan Ari yang berteriak. Bisa-bisa aku langsung tuli. Namun, aku tau. Teriakan Ari yang keras adalah pertanda bahaya besar mendekat. Tanpa menoleh ke belakang aku bergegas berlari, menarik Ari yang mematung. Semua kejadian itu membuatnya syok hingga tak dapat berpikir jernih.
Ternyata tiang listrik itu berniat menimpa kami, syukur aku bisa menghindar. Lantas tiang beton itu menghantam keras jalanan, debu seketika mengepul, mengotori kemeja putih milikku dan Ari. Sengatan-sengatan listrik yang berpendar seperti api nampak dari sebalik debu. Beruntungnya kami tak terkena kabel dengan muatan listrik sebesar itu.
"Ari, kau tak apa-apa?" tanyaku dengan nafas memburu, tadi sungguh memacu adrenalin hingga aku mengalami hipeventilasi. Aku mengecek kondisi tubuhnya, tak ada luka serius, mungkin sedikit lecet di beberapa bagian.
Cewek itu mengangguk pelan, tangannya yang kugenggam gemetar hebat. Bahunya kemudian sedikit kuguncang. "Ari, ayo kita pergi dari sini. Tempat ini berbahaya!"
Ari mengangguk, kedua sudut matanya mulai bocor. Kejadian seperti ini pasti baru pertama kali menimpanya, berbeda denganku yang kenyang akan bahaya.
Aku tak ada waktu untuk mengecek kondisi pengendara mobil, yang jelas mobil itu terbalik. Si sopir selamat atau tidak, aku tak bisa memastikan. Prioritas untuk sekarang adalah pergi dari tempat berbahaya ini. Kekacauan tadi bahkan tak membuncahkan hasrat pemilik bangunan yang dekat TKP tuk keluar. Kuharap satuan Pemburu melihat kejadian ini dengan serius, tadi adalah EBI rank D ke atas. Kurasa tadi abnormal, sebab sudah aktif bahkan sebelum hari gelap.
"Ayo, kita tak boleh berlama-lama di sini."
Langkah kami gontai, sepertinya kakiku keseleo, rasanya cukup nyeri ketika digerakkan. Ya Tuhan, kenapa harus sekarang? Masih ada ancaman dari anjing EBI. Pasti tak mati, cuma tabrakan tak akan cukup. Makhluk itu tahan banting, harus dipenggal atau ambil Core di dekat jantungnya.
"Ari, lewat sini!" beritahuku menunjuk sebuah celah sempit, sela-sela dari dua bangunan besar kosong yang berhimpit. Kami terlalu mendekati Wilayah Terlarang. Tak ada pilihan, walau celah sempit itu juga kemungkinan menyimpan bahaya. Masih lebih baik daripada keberadaan kami di jalanan tadi. Rentan, dapat terlihat dari berbagai sudut, EBI-EBI lain bisa berkumpul semakin banyak. Area ini harusnya juga dipasang plang "Wilayah Terlarang", apa-apaan itu? EBI ranking tinggi bisa berkeliaran.
"Maaf, Ari. Tapi ini akan kotor. Tolong diam!"
Sialan! Sorot cewek ini masih kosong. Dia benar-benar terguncang. Ah. Tak ada waktu, nyawa kami terancam sekarang.
Aku menemukan sebuah genangan air kotor bekas hujan semalam. Langsung saja kuciprati Ari, memudarkan baunya, aku juga mengguyur diri sendiri. EBI itu jenis anjing, penciumannya pasti luar biasa tajam. Efeknya seragam kami berdua kotor, lusuh, berbuah berwarna cokelat. Aku juga tak tau campuran apa yang ada pada genangan itu. Sebaiknya tak usah dipikirkan.
"Ari, tolong tetap berada di sini! Aku akan mengecek keadaan." Aku lantas pergi menuju ujung celah yang temaram ini, mencoba mengintip. Apakah EBI itu masih memburu kami?
"Kuharap anjing sialan itu berhenti mengejar. Ayolah, kami manusia muda. Masih ingin hidup lebih lama!" Kepalaku menjembul dari sela bangunan, melirik ke kiri dan kanan. Senyap, insiden tiang listrik roboh seakan tak ada. Apa aku bisa bernafas lega sekarang?
Ah. Belum. Muara dari semua ini adalah kembali dengan selamat ke rumah masing-masing. Sialnya arah pulang kami saling berlawanan. Aku terpaksa lebih mementingkan keselamatan Ari, harus mengantarnya pulang.
"Ari, Ari! Tenangkan dirimu!" kataku menepuk pelan pipi cewek itu, tak berhasil. Sedikit kuguncang bahunya. Hah! Dia menghabiskan kesabaranku.
Plak ...
Aku terpaksa melakukan itu.
"Tenanglah, Ari! Kita pasti akan pulang dengan selamat. Percayalah, tak akan terjadi apa-apa!" ucapku menangkup bahu Ari, kutatap lekat mata yang masih kosong itu. Aku sempat ingin menangis sebab temanku ini seolah jiwanya telah pergi, hanya menyisakan tubuh kosong. Tapi, syukurlah ... Ari bisa mengendalikan dirinya lagi.
"Aray?" Aku tau, pengalaman ini sungguh buruk. Aku tak bisa menyalahkannya. Kami tumbuh di lingkungan yang berbeda. Bagai neraka dan surga.
"Tak perlu takut, aku akan menjagamu!" Aku menggenggam tangan Ari, membantunya berdiri. "Sebelumnya, maaf soal pipimu. Aku tak bermaksud—"
"Tidak!" sergah Ari menggeleng. "Memang aku yang bodoh. Tamparan itu pantas kudapatkan!"
Hari semakin gelap, pendar jingga menghilang, sepenuhnya ditelan kegelapan di celah sempit ini. Kami sudah kehabisan waktu, tak ada jalan lain, harus diterobos. Bersembunyi seperti tikus sudah membuatku muak. Manusia dulu adalah penguasa bumi, pemuncak rantai makanan. Aku tak ingin diinjak-injak oleh seekor anjing.
Di celah itu, aku menemui sebuah balok kayu. Kuputuskan agar tak menggubrisnya. Lawanku adalah anjing dengan bobot setengah ton, kayu yang diameternya cuma tiga puluhan centi, bagaikan tusuk gigi untuk si anjing EBI.
Hebat, aku krisis senjata. Tidak. Sebetulnya masih ada. Cewek yang kini kugenggam tangannya, masih berusaha menguatkan diri. Ari adalah Spiriter, kalau tak salah Spirit-nya adalah Agrokinesis. Dapat memanipulasi tumbuhan. Oh, sial. Tak ada tanaman di sini.
"Ari, apa kau bisa menumbuhkan tanaman?" tanyaku memastikan. Sepengetahuanku sih, tidak. Kemampuan Ari belum mencukupi untuk melakukannya.
"Maaf, Aray. Aku tak bisa!"
Berita buruk. Hah, balok kayu itu terpaksa kujadikan senjata.
"Ari, tetap di belakangku! Jangan jauh-jauh! Pegang ujung seragamku dengan kuat!"
"B-baik."
Kemungkinan para EBI telah menginvasi area di sekitar Wilayah Terlarang. Buktinya adalah EBI abnormal yang muncul ketika sinar matahari masih memancar. Kuasumsikan saja anjing itu sebagai Alpha-nya. Tugasku cuma mengurus para Omega.
Baru beberapa saat matahari menghilang, tetapi kami telah didatangi tamu kecil, seekor tikus. Aku benci EBI itu, beraninya keroyokan, ditambah menjijikkan.
Aku mundur beberapa langkah amat pelan. Jangan membuat gerakan tiba-tiba, tikus yang berjarak belasan meter itui bisa langsung mengundang temannya. Sepasang mata kuning-keemasan senantiasa mengintai dari sebalik gulita. Pembendaharaan cahaya di area ini mati, gara-gara tiang listrik.
Terus mundur perlahan, menuju ujung celah yang satunya. Tikus menyebalkan itu kini berganda, beberapa ekor lagi muncul. Aku selalu mengingatkan Ari agar tenang. Masalah besar jika kami memantik pengerat itu untuk mengejar.
"Bagus. Tak ada apapun!?" batinku lega. Tak ada EBI lain yang nampak. Tangan Ari langsung kugenggam erat, mengiriminya isyarat untuk segera bersiap berlari dengan kecepatan maksimal.
"Ari, aku hitung sampai tiga. Kita akan segera berlari."
Baiklah. Satu.
Dua.
Woah ... ini sangat menegangkan.
"Sekarang!"
Balok kayu di tanganku langsung terlempar ke ujung celah satunya, yang mana keberadaan tikus EBI. Bising benturan mewarnai kesenyapan. Kami lantas tancap gas.
"Sial, sial, sial! Ini sakit!?" lisanku dalam hati. Sebisa mungkin aku menyembunyikan raut muka bermasalah sebab menahan nyeri pada kaki. Aku tak mau merasa bersalah. Segitu saja sudah down, apalagi dia sadar bahwa temannya terluka sebab melindungi dirinya yang payah itu. Pasti sangat merasa bersalah, aku tau pasti perangai cewek ini.
"Aray, kamu baik-baik saja, 'kan? Langkahmu—"
"Tak ada masalah. Tak perlu mengkhawatirkanku—Ari, jangan menoleh ke belakang. Terus berlari!"
Gerombolan pengerat itu mengejar, jumlahnya luar biasa banyak. Jika kami tertangkap, tenggelam sudah di lautan tikus. Menjadi makanan tikus kotor itu? Sorry, tak bakal terjadi.
"Aray, mereka semakin dekat." Ari menahan langkahnya, aku lantas mengerem.
"Makanya, ayo!" kataku, nafas yang memburu dan peluh keringat mengucur tak dapat disembunyikan. Kondisiku sudah terlanjur berantakan. Kakiku sungguh sakit.
"Kau mau dimakan mereka? Ayo kita kabur, Ari!"
Secara mengejutkan, Ari menggeleng. "Kakimu sakit, 'kan?" Dia melirik kaki kananku.
Aku kurang lebih mengerti apa maksudnya. Tanganku secara reflek mengepal, kulepaskan genggaman pada Ari. Kutatap dia serius. Tak ada waktu berdebat dan menjadi kekanak-kanakan.
"Jangan jadi sok pahlawan! Jangan sok berkorban! Kau hanya akan berakhir mati konyol! Kau tau itu 'kan, Ari?"
"Aku akan melawan mereka. Aku harus berusaha! Kamu selalu membantuku ketika kesulitan. Sekarang giliranku yang melakukan sesuatu untukmu."
"Kau tak akan mampu. Kau Spiriter yang payah!" gusarku. Gerombolan tikus yang bagaikan gelombang pasang itu bersiap menggulung kami. Ah, semakin dekat.
"Berhenti bicara! Ayo kita lari bersama!" paksaku. Kutarik lengan cewek itu sekuat tenaga. Dia keras kepala, menggeleng kuat, sorot matanya yang teduh penuh tekad.
"J-jangan bercanda, bodoh!" makiku, sudah kehilangan kesabaran. Mataku tak bisa teralihkan dari pemandangan yang mengerikan di belakang Ari. "Cepat! Jika begini ... tak akan ada yang selamat!" Aku melirih.
Cewek itu masih kekeh, dia kemudian berbalik, bersiap menjadi tameng hidup, umpan. "Cepat lari, Aray. Aku akan menahan mereka!"
Percaya diri banget cewek ini! Apa yang dia pikirkan? Dapat dari mana semangatnya itu? Padahal tadi Ari bagaikan patung.
Aku berlari pun hasilnya tetap sama. Kakiku terluka, tak akan bisa berbuat banyak. Ujung-ujungnya mati. Apa yang dia lakukan itu tak ada gunanya!
"Cepat, Aray! Apa yang kamu tunggu? Tenang saja, aku akan selamat. Kamu tak perlu mencemaskanku!" Ari melucutkan genggamanku paksa. Dia mendorong diriku menjauh. "Cepat, Aray!"
Waktu terasa melambat dan berhenti. Ari yang berteriak keras ke arah kawanan pengerat itu, menggertakan gigi kuat-kuat, membanting keras kedua telapak tangannya ke jalanan aspal. Bumi berderak dan gemetar.
"Untuk sekali ini saja ... tolong izinkan aku menggunakan kekuatan ini!" Ari berteriak, memekik sampai suaranya habis. "Akar kematian!"
Dari sebalik aspal, akar-akar raksasa mencuat, memblokir para tikus EBI. Tak jarang akar yang terus tumbuh itu menjadikan para tikus sebagai sate. Hujan darah, jalanan tergenangi cairan berwarna biru gelap, bau anyir menyeruak. Hutan akar raksasa seketika tercipta, mengerikan!
"A-ray! Kenapa kamu masih di sini? Cepat, a-ku akan menahan mereka!"
Ari tak mampu menahan tikus-tikus yang bagaikan tsunami itu, beberapa lolos, selanjutnya bertambah banyak. Namun, cewek itu tak menyerah. Dia dengan gigih menenteng kayu runcing, menusuk dan menghabisi semua tikus yang menuju ke arah kami. Tak peduli berapa gigitan yang bersarang, Ari tetap berdiri kokoh, melindungiku.
"A-ray. Kumohon ... to-long, lari ... lah. A-ku 'kan baik-baik saja. Kamu tak perlu ... arghh! Ku-mohon!?" Apanya yang baik? Di sekujur tubuh bersarang bekas gigitan, darah mengucur turun dari seluruh badan.
Tubuhku gemetar ....
Dia juga berucap hal yang sama. Omong kosong itu, janji manis itu ... hanya tipuan. Apa yang katanya kita akan selamat? Hanya aku, bukan dia.
Malaikat, aku telah merenggut nyawa Sang Pembimbing yang telah mengeluarkan diriku dari neraka dunia. Berlindung di sebalik punggungnya, seorang anak yang tak berdaya. Aku tak ingin itu terulang lagi, sudah cukup.
Badanku bergerak, padahal sebelumnya terpaku di jalan. Aku lantas seketika menarik tubuh Ari, merebut kayu runcing dari tangannya.
Jleb ... jleb ... jleb ...
Aku tak berhenti merubah para tikus EBI menjadi sate. Sekarang tinggal membakar, di mana arangnya?
"Siapa yang buruh arang jika punya api?!"
Saatnya melakukan perjudian tergila yang pernah kulakukan, yah walau aku tak pernah berjudi.
"Jangan sok pahlawan, itu membuatku muak! Padahal kau yang awalnya beban!" kataku ketus. Kurangkul tubuh Ari, dia terpana menatapku, dia tak mampu berkata-kata. "Tolong dengarkan aku! Harusnya wanita lah yang dilindungi, bukan melindungi! Kau sudah menghancurkan harga diriku!" seruku yang sebelah tangan masih aktif menusuk seraya mundur pelan-pelan. Sial, banjir tikus ini tak ada habisnya. Sebagain para pengerat itu mati ketika berusaha melalui hutan akar ciptaan Ari. Tapi, tetap saja, ada yang sulit matinya.
"Hewan pengerat sialan! Kalian akan kujadikan gosong! Jadilah abu!" Aku langsung memejamkan mata.
"A-ray?"
JDARRR!