Chereads / NIBIRU IMPACT / Chapter 6 - Spirit 5

Chapter 6 - Spirit 5

"Huek!"

Aku tak henti-hentinya memuntahkan makanan sisa tadi siang di kantin dari lambung, lidahku terasa asam, kerongkonganku sakit. Tapi, itu masih lebih baik daripada jadi makanan para tikus.

"Kenapa dia?" tanya seseorang, heran. Pria berselimut pelindung besi di dada dan beberapa bagian lainnya, seorang Pemburu.

"Teman saya memiliki phobia parah sama api. Jika dia melihat kobaran api besar, akan seperti ini!" terang Ari, berupaya berucap sesopan mungkin. Tak lupa, punggungku diusap lembut.

Pria itu ber-oh, ditatapnya diriku seraya memegang dagu, nampak berpikir. Ah, dia pasti berpikiran yang aneh-aneh. Terlebih tindakan konyol tadi. Aku terus berteriak "Terbakar" pada kawanan tikus itu dan tak terjadi apapun. Si Pemburu lah yang datang tiba-tiba dan meledakkan para tikus EBI sialan itu.

"Spiritless?"

Ari sesaat menatapku, dia lantas mengangguk pelan, kentara ragu. "Y-ya."

Pemburu itu kemudian menoleh ke belakang, terfokus pada sebuah akar menjalar yang sepenuhnya memenuhi jalanan dan sekitar. Naas, kini tinggal abu, bersama dengan para tikus sialan itu. Bau daging panggang mewarnai tempat ini, daging panggang yang tak enak sama sekali.

"Kamu ... humm." Si Pemburu menatap lamat-lamat Ari, ditelisik seluruh tubuh. Ari tak nyaman, rok seragam putih abu-abunya ditarik ke bawah. Sebab sebelumnya sedikit mengumbar paha.

"Seorang Botanicmaster. Terlebih usiamu masih muda. Masa depanmu menjanjikan!" Dia mangut-mangut, tersenyum puas. "Jika berminat, setelah lulus, bergabunglah dengan Satuan Pemburu atau Pembebas. Botanicmaster selevel ini sungguh luar biasa, sangat dibutuhkan."

"Terima kasih tawarannya. Umm, tapi tolong obati teman saya. Kakinya terluka."

"Oh. Maaf, aku malah mengajak kalian ngobrol," katanya menggaruk bagian belakang kepala yang jelas tak gatal. "Mari sini, aku gendong. Jangan sungkan-sungkan!" Si Pemburu berjongkok membelakangiku, menepuk punggungnya sendiri. "Ayo!"

Kulirik Ari sebentar, terlebih pada pergelangan tangannya yang terdapat luka parut. "Aku masih bisa berjalan. Sudah, kakimu sakit jika dipaksa berjalan, 'kan?"

Ari membantuku berdiri, memapahku menuju punggung si Pemburu berkacamata bulat itu. "Terima kasih, sudah datang."

"Ya. Sudah jadi tugasku. Berkat ledakan tiang listrik itu, aku jadi berinsiatif ke sini. Oh, ya. Rekanku sudah menyelamatkan pengendara mobilnya."

"Syukurlah," ucap Ari lega mengendurkan bahu.

"Baiklah, ayo ke rumah sakit. Rekanku yang lain akan segera mengurus tempat ini."

Hari ini kami selamat, tak jadi makanan tikus. Tapi, si EBI anjing mendadak menghilang, bak ditelan bumi.

Sangat langka ada kasus EBI yang tak tertarik pada manusia. Mereka makhluk berotak terbelakang, yang cuma tau makan dan makan. Mengetahui bahwa makhluk itu menyia-nyiakan makanan, sungguh sulit dipercaya. Di sisi lain, si pengendara mobil pun selamat. Jadi, nungkin benar bahwa EBI anjing itu sejatinya abnormal.

Aku tiba di rumah sakit dengan selamat, terus langsung mendapat perawatan. Tak butuh waktu lama agar kedua kaki ini bisa kembali berlari dan melompat tinggi. Hanya modal pergelangan kaki yang keseleo disentuh oleh dokter dan .... tara. Kakiku seperti sedia kala, tak bengok lagi. Bukan karena teknologi yang canggih, tapi melainkan unsur fantasi ... suatu kekuatan yang belum bisa dijelaskan asal-usulnya, Spirit.

Satu setengah abad lepas manusia hampir punah, setelah Planet X atau biasa disebut Planet Nibiru menghantam bulan kemudian sama-sama hancur, yang serpihannya menghujani Bumi. Menciptakan hujan meteor paling besar dan paling mengerikan sepanjang sejarah Bumi. Hampir seluruh makhluk di Bumi punah, terpapar radiasi dan zat-zat beracun dari meteor itu, berubah menjadi monster. Huh ... tahun 2020 adalah tahun neraka, katanya si buku sejarah. Aku tahun segitu belum lahir.

Setengah abad lebih pasca kiamat. Golongan manusia yang belum hilang asanya untuk tetap menjadi penguasa Bumi, mendadak berubah. Bukan menjadi monster seperti yang lainnya, melainkan sesuatu yang lain. Mereka mendapat kemampuan khusus.

Mereka berhasil memberikan perlawanan pada para monster, memukul mundur, dan membinasakan. Setelah itu, kelompok dari negara yang dulunya bernama Ethiopia itu menggaungkan kabar gembira tersebut pada dunia. Mereka senantiasa percaya bahwa manusia belum punah.

Semangat dan kepercayaan pada Tuhan ... moto mereka. Keberhasilan mereka didasari oleh itu. Jadi, berkah pemberian Tuhan itu dinamakan Spirit. Selagi manusia belum menyerah dan selalu percaya, harapan selalu ada bagi mereka yang tak berhenti berjuang.

Tapi ....

Bagiku itu adalah omong kosong. Aku selalu percaya, aku tak pernah menyerah, meski sekalipun dunia membenciku. Aku masih sama, selalu berjuang hidup. Lalu ... mana berkah itu? Mana kekuatan itu? Aku tak punya.

Kerena itu ... dia, Malaikatku. Aku tak sanggup menyelamatkannya. Bahkan nyawa ibu dari orang yang dulunya adalah sahabat baikku, Ditto. Kobaran api sungguh memberiku trauma mendalam bahwa api adalah sosok iblis yang dapat merenggut semua orang yang kusayangi.

"Ray! Ray! Woi, tukang ngelamun!"

"Hah?" Aku terlonjak kaget, jantungan parah. Aku mengelus dada. Lagian, apa-apaan tadi? Berteriak di rumah sakit?

"Jangan 'hah', 'heh' doang. Kau membuat semua orang rumah cemas," ceramahnya yang kuabaikan.

"Aray, kamu baik-baik saja. Ibu dengar kamu diserang kawanan EBI?" Bu Dhea, ibu angkatku yang berkata cemas menelisik tubuh anak pungutnya ini. Sampai anak kandung yang menggenggam erat tangannya merengek, rewel, ingin segera pergi dari rumah sakit. Yah, biasa, seliweran orang-orang yang memiliki nasib sama denganku. Tapi, lebih parah, Alde jadi sedikit ketakutan melihat darah. Lagian Alde masih kecil dan polos. "Iya sebentar. Kak Aray terluka, lho."

"Cuma keseleo. Dokter sudah menyembuhkannya," kataku berusaha melenyapkan kekhawatiran ibu.

"Beneran?" ucap ibu memastikan, dia melirik pergelangan kakiku. Aku lantas berdiri, terus melompat setinggi mungkin. "Berlari sampai rumah pun siap!"

Si kakak sialan mendadak menginjak kakiku dengan sepatu kerasnya. Aku sontak berjingkrak.

"Heleh, sok-sokan bilang berlari sampai rumah. Segitu saja udah sakit!" ujarnya. Kepalaku jadi mendidih.

"Siapa juga yang tahan dengan sepatu batu itu!" makiku menunjuk sepatu hitamnya.

"Apa-apaan? Nyalahin sepatu! Padahal kakimu yang lembek!"

"Sudah, sudah! Ini rumah sakit, jangan bertengkar!" Aku hendak menggerapai si kakak sialan yang tengah tersenyum meremehkan, tapi ibu menahan diriku. Hah! Aku ingin mencakar-cakarnya.

"Rico, jangan suka menggoda adikmu!"

"Yah. Lucu sih, Bu. Mempermainkan adik bodoh ini. Sudah tau malam udah dekat. Ehh ... tapi, milih jalur dekat Wilayah Terlarang. Diserang EBI deh!"

"Itu bukan EBI biasa!" Seseorang tiba-tiba hadir di tengah kami. Dia adalah Pemburu yang membawaku ke rumah sakit. Di belakangnya nampak Ari dan kedua orang tuanya. "Anak bapak-ibu sekalian sempat hampir dikejar-kejar oleh EBI jenis anjing yang bahkan keluar ketika matahari masih bersinar."

Wajah cengengesan kakakku pun luntur, dia mendengarkan serius apa yang dilontarkan si Pemburu. Begitu juga dengan ibu, maupun orang tua Ari. Mereka nampak sedikit cemas.

"Mereka bermutasi lagi, 'kah?" tanya kakak. Aku tak pernah melihatnya seserius ini.

"Semoga saja tidak. Berdoa saja itu cuma kondisi abnormal dari EBI Itu. Jika para EBI sanggup tahan dengan sinar matahari. Bisa saja bangsa manusia bakal mengungsi ke bawah tanah, seperti pasca Nibiru Impact."

"Humm ... ya. Semoga kemungkinan terburuk tak terjadi!" harap cemas ibu, direspon anggukan pelan. Aku sejujurnya cukup skeptis dengan si Pemburu. Tak menyangka bahwa dia bisa bersikap seserius ini, awalnya kukira perangainya adalah santai dan cukup ceroboh.

"Saya undur diri. Masih ada hal yang perlu saya urus!"

"Terima kasih sudah menyelamatkan anak kami!" kata ibunya Ari sedikit membungkuk. "Maaf, tak bisa memberikan sesuatu."

"Sudah tugas dan kewajiban saya. Umm ... lagian pemuda pemberani itulah yang sigap melindungi Putri ibu, meski dia adalah Spiritless." Si Pemburu tersenyum ke arahku, terus berjalan pergi.

Kakak sialan mendadak menyikut pelan, lantas berbisik. "Bohong, 'kan? Orang sepayah dirimu ngelindungin anak orang? Mimpi!"

Cih ... aku ingin langsung menghajarnya. Andai kata orang tuanya Ari tak ada di sini.

Ibu juga ikut melihatku, matanya mengerjap seakan belum sepenuhnya percaya.

"Terima kasih sudah melindungi anak kami yang cengeng ini, ya. Ari memang merepotkan!" kelakar ayah Ari, mengacak-acak rambut putrinya yang nampak malu dan kesal. Semuanya tertawa, termasuk diriku.

Kakak membisikkan sesuatu lagi ke kuping. "Kau naksir cewek itu?" Serta merta kudorong menjauh kepala saudara tua itu. Dia memang menyebalkan.

"Aray, jika butuh sesuatu bilang saja. Menjadi teman gadis cengeng dan manja ini pasti tantangan tersendiri."

"PAPA!" gusar Ari meninggikan suara. Pipinya bersemu merah.

"Nggak kok, Om. Ari anak yang bisa diandalkan." Aku langsung ditatap Ari dengan sorot yang tak biasa. Dia kelihatan begitu bahagia. Pas untuk segera menghempas jatuh hatinya yang keburu melayang tinggi itu.

"Benarkah?"

"Iya. Bagi saya Ari itu jam weker. Selalu membangunkan saya sewaktu ketiduran di kelas dan berkata 'sudah istirahat, Aray. Sudah waktunya pulang, Aray'. Saya pikir itu berguna sekali."

Bunyi phff terlontar dari kakakku yang bodoh, dia tak bisa menahan geli hatinya melihat ekspresi Ari. Yah, memang pantas ditertawakan sih. Aku juga tertawa, walau dalam hati. Huh, rasanya puas.

Ibu, orang tua Ari cuma tersenyum tipis. Ibunya Ari bergamam. "Begitu, ya?"

Ari semakin mengubur wajahnya. Ayahnya Ari berinsiatif melakukan sesuatu. "Sebagai rasa terima kasih kami. Bagaimana kalau akhir pekan ini, Aray ikut kami? Jalan-jalan, ke taman hiburan yang baru dibuka itu."

Ari seketika mendongak melihat ayahnya. "Papa?"

"Refreshing," ucapnya lembut, mengelus puncak kepala putrinya. "Gimana?" imbuhnya menatapku, menunggu jawaban.

Aku mengangguk segan. Rasanya sungguh canggung. Aku tak sepenuhnya melindungi Ari, malah ada momen di mana justru diriku berlindung dibalik punggung Ari. Pemburu tadi cuma melebih-lebihkan kisah heroikku. Ah, rasanya tak enak. Imbalan yang tak pantas kuterima, tapi ya sudahlah.

"Nyonya juga boleh ikut, ajak keluarga. Bagus untuk menjalin tali silaturahmi. Aray akan selalu diterima di keluarga kami!"

"Wuih ... belum apa-apa udah dapet lampu hijau dari calon mertua," bisik kakak sialan, menyikut-nyikut.

"Saya merasa sangat tersanjung. Tapi, kami akan datang sendiri. Anda tak perlu menanggung seluruh biaya—"

"Tak masalah. Ini sebagai rasa ucapan terima kasih pada Aray," potong ayahnya Ari.

Ibu menatap diriku. Aku mengedikkan bahu. Ibu lantas menghembuskan nafas. "Kami merasa tak enak."

Tapi, aku sungguh menyesali keputusan kami waktu itu. Pergi ke taman hiburan adalah kesalahan besar. Bukan kesenangan yang kami dapat, tapi sebaliknya.