Pidato singkat kami perdengarkan seksama, menunduk hikmat, mengangguk bila diberi pertanyaan. "Janji tak akan mengulanginya lagi?!" Formalitas lisan. Semakin dilarang, semakin besar hasrat untuk melakukannya menurutku. Kalian boleh menentang bualan konyol ini.
Cewek di sebelahku menyikut, berbisik. "Dengarkan!"
Bola mata berputar malas, aku sedikit mengangkat pandang, kutatap Bu Saki yang tengah dalam sesi pribadi dengan Ditto. Kakiku mendadak diinjak. Aku menoleh meminta kejelasan. Apa salahku? Kening terlipat.
"Sadar posisi."
Aku memutar bola mata lagi, terus kaki si gadis hendak menimpa lagi, tapi kesigapanku dalam menghindar menyelamatkan dari tumit yang bakal menghunjam. "Yang seriu—au!" Bunyi erangan dan lantai dihentak kaki sukses menarik perhatian semua orang.
"Diandi! Arita! Jangan sibuk sendiri!" Bu Saki menatap tajam, kaca mata yang sedikit menurun lantas dibenarkan.
Kami serempak tersekiap, menunduk dalam. Sayup cekikikan dari Rendy timbul dan ditanggapi oleh delikan sinis Bu Saki.
"Ditto, Rendy. Sepulang sekolah kalian bersihkan seluruh toilet yang ada di sekolah . MENGERTI?" Pengadilan ini sudah diputuskan dan tak ada pembelaan dari pihak terdakwa. Yah, membela diri juga percuma. Bu Mata Empat jagonya bersilat lidah seantero sekolah.
"Kalian boleh kembali ke kelas masing-masing." Aku akhirnya bisa keluar atas kukuhan status saksi ini. "Untuk Arita dan Raka selaku ketua kelas X-C dan X-B, jangan kembali dulu!" Bu Saki menambahkan, sedikit memberikan sorot tajam pada Ditto dan Rendy yang dikira akan melanjutkan perkelahian setelah keluar dari ruangan.
Ujung belakang seragam Rendy kutarik begitu melewati bingkai pintu. Ditto berlalu duluan tak menghiraukan kami. Tak ada sepatah kata keluar. Insaf? Tak ada dalam kamus si badan besar itu. Besok pasti berulah dan kumat.
"Jangan kembali dulu! Kantin," bisikku mengusulkan suatu gagasan yang menghidupkan binar pada mata Rendy.
"Benar juga. Kita pasti disangka masih terkena bimbingan konseling. Puas-puasin deh di kantin sampai—"
"Hukumanmu akan ditambah Rendy!" sanggah Bu Saki langsung, Rendy terbungkam dengan kepala menunduk lagi.
"Diandi, kamu juga ingin dihukum?"
"Tentu tidak, Bu. Tapi, apa tak bisa diberikan keringanan? Cacing di perut saya bisa—"
"Tahan. Masih ada jam istirahat kedua. Tak ada kantin-kantinan! Kalian segera masuk ke kelas masing-masing!"
Aku bisa pingsan di tengah pelajaran.
"Guru BK itu memang menyebalkan!"
"Ehem ... ehem."
Kami langsung berjalan cepat meninggalkan ruang BK. Indera pendengaran Bu Mata Empat itu abnormal. Susah dibayangkan.
Dua mulut serempak menghembuskan nafas, menatap malas satu sama lain. Menepuk pundak satu sama lain, memberi semangat.
"Aku akan membantumu ...."
Senyum Rendy merekah duluan, aku menyeringai dengan menunjukan jari telunjuk dan jempol yang bergesek. Oh. Tidak. Aku menghancurkan harapannya.
"Kepalamu mungkin terbentur jika memberikan bantuan tanpa mengharapkan upah," ucap Rendy lesu dengan langkah gontai.
"Tenang saja. Ini harga kawan!" gurauku memijit puncak Rendy.
"Harga kawan! Harga kawan!" Tanganku dienyahkan. Randy ngedumel nggak jelas pada sepanjang koridor. Bernegosiasi sampai tak ada upah atas jasa yang kutawarkan.
"Untuk kali ini saja. Anggap sebagai balas budiku. Hukumanmu ini pun penyebabnya adalah diriku, 'kan?"
"Huh, yah. Terserah!"
Kami lengang sepanjang menyusuri koridor dan berpisah kerena berbeda tujuan, meski tak jauh, masih sebelahan, kelas maksudnya.
Kelas terasa membosankan setelahnya, detik jam senantiasa kuperhatikan, bergerak sangat lambat. Aku ingin menyambar jam itu dan langsung menggerakkan jarum yang paling pendek agar menunjuk angka empat. Sekolah hari ini lantas berakhir. Andai semudah itu. Aku yakin semua siswa akan mendukung, kecuali Ari dan guru mestinya.
Andai perutku tak keroncongan, aku bisa tidur untuk mengatasi masalah kebosanan ini. Masalahnya adalah siapa yang dapat tidur nyenyak ketika cacing di perut berdemo? Aku pun lemas meletakan kepala di meja, materi yang disampaikannya guru juga terdistorsi.
Ahh ... kapan jarumnya menunjuk angka empat? Dari tadi bercokor di angka dua bahkan belum setengah perjalanan ke angka tiga. Jika angka empat terlalu ngawur, setidaknya cepatlah ke angka tiga supaya aku bisa memuaskan para cacing di perut. Hah! Inikah yang dinamakan relativitas.
Puk ...
Astaga, terima kasih, Tuhan. Aku mencelos, mataku melebar—paling lebar, sinar harapannya kembali. Sebungkus roti meluncur mulus di lantai yang entah datang dari mana, tepat mengetuk kakiku. Untukku? Yah, siapa peduli, apapun yang jatuh di teritoriku menjadi hak milikku. Aku sontak menunduk dalam, kepala diumpetin di balik meja, pura-pura mengambil pulpen. Julukan Enstein kecil rupanya berguna, apapun yang kulakukan di kelas asal tak menganggu bakal dibiarkan. Aku makan secara terang-terangan pun harusnya tak masalah, tapi tak enak saja rasanya.
"Cokelat?" gumamku pelan. Aku tak henti-hentinya berterima kasih pada Tuhan. Suatu kebetulan, rasa favoritku. Harusnya dia mengenal baik diriku. Perasaan nostalgia lantas muncul. Yah, untuk sekarang kesampingkan dulu, mari suplai mesin pelebur—lambung dengan makanan.
Puas dengan roti isi cokelat itu, badan pun kini bisa duduk tegak, nggak bengkok ke depan lagi. Aku mulai menyisir pandang ke seisi kelas, berusaha mengira siapa yang berbaik hati memberikan roti.
Tersangka utama adalah Ari. Cewek itu selalu ingin dekat denganku, tergila-gila padaku. Lihatlah ... dia melirik, ketahuan dari manik mata yang berada di pojok mata. Mendadak tersenyum. Eh. Memang Ari, kah?
"Kamara, kamu kenapa? Tolong duduk yang tegak!" Guru menegur cewek yang duduk di belakang Ari, dia nampak lemas. Biasanya cewek begitu sebab lapar, sakit, atau anemia. Paling banyak kasus di sekolah ini adalah anemia, siswinya bandel disuruh meminum pil penambah darah yang justru dibuang.
"Kenapa lemes? Sakit?" tanya guru itu.
Kamara menggeleng lemah.
"Diputusin pacar?"
Kamara menggeleng lemah lagi, terus bising gelak tawa bersahutan. Cewek dengan rambut hitam panjang dikucir ke belakang itu disoraki.
"Mana mungkin Kamara punya pacar, Pak. Yang ada cowoknya selalu ditonjok. Cewek bar-bar, Mak Lampir!"
Yah, cewek itu benar-benar menyebalkan. Selalu cari ribut, aku beberapa kali cekcok dengannya.
"Ray, sapu yang bersih lah! Itu lantainya masih banyak debu. Pernah nyapu nggak sih!"
"Ray, kau ditunggu di lapangan. Jangan ngarep kayak orang penting, deh. Datang paling akhir. Pelajaran olahraga nggak akan mulai kalo kau terus angkrem di kelas."
Kamara selalu merecokiku. Tapi, yang paling membuat kesal dan naik darah adalah ketika dia mengadu kalau aku membawa Sajam. Bukan sengaja, tau-tau ada di tas. Sepertinya lupa kubereskan setelah part time job di malam hari. Sajam yang harganya mahal itu dirampas, melayang sudah uang empat ratus ribu.
"Sudah, diam! Saya tanya Kamara!" Seru guru itu agak membentak, siswa tadi lantas terbungkam. "Terus apa, Kamara?"
"Saya lapar, Pak," jawab Kamara merintih.
Gelak tawa terdengar lagi, malah semakin keras. Guru itu menepuk tangan, segala cekikikan dan olokan yang mengarah pada Kamara pun mandek.
"Kamu masih kuat mengikuti pelajaran? Lagian, kenapa kamu kelaparan? Saat istirahat kamu nggak makan?"
"Perut saya mules. Di toilet lama. Mau ke kantin, tapi bel udah bunyi!" beber cewek yang hampir mati kelaparan itu. Apa perlu kubagi roti ini? Masih sisa setengah sih.
"Diandi, roti yang kamu maka tadi ... apa masih ada?"
Guru itu dari tadi sudah sadar!
Aku mengangguk pelan. "Sisa setengah."
"Bagus. Bisa kamu berikan pada Kamara? Kasihan dia."
Aku hendak memberikan sisa roti ini, tapi cewek itu mendadak berteriak keras. Dia menolak setengah mati pemberianku.
"Nggak usah. Saya masih tahan sampai istirahat kedua!?" ujarnya berjerih meyakinkan. Berusaha menyembunyikan wajah lesu sebab kekurangan asupan makanan.
Tak tau diuntung, jarang-jarang aku berbelas kasih padanya.
"Kenapa? Kamu bisa pingsan di tengah pelajaran, lho!"
"Nggak bakal, Pak!"
Pada kenyataannya Kamara perlu pergi ke kantin sewaktu pelajaran belum mendekati selesai. Ari dan Aisha yang selaku sahabat akhirnya memapah cewek merepotkan itu menuju kantin, dia hampir pingsan. Berlagak sok kuat, tapi ujungnya tumbang, teler tak berdaya.
Bel berdentam kencang melalui pengeras suara di pojok atas kelas, membangkitkan semangat setiap orang yang sempat jatuh. Harapan yang ditunggu-tunggu, istirahat kedua akhirnya tiba. Aku bergegas pergi ke kantin, jujur saja sebungkus roti isi cokelat itu tak cukup agar para cacing di perutku puas. Mereka lama-lama ngelunjak, lain kali harus kubelikan obat cacing.
Aku lantas memilih menu yang sesuai budget yang kumiliki, tak mau boros, secukupnya saja. Jika dirasa belum kenyang, masih ada bank berjalan yang bisa menyuplai tambahan uang padaku. Di mana si Rendy? Ah, itu dia. Sedang berbicara dengan teman sekelasnya, Raka kalau tak salah namanya, ketua kelas dari kelas X-B. Mereka mengantri untuk memesan makanan.
"Oi, Ren!" panggilku sedikit melambai. Rendy langsung sadar dan bergegas menghampiriku, meninggalkan antrean. Tak lupa berpamitan dengan Raka.
"Sudah ketahuan. Ujung-ujungnya minta traktir, 'kan?" ucap ketus Rendy menatapku penuh selidik.
"Yah, tak perlu ditanyakan," jawabku sambil nyengir.
"Huh. Apa-apa perhitungan, bahkan pada diri sendiri?!"
Kami memesan mi instan, alasan utamanya adalah Rendy sedang bokek dan aku memutuskan untuk tak menghamburkan uang.
Masing-masing dari kami sibuk mengutak-atik perangkat ponsel pintar. Berselancar di dunia digital, bermain sosial media, gim, atau apapun itu. Salah satu penemuan manusia yang lumayan brilian. Benda persegi panjang kecil yang memiliki banyak penggunan, andai dimanfaatkan dengan baik.
"Aduh. Bahaya, nih. Jumlah EBI semakin membludak, muncul di mana-mana. Tapi satuan Pemburu tutup mata. Bukannya itu menyebalkan?" Rendy mengajak bicara, mengoper pembahasan yang menarik.
"EBI rank F dan E cuma remah-remah roti, buat apa diburu? Itulah mengapa istilah Pemulung ada. Para hewan itu adalah ladang uang bagi orang sepertiku!"
Rendy memandang tak senang. "Mungkin rank F dan E masih bisa kau atasi meski kau adalah Spiritless. Tapi, nasibmu tak selalu mujur! Bisa saja kau tak sengaja bertemu dengan EBI yang memiliki rank tinggi," tutur Rendy seolah menakut-nakuti.
"Itulah mengapa aku berusaha membeli persenjataan agar kelemahanku itu bisa kuatasi." Aku menyeruput mi panjang yang tak kunjung putus. "Makanya aku terus menabung."
"Tetap saja itu adalah kegiatan yang lebih besar risiko daripada keuntungannya. Nyawa sungguh menjadi taruhan." Rendy berpatuah.
"Nyatanya sampai saat ini aku masih hidup. Sehat," kilahku berlagak seperti binaragawan yang tengah memamerkan otot lengan.
"Huh. Kau itu memang susah diberitahu!" Rendy menghembus nafas pasrah. "Tapi Aray, yang lebih berbahaya ... para Spiritless sekarang juga marak berubah. Kau tau, 'kan?"
Golongan minoritas takdirnya selalu musnah, hal itu yang kutakuti. Aku adalah golongan minoritas, harus siap dikorbankan.
"Yah. Jika terus begini. Kami mungkin akan dipisahkan dari para Spiriter, dikarantina. Atau paling buruk ... mungkin perintah pemusnahan Spiritless akan dikeluarkan?!"
.
.
.
"Hari yang melelahkan." Aku menendang kerikil-kerikil tak bersalah di jalanan. Tubuh rasanya lelah, banyak hal yang terjadi di sekolah. Salah satunya adalah Ditto yang kali ini benar-benar berniat membunuhku.
Aku mengelus leher yang pernah dicekik pria besar itu dengan kuat. "Dia sudah menyimpan dendam kesumat padaku. Terus begitu, tak akan berhenti, sampai aku lenyap dari dunia ini. Secara tak langsung, aku yang sudah membunuh ibunya," gumamku yang tersenyum garing. Menengadah ke atas, menyaksikan langit yang berona oranye dan sedikit kemerahan di ufuk barat, andai saja aku melihatnya. Sayang sekali ada tembok sialan yang mencakar langit.
"Mungkin aku akan begitu jika berada di posisinya?"
Suasana yang begitu hening menemani perjalanan pulang ini. Bangunan berjejer di kiri dan kanan jalan. Lengang dari aktivitas manusia, sebetulnya aku melalui jalur dekat Wilayah Terlarang. Area yang dihindari ketika matahari telah bersembunyi di barat. Apalagi ada istilah jam malam bagi penduduk. Pantang keluar saat hari gelap, kecuali orang-orang nekat, semacam diriku. Seluruh bangunan lantas terkunci rapat. Menyisakan jendela yang kordennya tersibak sedikit, sepasang mata mengintip. Pasti penasaran dengan suara langkah kakiku.
Suara sekecil apapun memang bakal terdengar. Contohnya suara gesekan sepatu dengan aspal selain punyaku, terdengar tak jauh di belakang. Ada sosok yang lain yang mengintil. Untuk saat ini aku mengabaikannya.
Selanjutnya tiba di persimpangan jalan, siluet seragam sekolah nampak terpantul dari sefty mirror. Itu jelas seragam sekolahku.
"Keluar! Tunjukkan dirimu!"
Sosok itu mulai menampakan dirinya. Cewek yang sebaya. Aku kurang lebih mengenalnya, teman sekelas.
"Ketahuan, ya? Maaf, Aray," ucap si pengintil yang canggung menggaruk kepala yang jelas tak gatal. "Apakah aku membuatmu tak nyaman?"
Tak ada alasan agar kepalaku menolak mengangguk. Di mana-mana rasa dibuntuti itu nggak nyaman. Lebih-lebih di-stalker-i oleh psikopat. Itu sungguh menyeramkan, lebih dari bertemu dengan para EBI.
"Ari?"
Cewek berambut hitam panjang sepinggang itu termenung sesaat. Aku lantas menghampiri dan sedikit memberikan sentuhan pada bahunya. Bahaya jika dia kesambet karena kebanyakan melamun. Lagian apa niatnya mengekor padaku. Jalan pulang kami berlainan. Jangan bilang pengakuan, aku sungguh tak tega untuk memberikan penolakan.
"Eh. Aray, begini ... aku—" Kalimat Ari tercekat, pandangan serasa kosong menatapku. Bukan, apa yang ada di belakangku.
Sepertinya yang dikatakan Rendy benar, aku tak selalu mujur. Suatu saat pasti sial. Sekarang waktunya.
"Aray, Awas!"